Hanya Senja-Lembar Kesembilan

1395 Kata
Sepanjang halaman ballroom hotel bintang lima di kawasan Bandung kota, berbagai jenis karangan bunga yang begitu besar, sebagai ucapan turut berbahagia atas pernikahaan putra dari pemilik Jidala Grup, terlihat berderet, menghiasi sepanjang jalan, dari samping barrier gate, hingga pintu masuk utama. Tak begitu lama, suara dari dalam gedung yang semula terdengar riuh, perlahan mulai tenang, diikuti alunan musik instrumental, yang kembali mendayu dengan lembut, mengiringi suara seseorang, yang tengah membacakan basmalah, untuk memulai acara utama sore hari ini. “Audzu billahi minasy-syaithaanir rajiim, bismillaahir rahmaanir rahiim.” Pria tampan, mengenakan setelan jas hitam, berpadu kemeja berwarna putih tulang, diselaraskan dengan dasi motif garis kecil menyamping, mulai menjabat tangan lelaki bertuxedo putih yang duduk di depannya, saling berhadapan satu sama lain. Dia terdiam sesaat, menghela napas dalam, bersiap untuk melafalkan ijab pernikahan, setelah lelaki dari kantor urusan agama yang duduk di sampingnya, menjelaskan beberapa poin penting dalam prosesi ijab kabul, kepada kedua calon mempelai pengantin. “Sharga Aezhar Mandala Bin Sangaji Mandala, saya nikahkan, dan saya kawinkan engkau dengan adik kandung saya yang bernama Senja Shadiya Kireyna Binti Haris Shawki Putra, dengan maskawin seperangkat alat shalat, beserta uang tunai seratus juta rupiah, dibayar tunai,” ucap Alfarezi sembari mengentakkan jabatan tangannya dengan Sharga. Tanpa menunggu lama, pria tampan itu pun mulai menarik napas dalam-dalam, sebelum akhirnya melafalkan kabul. “Saya terima nikah dan kawinnya Senja Shadiya Kireyna Binti Haris Shawki Putra, dengan maskawin yang tersebut, dibayar tunai.” Mendengar lancarnya prosesi ijab kabul, membuat Senja seketika menghela napas berat. Kedua tangannya terkepal kuat, meremas ujung kebaya putih yang dikenakannya, sembari menundukkan kepala. ‘Ya Tuhan, bukan ini jalan yang aku mau. Bukan pernikahan terpaksa seperti ini yang aku idam-idamkan. Lebih baik menjadi lajang selamanya, daripada harus menjadi istri seorang pria asing yang dingin, dan angkuh seperti dia. Dia tidak pernah mengatakan apapun padaku. Jangankan bertanya, tahu nama lengkapnya aja baru sekarang, setelah Bang Kiki mengikrarkan ijab.’ ‘Ayah … Senja benar-benar seakan hidup di dunia komik. Menikah karena perjodohan, dengan lelaki asing yang membenci wanita pemeran utama.’ ‘Semua ini terasa begitu berat untuk dijalani, Tuhan. Aku benar-benar takut, jika di pertengahan jalan, aku merasa tidak sanggup untuk meneruskan pernikahan ini, dan mengakhiri semuanya … berpisah dengan lelaki ini, dengan jalan perceraian. Sebuah jalan yang amat sangat dibenci oleh-Mu.’ ‘Ayah … kenapa harus jalan hidup seperti ini yang Ayah persiapkan untuk Senja? Apa Ayah yakin, dia tidak akan menyakiti Senja? Dan … apa Ayah juga yakin, Senja bisa melewati semua ini? Jantung Senja semakin lemah. Senja benar-benar takut untuk memulai segalanya dengan lelaki pilihan Ayah ini.’ “Bagaimana para saksi? Sah?” tanya petugas dari kantor urusan agama, seakan memotong monolog yang tengah diucapkan Senja dalam hatinya. Seorang pria paruh baya, yang tak lain adalah adik dari almarhum Haris, yang berlaku sebagai saksi dari pihak pengantin wanita, pun, mengatakan sah, disusul oleh Sangaji, yang berlaku sebagai saksi dari mempelai pria. Semua orang yang menyaksikan ikrar janji suci pernikahan Sharga dan Senja, seketika bergumam dan membacakan hamdalah secara bersamaan, dilanjutkan dengan pembacaan doa setelah akad nikah, penandatanganan berkas-berkas dan buku nikah kedua mempelai, lalu serah terima mas kawin, dari mempelai pria pada sang pengantin wanita. Sangaji, yang sedari tadi tak melepas tatapannya dari Senja, tiba-tiba menghapus jejak air mata di atas wajah tuanya, ketika ingatan akan sang sahabat kembali membayangi pikirannya. ‘Aku sudah menepati janjiku, kan, Ris? Kamu sekarang bisa beristirahat dengan tenang, karena putrimu sudah berada di tangan lelaki yang tepat, yang bisa membahagiakannya.’ Sangaji membatin. Hanya berselang beberapa menit, Raka–tangan kanan Sangaji–yang sudah diutus sebelumnya, nampak berjalan membawa dua buah map hitam tebal, dan memberikannya pada Sangaji. Dan hal itu, berhasil mencuri perhatian Sharga. Pria yang baru saja selesai menerima pemasangan cincin pernikahan di jari manisnya itu, melirik pada Raka, lalu beralih menatap pada Sangaji yang baru saja mengambil alih mikrofon dari tangan seorang pembawa acara. Seperti biasa, pria paruh baya bersetelan jas light grey itu mengucapkan beberapa kata sambutan, mengucap rasa syukur, dan mengungkapkan rasa bahagianya atas pernikahan Sharga dan Senja. Hingga kemudian, Sangaji membuka map tersebut, dan mulai mengatakan sesuatu, sembari menatap haru pada Sharga dan Senja yang tengah berdiri di hadapannya. “Sebagai rasa syukur, dan turut berbahagia atas pernikahan kalian …,” Sangaji menjeda ucapannya, menaruh dua map tersebut di atas meja ijab kabul dalam posisi terbuka, kemudian melanjutkan. “… sesuai janji Papa. Papa ingin menghadiahkan, lima puluh persen saham Jidala Grup, dan seratus lot saham salah satu perbankan yang Papa miliki, untuk kalian, sebagai bekal masa depan dari kami, selaku orang tua. Besar harapan Papa pada kalian, agar menjadi keluarga sakinah, mawaddah, warahmah, dan selalu diberkati oleh Tuhan, di setiap langkah yang diambil. Saling menjaga, dan menyayangi satu sama lain. Terlebih, Sharga. Lelaki yang akan menjadi seorang imam dalam keluarga … nahkoda dalam bahtera rumah tangga yang hendak kalian bangun bersama.” Mendengar hal itu, Sharga yang semula hanya diam, seketika tertegun. Tubuhnya tiba-tiba kaku, dengan mata membulat sempurna. Pertama, yang menjadi pikiran Sharga, adalah harapan besar sang Ayah, pada pernikahan ini, hingga sudah mempersiapkan segalanya untuk masa depan dirinya dan Senja. Dan yang kedua … Sharga benar-benar tidak menyangka, semua yang dikatakan oleh Sangaji saat itu, ternyata bukan isapan jempol belaka. Pria paruh baya itu benar-benar menepati janjinya, untuk memberikan lima puluh persen sahamnya di Jidala Grup. Bahkan, diluar dari ekspektasi Sharga, seratus lot saham milik sang ayah di salah satu perbankan, pun, ikut serta dijadikan kado pernikahan mereka. Perlahan, pria itu menatap gadis cantik di sampingnya, yang juga tengah menatap padanya dengan raut wajah kebingungan. Entah apa yang ada dalam pikiran gadis itu? Yang jelas, Sharga benar-benar bingung, sikap seperti apa yang harus ia perlihatkan saat ini? Apa harus merasa bahagia dengan semua pemberian sang ayah? Atau … ia harus merasa sedih karena bukan Arista, wanita yang berdiri disampingnya saat ini? Terlepas dari semua itu, justru yang Senja pikirkan saat ini, adalah statusnya dengan Sharga yang benar-benar sudah resmi menjadi sepasang suami istri, baik secara hukum, maupun agama. Dia tidak mungkin mempermainkan kesakralan janji suci yang sudah diikrarkan di hadapan Tuhan, para malaikat, dan saksi-saksi yang hadir sore ini. Yang bisa Senja lakukan, hanya menjalani peranannya dalam drama yang sedang mereka jalankan, tanpa ikut campur urusan siapapun. Baik Sharga terhadap kehidupan Senja, ataupun sebaliknya. ‘Tuhan … kuatkan aku, dan lindungi aku, dalam keadaan apapun.’ *** Karena tak banyak tamu yang diundang, hanya dalam waktu lima jam, pesta pernikahan yang diadakan secara sederhana dan tertutup itu, akhirnya berakhir. Bagi Senja, tidak banyak moment-moment berharga yang terjadi selama resepsi pernikahan berlangsung. Baik para tamu undangan yang didominasi oleh rekan-rekan bisnis Sangaji, dan beberapa dokter spesialis di Rumah Sakit Jidala, atau sanak saudara dari pihak sang mempelai pria. Untuk keluarga Senja sendiri, karena almarhum sang ayah adalah anak semata wayang, jadi … yang menghadiri undangan pernikahan tersebut, hanya Om dan Tante dari pihak Adya, beserta para sepupunya. Hanya kehadiran dari keluarganya saja, dan dua sahabatnya yang membekas dalam ingatan Senja. Selain dari itu … tidak ada! Apalagi jika Senja ingat perangai Sharga selama berdiri di atas pelaminan bersamanya. Bahkan, walau di depan para tamu undangan, sikap Sharga pada Senja benar-benar selayaknya dua orang asing. Tak ada bertegur sapa, apalagi bercanda gurau, sembari mengobrol berduaan, selayaknya sepasang pengantin baru yang tengah berbahagia. Hanya lirikan singkat, dan seulas senyum terpaksa yang keduanya perlihatkan, ketika menyambut para tamu undangan yang hadir, untuk mengucapkan selamat. Beruntung, karena suasana yang cukup ramai, baik Sangaji, Suci, Adya, bahkan Alfarezi, tidak ada yang menyadari akan hal itu. Usai makan malam bersama antara dua keluarga besar, dan sedikit berbincang singkat dengan Alfarezi, dan sang ayah, Sharga pun meminta izin untuk beristirahat terlebih dahulu, di kamar hotel yang telah disediakan, dengan menjadikan wajah pucat Senja sebagai alasan, agar dirinya segera terbebas dari drama yang tengah berlangsung. Sementara Senja, hanya bisa pasrah, dan mengikuti alur cerita buatan sang suami, dengan membenarkan semua yang dikatakan oleh Sharga, agar dirinya pun bisa segera meminum obatnya, dan mengistirahatkan tubuhnya yang terasa begitu pegal, setelah berdiri cukup lama di atas pelaminan. Setelah mendapat izin dari semuanya, Sharga dan Senja pun segera bangkit dari posisinya masing-masing, lalu berjalan berdampingan, hendak menuju kamar hotel. “Ternyata … kamu bisa diandalkan, Senja,” bisik Sharga. Mendengar kalimat pertama yang lontarkan oleh sang suami, Senja pun seketika mendelik tajam pada pria di sampingnya, kemudian menjawab, “aku melakukan semua itu, bukan karena kamu! Tapi, untuk menyelamatkan diri aku sendiri!” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN