--- Langit menjadi kelabu, saat kau tak disisiku
--- Hujan semakin deras, saat aku tak dapat memelukmu,
--- Ah Langit, tercurah isi hatiku, melalui-mu...
***
Ghibran tak mau membuat malu istrinya, dia segera menggenggam jemari Lila dan mengecupnya di depan orang banyak yang memperhatikan mereka, tentu pasangan pengantin selalu menjadi pusat perhatian saat resepsi.
"Aku enggak apa-apa, mungkin sedikit kecapekan, semalam tidak bisa tidur." Ghibran menggenggam jemari Lila dan mengusapnya lembut. Lila tersenyum, merasa bahwa semuanya baik-baik saja.
"Perlukah kita sudahi acara ini dan beristirahat dikamar?" tanya Lila, Ghibran menggeleng.
"Nggak apa-apa sayang, masih ada waktu satu jam kan?" Ghibran melirik jam tangan mahalnya.
"Ya, satu jam lagi."
"Aku ke toilet dulu ya," tutur Ghibran, masih ada dua tarian lagi dan dia memutuskan ke kamar kecil, Vincent menghampiri Lila dan duduk di kursi khusus orang tua.
"Kemana Ghibran?"
"Mau buang air kecil Pa,"
"Kamu senang?"
"Ya senang sekali, terima kasih banyak Papa sudah mewujudkan keinginan Lila," Lila memeluk sayang ayah tunggalnya. Vincent mengecup kening sang gadis dan larut dalam tarian yang dibawakan oleh penari berbeda tersebut.
Ghibran mengusap wajahnya di walk in closet, memandang paras tampan dirinya yang sekarang menjadi pucat. Tangannya gemetar, terakhir yang dia tahu Bunga dan keluarganya pindah keluar negeri lima tahun lalu, setelah mereka memutuskan hubungan. Namun kenapa wanita itu ada disini?
Satu yang Ghibran masih sangat ingat, bahwa memang Bunga adalah wanita enerjik yang suka sekali menari, bahkan dia tergabung dalam tim dancer sekolah mereka dahulu. Karena sejak putus itu, semua akses tentang Bunga ditutup rapat oleh Ghibran termasuk memutuskan kontak pertemanan di media sosialnya.
Ghibran menutup pintu toilet dan berjalan di lorong, bertepatan dengan Bunga yang ingin ke toilet, wanita itu masih terlihat cantik ditambah make upnya yang sangat pas menghias wajahnya dan menonjolkan sisi indah dari wajahnya. Beda dengan Lila yang berkulit putih dan cenderung pucat, wajah Bunga selalu nampak segar dan merona.
Ghibran membeku, pun dengan Bunga mereka berdua merasa salah tingkah. Bunga yang lebih dahulu tersenyum dan mengulurkan tangan.
"Selamat atas pernikahan kalian," Ghibran menatap tangan Bunga, lalu Bunga menggoyangkan tangan itu seolah meminta Ghibran membalas jabatan tangannya. Ghibran merasa kikuk, dijabat tangan itu.
"Terima kasih," dilepas jabatan tangannya dengan singkat.
"Apa kabar?"
"Baik," jawab Ghibran.
"Aku enggak nyangka ketemu kamu disini, aku kerja di Vincetius group lho, di taman bermain Vincentius Land, yang ada di Jawa Tengah,"
"Oh," Ghibran mencoba untuk tak tertarik dengan ucapan Bunga, meskipun entah kenapa hatinya masih saja berdetak cepat memandang wajah itu.
Ghibran berjalan meninggalkan Bunga, lalu Bunga memanggilnya, "IBAN!" Ghibran menoleh dan mendapati Bunga yang tersenyum geli, hatinya sakit sekali mendengar panggilan itu diucapkan oleh wanita yang pernah mematahkan hatinya berkeping-keping.
"Jangan panggil aku dengan sebutan itu lagi, karena panggilan itu hanya boleh diucapkan istri aku dan Dera, sampai jumpa," ujar Ghibran ketus, Bunga tersenyum terpaksa dan membiarkan Ghibran pergi tanpa menolehnya lagi, dia tahu dia telah mengecewakan Ghibran dan mungkin lelaki itu membencinya kini.
Tanpa sadar Bunga meneteskan airmata, menangis, dan terduduk di lantai, hatinya sangat sakit, sebelum melihat Ghibran dia merasa hidupnya akan baik-baik saja, namun kini, move onnya hancur berantakan memandang lelaki yang pernah menemaninya selama lima tahun tersebut. Ditambah dia tak pernah dapat menemukan lelaki sebaik Ghibran dimana pun dia mencari.
***
Pesta telah usai, Ghibran dan Lila sudah berganti pakaian dengan piyama tidur. Mereka memutuskan untuk tidur saja malam ini karena besok mereka masih mengadakan privat party di kapal pesiar milik ayah Lila.
Kabarnya tamu undangannya hanya dari keluarga kerabat terdekat saja. Sehingga mereka bebas melakukan apapun sehari semalam di kapal mewah tersebut.
Lila bersandar di d**a Ghibran, suara detak jantung Ghibran seolah irama indah yang membuai telinganya dan menina bobokannya.
"Sudah ngantuk?" tanya Ghibran, Lila mendongak dan menatap manik hitam milik lelaki yang telah sah menjadi suaminya tersebut.
"Sedikit," ujar Lila. Ghibran mengecup bibir Lila.
"Istirahat, besok perjalanan panjang kita akan dimulai, siap-siap ya," goda Ghibran, Lila terkekeh dan mengangguk memeluk lelaki itu semakin erat. Lila tertidur di pelukannya. Sementara pikiran Ghibran melanglang buana, berusaha mengenyahkan bayangan Bunga dan sorot mata kesedihannya. Dia tak bisa! Sungguh!
***
Kapal pesiar berukuran besar itu sudah bersandar di dermaga, Lila mengenakan gaun putih kesayangannya dengan rok lebar dan topi lebar menutup kepalanya. Ghibran mengikuti Lila memakai kemeja putih dengan celana bahan berwarna chino.
Sementara Vincent memakai kemeja dengan celana santai selutut, lelaki itu masih tampak prima dan sehat berjalan berdampingan dengan salah seorang selirnya.
"Yang satu lagi nggak diajak?" bisik Ghibran sambil merangkul Lila masuk kedalam kapal tersebut.
"Tante Linda mabuk laut," kekeh Lila. Ghibran menutup mulut dengan punggung tangannya.
"Serius?"
"Ya, kalau tante Luna, takut ketinggian," lanjutnya. Ghibran mengangguk dan tertawa lagi membuat Lila ikut tertawa saling menggoda dan meledek adalah kebiasaan baru mereka berdua. Beberapa tamu undangan sudah menghadiri privat party itu, teman-teman Vincent yang dari kalangan sosialita, juga genk dari Linda yang diundang serta.
Lila dan Ghibran menata barang mereka di salah satu kamar VIP. Lila membuka kaca jendela dan membiarkan angin laut menerpanya. Ghibran memeluk Lila dari belakang dan mengecup tengkuknya hingga Lila kegelian.
"Mau sekarang?" tanya Ghibran. Lila menggeleng, "masih siang," jawabnya. Ghibran membalik tubuh Lila menghadapnya dan mengecup bibirnya, bibirnya membuai bibir Lila dan menyesapnya dengan intens, sementara tangan Ghibran menuju p******a Lila dan meremasnya dengan gemas hingga Lila mendesah dan membuka bibirnya membiarkan Ghibran menjelajahi bibirnya dengan leluasa.
Ghibran melepas pagutannya dan melihat nafas Lila yang terengah, "yakin nggak mau sekarang?" Lila menarik leher Ghibran dan menciumnya.
"Aku nggak mau keluar sambil berjalan aneh saat pesta dansa nanti malam ya," ancam Lila membuat Ghibran tertawa di kecup pipi Lila sekilas dan mereka memutuskan keluar dari kamar, menyapa para tamu.
"Kakak Dera cariin juga," tutur Dera sambil merengut di ruang utama kapal. "Hai kakak ipar," Goda Dera pada Lila yang membuat Lila tersipu, dia sudah beberapa kali bertemu dengan gadis ceria itu dan meskipun tak terlalu dekat setidaknya Dera tak pernah bersikap kurang ajar terhadapnya.
"Kamu sama siapa?" tanya Ghibran melihat lelaki yang berdiri tak jauh dari Dera.
Lelaki berwajah dewasa dengan bulu halus di sekitar wajahnya dan entah kenapa Ghibran tidak suka melihat tatapan matanya, Ghibran berusaha mengenyahkan pikiran buruknya mungkin dia merasa apa yang mengganggu nya adalah perasaan wajar seorang kakak laki-laki terhadap adik perempuannya yang membawa laki-laki lain dalam hidupnya.
"Pacar Dera, namanya Tito," Dera menggamit lengan Tito, dan Tito menyalami Ghibran juga Lila.
"Kamar kita dimana? Berat nih," ucap Dera, Ghibran berjengit.
"Kamar kamu di samping kamar kakak, dan untuk dia? Nanti kakak tanya apa masih ada yang kosong, jangan pernah sekamar sebelum nikah!" tegas Ghibran, Dera memajukan bibirnya kesal.
"Hei berani melanggar? Kakak cabut semua fasilitas kamu! Ngerti?" ancam Ghibran tegas.
"Kak Lila, bantuin Dera,"
"Sebaiknya kamu turuti kakak kamu," ujar Lila membuat bibir Dera tambah maju. Lila memanggil dua orang pelayan, yang satu mengantar Dera dan satu lagi mengantar Tito untuk mencari kamar kosong.
"Enak aja belum nikah sudah mau satu kamar," rungut Ghibran sambil menggeleng tak percaya dengan kelakuan adiknya yang sebentar lagi wisuda tersebut.
"Namanya juga anak muda, kita juga kan pernah sekamar sebelum menikah," ucap Lila mengamit tangan Ghibran dan berjalan ke salah satu kursi.
"Beda lah kasusnya," Ghibran masih tampak kesal dengan Dera.
"Sudah deh, jadi jelek tahu wajah kamu cemberut gitu," Lila mengambil tempat duduk di dekat jendela kapal, Ghibran pun melakukan hal yang sama. Menarik nafas panjang dan menghembuskannya. Tak berapa lama, kapal berlayar meninggalkan dermaga karena seluruh tamu undangan sudah hadir.
Di kejauhan tampak serang pria memakai kemeja hitam, menatap benci pada pasangan pengantin baru tersebut. Pria yang meminum cairan berwarna merah dan memabukkan itu terus saja menatap lekat pada kedua orang yang sibuk bercanda itu, terutama pada Lila.
***
Selain memakai warna putih, ternyata Lila juga bisa memakai gaun warna hitam, katanya dia masih bertoleransi untuk warna hitam. Setelah pesta dansa yang cukup melelahkan karena Lila mengajak Ghibran berdansa romantis bersama pasangan lain, termasuk Vincent dan Luna.
Lila berdiri di tepian kapal, memandang laut lepas, berpegangan pada pagar pembatas. Lalu pandangannya mengarah ke langit. Melihat jutaan bintang yang bersinar dengan terang di malam ini.
Seorang pria yang tadi siang menatap mereka lekat menghampiri Lila, berpakaian serba hitam.
"Kamu semakin cantik," ucapnya mengagetkan Lila. Lila memegang dadanya karena terkejut.
"Leonardus?" ya Leonardus Maheswara, pria seusia dengan Lila, anak konglomerat juga sama sepertinya bahkan ayah mereka bersahabat. Pria bertubuh tinggi dengan dagu runcing dan hidung mancung, bibirnya terbelah dan rambutnya tampak hitam legam. Cukup tampan jika disandingkan dengan Ghibran, saat ini sedang mengelola perusahaan bersama sang ayah yang juga hanya mempunyai dirinya sebagai anak tunggal, sejak sepuluh tahun lalu, sekolah bisnis di luar negeri membuat perusahaan ayahnya semakin besar dan bahkan Maheswara Group adalah saingan Vincentius group dalam sector usaha, meskipun tidak dalam pertemanan mereka, karena sampai kini, hubungan kedua nya masih tampak dekat.
"Masih ingat dengan ku? Aku pikir kamu telah benar-benar lupa setelah keluar dari rumahku lima belas tahun lalu," Lila tentu ingat, suatu hari karena urusan bisnis, ayahnya sempat memintanya tinggal dengan keluarga Leonardus selama beberapa hari. Yang Lila tahu, perusahaan ayahnya sempat goyang kala itu sehingga dia lebih tenang meninggalkan Lila dirumah kerabatnya apalagi ibu Leonardus adalah sahabat mendiang istrinya.
Namun entah kenapa Lila tak pernah menyukai Leonardus meskipun lelaki itu selalu menunjukkan ketertarikannya sejak dahulu.
"Apa kamu masih ingat juga janji aku diatas atap? Aku bilang akan menikahi kamu kan? Aku pikir kamu masih butuh waktu hingga tak pernah membalas pesanku, kamu tega!" Leonardus menyeringai dan menyesap winenya.
"Aku enggak pernah tertarik sama kamu Leon, jadi please lupakan aku,"
"Tidak semudah itu!" Leonardus menaikkan suaranya. Melempar gelas yang dipegangnya ke lautan, lalu tangan bebasnya mencengkram bahu Lila sangat keras hingga meninggalkan bekas.
"Sakit Leon," Lila mengaduh.
"Aku mencintai kamu Lila, kamu tahu itu! Sejak dahulu aku ingin memiliki kamu!"
"Itu bukan cinta Leon, itu obsesi! Dan aku tidak suka, lepas." Lila meronta, dan Ghibran yang semula mengambilkan air minum untuk Lila berlari melepaskan gelasnya dan menerjang Leonardus, bahkan memukul wajah Leonardus hingga sudut bibir lelaki itu terluka dan tubuhnya terjatuh ke lantai. Lila ketakutan dan memeluk Ghibran dia juga takut Ghibran akan menghajar Leonardus habis-habisan karena Lila tahu Ghibran menguasai ilmu bela diri yang handal.
"Jangan pernah sentuh Lila!" ancam Ghibran sambil menggandeng Lila dan meninggalkan lelaki itu yang masih berbaring di lantai. Hanya satu pukulan di wajah namun entah mengapa Leonardus merasa tubuhnya sangat lemah, padahal dia juga sering berlatih bela diri. Sepertinya Ghibran menyerang tepat di titik tertentu di wajahnya.
Beberapa petugas keamanan membantu Leonardus berdiri, mencari keributan saat ini hanya akan mencoreng nama ayahnya yang berada di dalam kapal. Dan dia tak mau, dia masih membutuhkan ayahnya untuk mewujudkan citanya mendapatkan Lila dengan cara apapun dia tak perduli, dia sangat ingin merebut wanita itu dan memilikinya.
***
Bersambung