--- Rindu itu ibarat candu,
--- Dengan rasa yang menggebu,
--- Apakah dia tahu?
***
Ghibran Ghaisani, diantar supir pribadi Vincent menuju rumah Khaylila Vincentius, atau nona muda yang biasa dipanggil Lila.
Sepanjang perjalanan Ghibran mengingat pesan dari calon mertuanya yang tak lain adalah direktur utama di tempatnya bekerja, Vincentius. Beliau berkata bahwa penyakit langka yang diderita Lila, sampai kini belum diketahui penyebabnya adalah tidur panjang.
Semua bermula ketika Lila berusia empat tahun, sedang bermain di taman bermain dengan lima baby sitter dan dua petugas keamanan. Namun entah bagaimana ceritanya mereka bertujuh kehilangan Lila, semua dikerahkan untuk mencari gadis kecil itu.
Betapa marahnya Vincent saat itu, padahal mereka hanya bermain di sekitar kompleks perumahan saja.
Lila baru ketemu tiga jam kemudian, bersembunyi di dalam lorong perosotan di taman bermain perumahan lainnya, dua blok dari tempatnya berada, sedang pulas tertidur.
Namun sampai hari ketiga gadis cilik itu tak jua mau bangun dari tidur panjangnya. Beberapa dokter mengecek tubuhnya, medical check up namun tak ada yang aneh, dia benar-benar seperti tertidur saja.
Dan sejak saat itu, sebulan sekali Lila akan menghabiskan waktu dua sampai tujuh hari untuk tidur tanpa bisa dibangunkan, hal yang selalu membuat ayahnya khawatir karena takut anaknya tak terbangun lagi saat tidur panjangnya.
Itu sebabnya pula dirumah Lila ada perawat pribadi yang akan selalu siap memasang infus saat Lila tertidur pulas agar tubuhnya tetap bernutrisi.
Seluruh penjaga Lila dipecat oleh ayahnya, dan dia mempekerjakan seorang pengawal yang akan stan by dua puluh empat jam untuk gadis itu, dialah Eros yang bekerja dengan Lila sejak gadis itu berusia lima tahun.
Mobil masuk ke sebuah rumah besar yang bahkan menempati satu blok sendiri. Rumah yang lebih masuk akal jika disebut istana. Tak hanya ada satu bangunan disana.
Ada beberapa bangunan dalam satu lingkungan tersebut, dengan kolam renang yang mengalir panjang layaknya sungai, air yang jernih, bahkan ada Cano di pinggiran kolam berwarna biru tersebut.
Pepohonan rindang sangat terasa menyejukkan, bangunan rumahnya sendiri sangat tinggi dan besar dengan dinding berwarna putih, ada taman bermain yang cukup banyak mainannya.
Ayah Lila yang membuatnya, sejak kejadian itu. Dia membeli rumah-rumah di sekitar rumahnya untuk dijadikan satu dengan rumahnya. Ya hanya agar Lila tidak bosan jika berdiam diri dirumah.
Bahkan di salah satu bangunan terdapat café pribadi lengkap dengan meja bartender, aneka minuman dan satu orang koki khusus yang menyediakan seluruh pesanan yang diminta Lila atau ayahnya.
Sejak itu pula,Vincent tak mau kelemahan anaknya di jadikan senjata oleh musuhnya, karena dia tahu dalam dunia bisnis pun banyak pesaing yang ingin menempati posisinya. Tentu pemilik perusahaan besar, Vincentius group yang mencakup hampir seluruh sector perusahaan , termasuk bidang medis dan teknologi informatika. Kekayaan Vincent tak terhitung jumlahnya mungkin, karena setiap detik saja pundi-pundi dollar dan rupiah masuk ke dalam akunnya.
Ghibran diantar seorang petugas keamanan, berjenis kelamin laki-laki memakai setelan jas dengan earphone yang tersambung di telinganya.
Sampailah Ghibran ke depan sebuah kamar yang pintunya terbuat dari banyak ukiran, pintu yang besar dan tinggi. Petugas keamanan itu mengetuk pintu dan terdengar suara Lila menyuruhnya masuk.
Wanita itu sedang berbaring di ranjang, memainkan laptopnya. Menulis adalah hobinya, dia mempunyai satu akun kepenulisan, followernya tidak main-main ratusan ribu, dia bahkan telah mempunyai beberapa n****+, namun tak ada yang tahu siapa dibalik penulis n****+ misterius dengan username “White Flower,” tersebut.
Lila terkejut mendapati Ghibran sedang berdiri dan melambai padanya, sang petugas keamanan undur diri. Ghibran berjalan semakin jauh ke dalam, memperhatikan kamar sang gadis yang sangat luas.
“Hai,” Ghibran menyalami Lila, wanita itu terlihat kikuk dan membalas jabatan tangan Ghibran dengan jemari yang agak bergetar. Sungguh perasaan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
“Papa kok nggak bilang ya? Maaf aku nggak menyambut kamu dengan sepantasnya,” Lila menutup laptopnya dan menepikan selimutnya.
“Mau jalan-jalan?” tawar Lila, Ghibran mengangguk, banyak tempat yang sesungguhnya ingin dijelajahinya dirumah ini, sungguh masuk ke perumahan milik Vincentius adalah serupa dengan pengalaman baru yang menakjubkan.
Lila masih berjalan dalam diam, sepanjang lorong mereka melewati lusinan lukisan yang Ghibran tebak pasti harganya sangat mahal dan dibuat oleh pelukis terkenal.
Juga ornamen dinding dan hiasan yang berada di meja-meja lorong panjang dan besar tersebut. Ghibran sangat yakin, jika berjalan sendiri, dia bisa tersesat dirumah besar itu.
“Lewat sini,” tutur Lila, seseorang membuka pintu besar untuknya yang menuju ke halaman belakang, suara gemericik yang dihasilkan dari air mancur yang mengarah ke kolam renang, see bahkan ada kolam arus di dalam halaman rumah tersebut, Lila menaiki jembatan gantung yang dibuat dari ukiran kayu, sangat etnik, menuju salah satu spot favorit yaitu café pribadi miliknya.
Mengajak Ghibran duduk di salah satu kursi yang mana pemandangannya mengarah ke kolam tadi dan dari tempat ini, sangat jelas memandang seluruh bagian rumah tersebut. Decak kagum tak bisa disembunyikan dari Ghibran.
“Mau minum apa?” tawar Lila.
“Apa saja boleh, air putih juga tidak apa-apa,” jawab Ghibran, Lila tersenyum, semakin memperindah wajah cantiknya.
“Creamy coffe ya, buatan uncle Ko itu terenak,” ucap Lila, Ghibran pun mengangguk dia juga menyukai kopi. Mungkin tak buruk menikmati kopi di siang ini.
Lila memesan creamy coffe untuk Ghibran sementara dia meminta es cokelat untuknya. Juga pancake untuk mereka berdua. Uncle Ko yang mempunyai nama Harco itu menerima pesanan Lila dan langsung membuatnya.
Beberapa percakapan singkat dibicarakan mereka berdua sambil menunggu pesanan datang. Uncle Ko membawa pesanan mereka dan undur diri.
“Jadi mulai kapan kamu kerja sebagai pengawal aku?” tanya Lila sambil menyesap es kopi miliknya.
“Pengawal? Saya justru ingin melamar menjadi suami kamu,” tutur Ghibran membuat Lila tersedak, dia cukup panic mendapati wajah Lila yang memerah karena tersedak, bahkan uncle Ko berlari menghampiri mereka. Lila mengangkat tangannya dan mengatakan dia baik-baik saja hingga Uncle Ko tak perlu khawatir.
“Bagaimana bisa?” tanya Lila.
“Aku suka kamu sejak pertama bertemu, dan papa kamu merestui, jadi tunggu apalagi?” Ghibran mengeluarkan kotak beludru dari saku celananya, membuka kotak itu dan memperlihatkan sebuah cincin yang sangat Indah.
Dia berjalan memutar meja dan berlutut, “Would you be Mine?” tuturnya sambil menyodorkan cincin di hadapan Lila. Lila menutup mulutnya tak percaya, bahkan air mata menggenang di pelupuk matanya, sungguh dia tak menyangka lelaki yang seharian ini hinggap di pikirannya, kini sedang berlutut melamarnya. Benar-benar seperti mimpi.
Selama ini dia hanya mampu membayangkan adegan romantis di otaknya saja, lalu menuliskannya dalam bentuk tulisan dan mengupload menggunakan akun White Flower.
Namun kini, dia seolah menjadi pemeran utama dari n****+ romance yang sering dibuatnya.
“Of Course,” jawab Lila terharu. Ghibran tersenyum, mengambil tangan Lila dan memasangkan cincin yang ternyata sangat pas di jarinya seolah cincin itu memang tercipta untuknya.
“Cantik,” ucap Ghibran sambil mengecup tangan Lila membuat wanita itu berbunga-bunga. Ghibran duduk kembali di kursinya, namun tangannya masih menggenggam tangan Lila, mengusap dengan ibu jarinya, hingga Lila merasa jantungnya ingin meloncat keluar karena sentuhan lembut yang diberikan Ghibran terhadapnya.
“Kapan kamu siapin ini semua?” suara lembut Lila terdengar sangat merdu.
“Saat perjalanan kesini, maaf kalau cincin ini bukan barang mahal dan mewah yang bisa kuberikan untuk kamu,” Ghibran mengusap jemari Lila yang bercincin itu, Lila menggeleng.
“Ini hadiah terindah buat aku,”
“Boleh aku menjelaskan siapa aku? Agar kamu tidak terkejut nantinya?”
“Tentu,”
“Aku lahir dua puluh tujuh tahun lalu, saat ini aku mempunyai adik perempuan berusia dua puluh dua tahun, kami hanya tinggal berdua, sejak remaja orang tua kami meninggal dunia. Kami bukan dari keluarga mampu itu sebabnya aku bekerja lebih keras dari anak lainnya, maaf jika kenyataan ini akan mengecewakan kamu.”
Lila memperhatikan wajah Ghibran lekat, tersenyum pada lelaki itu dan membalas usapan jemari Ghibran. Ghibran mendongak mendapati Lila yang menatapnya intens.
“Aku tidak peduli dengan latar belakang kamu, karena mulai kini, kita hanya akan membahas masa depan, bagaimana?” Ghibran mengangguk. Mereka banyak membicarakan hal lain hingga petang beranjak naik.
Ghibran sungguh humoris, seringkali Lila tertawa mendengar ceritanya, mereka bahkan bergandengan tangan menuju kamar Lila. Lila memandang jendela di hadapannya, Ghibran menutup pintu dan menyusulnya, berdiri disamping sang gadis yang memandang semburat senja berwarna kemerahan dari jendela besar kamarnya.
“Aku pamit pulang ya,” tutur Ghibran, raut wajah Lila terlihat kecewa. Ghibran memegang bahu Lila dan memutar agar saling berhadapan. Dikecup kening Lila hingga gadis itu terkesiap karena sentuhan bibir Ghibran yang lembut justru membuatnya terasa tersengat listrik.
Jemari Ghibran turun mengusap bibir Lila, seolah meminta persetujuan mengecup bibir gadis itu, Lila mengangguk meskipun kurang yakin karena dia tak pernah berciuman sebelumnya, bersentuhan dengan lain jenis saja tidak pernah karena ayahnya yang sangat over protective, bahkan Lila menghabiskan masa SD sampai SMA menjalani home schooling, kuliah di tempat eksekutif yang satu ruangan hanya terdapat lima mahasiswa saja. Dan mereka bukan teman yang enak diajak bergaul bagi Lila.
Ghibran memajukan wajahnya, Lila memejamkan mata, tangannya bergetar karena jantungnya yang berdegup kencang.
Bibir Ghibran menempel pada bibir Lila, mengecupnya. Tangan Ghibran memegang dagu Lila dan membuatnya membuka bibirnya, Lila sedikit membuka bibirnya dan Ghibran menyusupkan bibir bawahnya, menghisap bibir atas Lila. Nafas mereka menyatu, Lila tak bisa membalas ciuman itu, dia sangat menikmatinya dan tak berinisiatif menghisap bibir Ghibran seperti yang dilakukan lelaki itu padanya.
Wajar karena ini ciuman pertamanya, tangan Lila mengepal dan mencengkram gaunnya. Mengapa rasanya sangat menyenangkan? Batin Lila.
Ghibran memiringkan wajahnya ke sisi lain dan mengeskplor bibir Lila seolah menuntutnya melakukan yang sama, Lila paham, dia pernah menuliskannya di n****+ namun sungguh dia baru merasakannya kali ini, pantas saja ada yang pernah berkomentar bahwa n****+ yang dibuat Lila terkadang tidak terasa ‘feel’nya terutama saat skin touch antar sang pemeran. Lila baru memahaminya sekarang perasaan saat berciuman dengan orang yang disukai, rasanya sungguh sangat Indah.
Lila membalas ciuman Ghibran dengan menghisap bibirnya pelan, rasanya cukup manis, aroma kopi masih menempel di bibir Ghibran, tangan Ghibran mengusap punggung Lila naik turun lalu mengangkat kedua tangan Lila dan mengalungkan di lehernya, dengan begitu Lila lebih bisa mengeksplor bibir Ghibran dan lebih leluasa menciumnya.
Ciuman Ghibran seolah memburunya dan menjadi lumatan yang panas, membangkitkan hasrat Lila yang sangat asing baginya. Dia merasa sangat ingin disentuh lelaki itu disekujur tubuhnya. Ghibran menekan leher belakang Lila dengan tangannya, dan terus mencumbunya hingga nafas mereka terasa hampir habis. Lila dan Ghibran menghakhiri sesi ciuman panjang tersebut dan menarik nafas panjang.
Ghibran tersenyum memandang wajah Lila yang tersipu. Tangannya mengusap pipi Lila dan menangkupnya agar mendongak.
“Besok aku kesini lagi, kita bahas pernikahan kita ya, kayaknya aku enggak kuat kalau nunggu terlalu lama,” tutur Ghibran. Lila mengangguk malu-malu, Ghibran mengusap kepala Lila dan mengecup bibirnya sekilas.
“Istirahat yang cukup, aku pulang dulu.”
“Iya, hati-hati dijalan ya,” Lila masih merasakan malu, wajahnya pasti seperti kepiting rebus sekarang. Ghibran keluar dari kamar Lila dan sempat melambai sebelum menutup pintu kamar gadis itu, diluar telah menunggu seorang petugas yang akan mengantarnya sampai parkiran.
Sepeninggal Ghibran, Lila melonjak kegirangan, dia berbaring dan menendang nendang selimutnya, mengambil bantal guling dan memeluknya, masih terasa bibir Ghibran menempel di bibirnya. Lila mengusap bibirnya yang terasa tebal karena ciuman panjang tadi. Ah rasanya dia tak sabar menunggu esok hari. Akankah Ghibran menciumnya lagi?
***
bersambung