Chapter 3

1025 Kata
Flashback, beberapa tahun silam.. "Mas, sudah makan?" "Sebentar lagi aku akan makan, sayang." "Jangan ditunda ya, em, Mas lagi dimana?" "Aku lagi di lokasi kejadian. Keadaan disini begitu macet. Ternyata kebakarannya disebabkan oleh tabung gas yang meledak." "Oh gitu. Mas, Alhamdullilah disini aku nggak kesepian kalau Mama pulang jagain Papa." "Sahabat kamu berkunjung lagi ke rumah sakit?" "Iya, Mas. Alhamdulillah, sebulan sekali dia kemari kalau libur tanggal merah." Danish tersenyum tipis. Sejak dulu ia memang tahu, bahwa istrinya itu memiliki sahabat bernama Nafisah meskipun ia tidak pernah melihatnya. "Dia sahabat yang baik. Ah, dia kemari apakah sudah mendapatkan izin dari suaminya?" "Justru dia ikut ke kota ini sama Abangnya, Mas. Dia itu belum menikah. Waktu datang ke resepsi kita saja dia tidak membawa pasangan. Mas lupa ya?" Danish tersebut miris. "Bahkan aku tidak tahu orangnya yang mana." Alina tertawa geli di balik suara panggilan ponsel. Danish sadar, meskipun kondisi Alina sering ngedrop, tapi istrinya itu tetap optimis untuk bisa sembuh meskipun kanker yang di hadapi sudah berlanjut stadium 2. "Iya, deh iya, yang nggak pernah merhatiin wanita lain." "Itu tugasku Alina. Seorang pria wajib menundukan pandangan kepada yang bukan mahramnya. Dia sahabatmu, bukan saudara yang tidak terlalu penting bagiku." "Em, iya Mas, aku- argh.." Danish panik. "Alina, kamu baik-baik saja?" "Perutku hanya sakit." "Yaudah, kamu istirahat ya. Sahabat kamu masih disana?" "Iya Mas, dia ke toilet sebentar." "Insya Allah, sore ini, begitu semua pekerjaanku selesai, aku akan kesana. Maafkan aku Alina." "Ya Allah, Mas, justru aku yang minta maaf sama kamu sudah merepotkan kamu. Penyakitku-" "Sshh, jangan bicara seperti itu lagi. Oke? Ini hanya ujian dari Allah buat kita. Yaudah, sayang istirahat dulu ya, Aku lanjut meliput berita dulu. Assalamualaikum." flashback off.. * Danish berdiri, menatap langit malam yang di penuhi cahaya bintang-bintang terang. Seketika bayangan masalalu kembali hadir di benaknya. Di saat seperti ini, kenapa hatinya semakin sakit? Apakah sesulit itu mengikhlaskan takdir yang diberikan oleh Allah padanya. Disaat yang sama, wajah Nafisah terbayang di benaknya. Danish menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Astagfirullah.. Kenapa wajahnya tiba-tiba hadir di pikiranku? Ini tidak baik. Hanya wajah Alina yang boleh terlintas di benakku. Aku tidak ingin ada kenangan baru sementara yang lama adalah memori terindah. Meskipun singkat, tapi begitu berkesan." ❤❤❤❤ Keesokan harinya.. Sholat zuhur baru saja selesai di salah satu mesjid terdekat rumah mertua Danish. Dengan langkah pelan, Danish segera pulang menuju rumahnya. Lokasinya yang dekat, membuat Danish memilih berjalan kaki ketimbang naik kendaraan menuju mesjid karena Danish sadar, begitu besar pahalanya dari Allah SWT bagi seseorang yang pulang dan pergi menuju mesjid dengan berjalan kaki. Jarak jauh maupun dekat, Danish lakukan sebagai motivasi diri untuk bersungguh-sungguh dalam memperoleh pahala selama hal itu tidak menimbulkan masyaqqah ( kesulitan) dan juga selama tidak ada udzur seperti tua renta atau hal lainnya. Semua sudah di jelaskan dalam Hadist Riwayat Muslim no.666 "Barangsiapa bersuci di rumahnya, kemudian berjalan ke salah satu rumah Allah (masjid) untuk melaksanakan kewajiban yang Allah tetapkan, maka kedua langkahnya, yang satu menghapus kesalahan dan satunya lagi meninggikan derajat.” "Assalamualaikum. Danish?" Danish menoleh ke belakang. Seorang pria memanggilnya. Danish mencoba mengingat siapa pria itu hingga akhirnya pria itu tersenyum ramah padanya. "Wa'alalikumussalam. Maaf siapa, ya?" "Kamu lupa ya sama aku? Aku Irsyad, dulu kita teman satu sekolah SMA." Detik berikutnya, Danish tersenyum lebar. Ia menggelengkan kepalanya. Hampir saja ia benar-benar melupakan Irsyad. "Astagfirullah. Aku lupa, maaf ya Irsyad. Kalau kamu nggak negur aku, aku beneran nggak ingat." Irsyad hanya tertawa. Tak lupa keduanya saling berjabat tangan. Danish menatap Irsyad yang banyak berubah. Dulu, pria itu terlihat urak-urakan dan nakal. Sekarang? Irsyad malah jauh dari semua penampilan itu. Lebih rapi dan tampan. "Kamu tempat mertua kamu?" tanya Irsyad balik. "Hm, iya, lagi liburan bawa putriku ketemu Neneknya." "Ah begitu." Irsyad tersenyum. "Istri kamu mana? Kok sendirian?" Seketika raut senyum wajah Danish perlahan meredup. Ia menatap Irsyad dengan tatapan sedih dan memaksakan senyumnya. "Dia sudah tenang disana. Allah menempatkan dia ditempat yang terbaik." "Maksud kamu.. " Irsyad terdiam sesaat, lalu tersadar dan merasa bersalah. "Danish maafkan aku. Sungguh, aku tidak tahu. Aku turut berduka cita atas kepergiannya. Semoga Allah memberimu kesabaran yang besar atas semua ujian ini." "Aamiin ya Allah. Terima kasih." Keduanya pun masih saja terlihat berbincang, tapi tanpa siapa pun sadari, dari jarak kejauhan, tanpa sengaja Nafisah menatap keduanya. Dengan erat Nafisah memegang tas mukena yang ia bawa setelah keluar dari mesjid. Tatapannya tak lepas dari Irsyad yang sangat tampan dengan memakai baju koko kurta sementara Danish mengenakan gamis. Kedua pria itu, sama-sama tampan. Tapi ntah kenapa, tatapan jatuh cintanya terfokus pada Irsyad saja. "Ya Allah.. Kenapa semakin hari rasa ini tidak pernah berubah? Apakah Allah mengizinkan, jika suatu saat aku dan Mas Irsyad berjodoh? Hanya dia, pria yang selalu aku sebutkan dalam doaMu." "Kalau kamu nggak ada waktu, ayo kita ke warung kopi. Sudah lama sekali kita nggak ngobrol." tawar Irsyad pada Danish hingga akhirnya ia merasa heran melihat Danish, kenapa pria itu malah menatap ke lain. Irsyad merasa penasaran, hingga akhirnya ia mengikuti arah pandang Danish yang melihat seorang wanita. "Kamu kenal wanita itu?" tanya Irsyad tiba-tiba. Danish mengangguk. "Dia sahabat almarhumah istriku." "Dia juga guru les private keponakanku. Menurutmu, apakah dia cantik?" Danish tak menjawab, ia langsung mengalihkan tatapannya ke lain. Sementara Nafisah langsung pergi dari sana, sadar kalau akhirnya Danish dan Irsyad melihat keberadaannya. "Aku tidak tahu." "Bagiku dia cantik." Ntah dorongan darimana, rasa penasaran Danish akan suatu hal pun muncul setelah Irsyad memuji sahabat almarhumah istrinya itu. "Kamu.." "Apa?" "Kamu.. " Danish berdeham. "Kamu suka sama dia?" Bukannya menjawab, Irsyad hanya tersenyum tipis. Seolah-olah raut wajahnya terlihat malu-malu dan sekarang Irsyad malah menggaruk tengkuk lehernya yang tidak gatal. "Hanya kagum. Tapi tidak tahu kedepannya. Dia, sesuai kriteria aku sebagai calon pendamping hidup." jawab irsyad santai, hingga membuat perasaan Danish semakin dilema. . "Papa dan Mama menjodohkanku dengan Nafisah. Tapi di sisi lain, ada temanku yang menyukainya. Apakah aku tega, meminang seorang wanita yang disukai pria lain?" sela Danish dalam hati. Sekali lagi, Danish menatap Irsyad yang tatapannya tak lepas dari Nafisah. "Mungkin aku harus mempertimbangkan lagi kalau mau menikahi Nafisah meskipun Papa dan Mama menjodohkanku dengannya... " ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN