Chapter 8

1200 Kata
Danish melangkahkan kedua kakinya memasuki koridor rumah sakit. Di tangan kanannya terdapat tas plastik yang berisi makan malam untuk Diyah dan Mama nya. Seketika Danish menghentikan langkahnya, kedua matanya menatap Irsyad dan Nafisah berada didepan matanya. "Apakah mereka habis menjenguk Papa atau menjenguk orang lain di sini?" tanya Danish dalam hati. Berusaha untuk bersikap biasa-biasa saja, Danish tetap berjalan dengan langkah pelan. Sampai akhirnya Irsyad menegurnya, sementara Nafisah menatap Danish sejenak dan segera berdiam diri sambil menunduk. "Assalamualaikum Danish? " "Wa'alaikumusallam. Mau pulang?" "Hm iya, sudah malam. Tanpa sengaja tadi kami ketemu di musholla. Jadi, ini mau pulang sama-sama." "Siapa yang sakit?" "Keluargaku yang sakit. Bagaimana kondisi Papa kamu?" "Alhamdulillah sudah membaik." "Kalau begitu, kami pamit dulu. Ayo Nafisah. Assalamu'alaikum." "Wa'alaikumusallam." Irsyad segera berlalu dengan Nafisah. Sementara Danish hanya menghela napasnya. Ia sadar, keduanya jika dilihat memang sama-sama cocok dan serasi. Selain tampan, Irsyad juga mapan. Tidak seperti dirinya yang hanya memiliki pekerjaan seorang reporter koran harian dengan gaji pas-pasan dan belum terpikir untuk menikah lagi. Ponsel Danish berdering. Ia pun meraih ponselnya dan menerima panggilan tersebut hingga tanpa sengaja ia menoleh kebelakang. Nafisah menatapnya dan buru-buru memutuskan pandangannya. "Assalamu'alaikum, Danish? Halo? Apakah kamu mendengar suaraku?" "Kenapa wanita itu menatapku dari kejauhan?" tanya Danish dalam hati. "Halo Danish?" Danish segera memalingkan wajahnya ke lain dan menyahut suara panggilan ponselnya saat ini. "Iya, aku disini." ❤❤❤❤ Berapa kali emak kita itu meninggalkan puasa gara-gara kita? sembilan puluh hari. Tanya, tiga puluh hari dia tidak puasa karena kita berada dalam perutnya, tiga puluh hari dia tidak puasa karena tidak ada air susunya, tiga puluh hari lagi dua tahun. Jadi sembilan puluh hari dia tidak puasa. Masa sekarang dihari tuanya kita susahkan juga dia lagi," "Di hari tuanya ini bahagiakanlah dia. Kalau kalian tidak bisa bahagiakan orangtua, paling tidak jangan kalian membuat susah dia. Kalau tidak bisa kalian menyenangkan dia, jangan kalian susahkan di hari tuanya," "Jangan sampai meleleh air matanya, orangtua tidak akan pernah menolak cucu. 'Mak jaga anakku ya' iyalah. Dia tidak pernah menolak cucu karena dia sayang ke anak kita. Kita lah yang berpikir," "Jangan sampai setelah dia meninggal, barulah kita meratap, menangis. Tidak ada gunanya, menetes air mata darah. Selama hayat dan dia masih hidup, senangkan lah hatinya, senangkan hidupnya, senangkan, nyamankan dia, tenangkan pikirannya karena kematian akan menjemput tidak tahu entah kapan. Kita sangka dia masih panjang, setelah itu dia meninggal, menyesal seumur hidup, tidak ada gunanya," Rasa bersalah menyergap hati Danish. Ceramah ustadz Abdul Somad yang ia dengar di sosial media bagaimana pandangan Islam terhadap kasus yang suka menitipkan anak kepada ibunya seolah-olah menampar dirinya. Tanpa sadar, ia sudah salah, ia sudah membuat orang tuanya yang berusia senja kerepotan mengurus Diyah. Tak hanya itu, bahkan kejadian Diyah pernah di culik seminggu yang lalu menjadi sebuah tanda bahwa kedua orang tuanya tidak mampu menjaga Diyah secara tidak langsung sampai akhirnya harus mencari jasa babbysitter. Tayangan ceramah tersebut akhirnya berakhir beberapa menit kemudian setelah mengingatkan tentang umat Islam untuk membahagiakan dan tidak menyusahkan kedua orangtuanya dengan tidak menitipkan anak-anaknya kepada mereka. Dengan perlahan Danish menonaktifkan ponselnya. Danish meletakkan ponselnya diatas meja, sementara ia menatap Mamanya tertidur lelap di sebuah sofa berukuran panjang, terlihat lelah setelah menjaga Papanya selama opname. Sementara Diyah sudah pulang ke rumah Neneknya beberapa jam yang lalu. Jam sudah menujukan pukul 01.00 pagi. Hawa suhu ruangan yang dingin begitu terasa dj kulit Danish. Ntah kenapa mood Danish tidak karuan. Ia sadar, merasa bersalah karena sudah membebani orang tuanya. Sekarang, apa yang harus ia lakukan? Apakah usulan dan tawaran Mamanya yang menyuruhnya menikah lagi itu baik untuknya? Tiba-tiba Danish kembali berpikir ulang tentang hal tersebut. Mungkin, jika ia menikah, selain keadaan membuatnya terbantu, sisi baiknya Diyah akan kembali mendapatkan kasih sayang. Tetapi siapa wanita yang akan ia nikahi? Mencari seorang wanita yang harus menyukai putrinya tentu saja tidak akan semudah yang di pikirkan. Danish menundukkan wajahnya. Disaat yang sama, rasa khawatir terhadap Diyah, rasa bersalah pada kedua orangtuanya, rasa terluka dan cintanya pada Alina membuatnya dilema. "Ya Allah, berilah jalan yang terbaik untuk hamba." Air mata menggenang dikedua mata Danish. Rasa rindu pada Diyah dan Alina membuatnya terpuruk. "Alina, apakah aku sanggup ketika suatu saat ada wanita lain selain dirimu tiba-tiba dia menjadi pendamping hidupku?" "Ya Allah, Apakah hamba sanggup mencari pengganti Alina sementara almarhumah istri hamba adalah seseorang yang hamba cintai?" "Ya Allah, sesungguhnya hamba dilema di hadapkan perkara urusan dunia seperti ini dalam ujian yang sedang hamba hadapi." "Ya Allah, berilah hamba petunjuk yang terbaik. Sesungguhnya hamba hanya berserah diri dan bergantung pada Allah. Apapun yang menjadi takdir dan pilihan Allah, hamba harus menerimanya. Sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang tidak hamba ketahui. Aamiin." ❤❤❤❤ Seminggu Kemudian.. Nafisah menutup laptopnya. Pekerjaannya sebagai guru pengajar bimbel dalam membuat materi besok lusa pun selesai. Nafisah melirik kearah jam dinding bertepatan saat ponselnya berdering. Sebuah nomor tak dikenal terpampang dilayar ponsel Nafisah. Tanpa ragu, Nafisah menerima panggilan tersebut. "Halo Assalamualaikum?" "Wa'alaikumussalam. Hai.." Seketika Nafisah terdiam. Suara yang berasal dari seorang pria membuat Nafisah mengerutkan dahinya. Bahkan suara tersebut sangat familiar baginya. "Em, maaf, ini siapa ya?" "Ini saya, Irsyad." "M..mas Irsyad?" "Ya, ini saya. Maaf membuatmu terkejut dengan panggilan para ponsel dari saya yang begitu dadakan." Nafisah segera berdiri dari tempat duduknya. Berjalan mondar-mandir dengan perasaan gugup. Padahal Irsyad hanya menghubunginya, mungkin ada perlu, itu yang ia pikirkan saat ini meskipun sejak kemarin-kemarin hatinya bertanya, kapan Irsyad datang bertamu kerumahnya sesuai janjinya waktu itu. "Saya, em tidak apa-apa, Mas." "Alhamdulillah kalau begitu. Oh iya, kebetulan saya mendapatkan nomor ponselmu dari Bibiku, Ibunda Rara." "Ah iya Mas. Kalau boleh tahu, ada perlu apa ya? Apakah Mas ingin bertanya tentang Rara dan perkembangan belajarnya?" "Tidak. Ini bukan soal Rara atau pendidikannya. Ini soal saya dan.. kamu." Jantung Nafisah sudah berdegup kencang. Kedua telapak tangannya tentu saja sekarang dingin saking groginya. Saya dan kamu, tiga kata itu sukses membuatnya berusaha menahan diri agar tidak berteriak kencang saking senangnya. "Maaf, maksud Mas, apa ya?" "Seperti yang saya bilang seminggu yang lalu, em, insya Allah besok saya kerumah kamu. Kebetulan saya sudah menghubungi Mama kamu. Apakah beliau sudah menyampaikan maksud kedatangan saya kerumah kamu?" Tentu saja Nafisah tak menjawab. Yang benar saja, bagaimana ia bisa tahu sementara Mamanya tidak pernah bercerita apapun tentang kedatangan Irsyad besok pagi. Apakah Mamanya itu berniat memberinya kejutan? "Maaf Mas, tidak satupun pihak keluarga saya apalagi Mama memberi tahu kedatangan Mas besok. Saya cukup terkejut." Lalu Irsyad tertawa di seberang panggilan. "Sebenarnya beberapa hari yang lalu saya sudah memberi tahu pada Papa dan Mama kamu. Kebetulan kami bertemu saat acara syukuran dirumah Rara. Waktu itu kamu tidak datang, katanya kamu sedang berada diluar kota. Alhamdulillah Papa dan Mama kamu dengan senang hati menerima keluarga saya datang mengunjungi kamu. Insya Allah besok, pukul 09.00 pagi." "Oh iya, Mas, terima kasih sudah mengatakan hal itu pada orang tua saya." "Sama-sama, saya tutup dulu ya panggilan ini. Assalamualaikum." "Wa'alaikumussalam." Ntah bagaimana lagi perasaan Nafisah, sungguh ia tidak bisa membendung lagi perasaan bahagianya sambil duduk menghadap kiblat dan menengah kedua tangannya kelangit. "Ya Allah, sesungguhnya rasa bahagia ini hanya bisa hamba ucapankan pada Allah subhanahu wa ta'ala yang telah mengatur semua urusan didunia ini. Semoga Allah senantiasa memberikan kelancaran untuk semuanya, Aamiin." ❤❤❤❤
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN