4. Pertemuan Singkat

2478 Kata
Steve turun ke lantai bawah mencari sarapan. Pagi-pagi sekali dia sudah bangun dan olahraga untuk tetap menjaga postur tubuh atletis yang diinginkan. Rutin setiap hari, meski kadang kepalanya sering nyut-nyutan tidak bersahabat. Tidak setiap malam juga Steve mabuk, hanya saja dalam seminggu paling tidak lima sampai enam kali. Lelaki berwajah tampan ini sudah mandi, mengenakan pakaian sederhana dengan handuk yang melingkar di lehernya. "Bibi Muti, sarapan aku mana?" tanyanya pada asisten rumah tangga yang setia bekerja di kediaman Baylor sejak Steve masih duduk di bangku sekolah dasar. Bibi Muti tersenyum tipis. "Belum siap, Mas Steve. Ini masih terlalu pagi, kata Tuan Baylor hari ini sarapan jam delapan." Steve langsung menoleh ke arah jam dinding yang masih menunjukkan jam tujuh lewat dua puluh menit. Dia mengerutkan kening begitu dalam, menganga langsung kehabisan suara. "Maksudnya apa, Bibi? Aku sudah datang terlambat dua puluh menit, ya kali masih ditunda sarapannya sampai jam delapan? Ngaco ah, orang biasanya jam tujuh sudah pada makan." Tadi Steve memilih joging keliling perumahannya, kemudian menghabiskan waktu di ruang gym. Dia cepat-cepat mandi dan bersiap, sebab tahu waktu sarapannya sudah begitu terlambat. "Tuan Baylor yang meminta kepada saya semalam, Mas Steve. Katanya pagi ini saya boleh bersantai dulu, sarapannya agak siang soalnya. Jadi ketika bangun tidur, saya langsung mengurus tanaman di taman dulu, ngasih makan ikan dan menyapu dedaunan kering yang jatuh berantakan di sekitar sana." Mengacungkan jempol, kemudian lanjut memasak nasi goreng kesukaan Steve. Hampir setiap pagi lelaki itu meminta nasi goreng dengan cumi atau udang tepung, makanan yang tidak pernah bosan Steve nikmati. Kalau kata Nyonya Baylor, dia melihat nasi goreng Steve saja sudah mual--berulang-ulang setiap pagi, bosan sekali mencium aromanya. Belum sempat mulut Steve mengeluarkan suara, Nyonya Baylor lebih dulu menyela. "Ya Tuhan, Steve Baylor! Rambut kamu tolong dikondisikan sedikit, coba lihat ini tetesan airnya basah ke mana-mana." Melihat ke daerah sekitaran Steve bergerak, daerah meja bar dan lemari pendingin tempat khusus minuman bersoda. "Keringkan dulu baru berkeliaran. Bosan Mama negur kamu, keras kepala sekali. Itu batu atau apa sebenarnya, Steve?" "Batako!" jawabnya menaikkan bahu, mengganjal perut dengan roti gandung yang dia beri selai cokelat dicampur taburan kacang almon yang sudah dihaluskan. Senang sekali bereksperimen berbagai jenis makanan, kadang membuat Nyonya Baylor mau muntah. Steve kalau makan, selalu aneh-aneh menunya. Kadang buah naga dicampur selai kacang, makan anggur dengan cokelat, atau makan mangga dengan mayones. Itu hanya sebagian saja, selebihnya benar-benar semakin tidak masuk akal. Entah dulu Nyonya Baylor mengidam apa, anaknya begitu absurd. Senang membuat dia geleng-geleng kepala, menepuk jidat, dan melotot sambil mengusap dadaa. Nyonya Baylor menjewer telinga Steve, membuat lelaki itu mengaduh kesakitan. Tidak bercanda kalau soal menyiksa putra sematawayangnya, menarik dan memelintir daun telinganya gemas--tidak bisa dibilangi baik-baik. "Bereskan dulu rambut kamu sebelum Mama suruh Pak Ciko membotaki kamu!" Penuh penekanan, melipat kedua tangan di pinggang. Steve menghela napas lelah, Mamanya begitu banyak bicara sampai membuat telinga Steve panas. Tiada hari tanpa mengomel, sama seperti Tuan Baylor. Pantas saja bukan mereka berjodoh, sikapnya sebelas dua belas. Sepi rumah kalau mereka keluar kota bareng, tidak ada yang berkicau. "Sudah kan?" Dia melilitkan handuk ke kepala seperti layaknya perempuan. "Jangan protes dong Mama, yang penting tidak menetes lagi airnya." Menaikkan bahu, kembali mengambil sepotong roti gandum, menambahkan kecap dan gula ke atasnya. Lihat bukan, dia kembali berulah. "Makan itu yang benar Steve, jangan buat Mama mual liatnya!" "Ini enak, lidah dan perutku menerimanya dengan baik. Mama jangan protes, orang selama ini aku tetap sehat dan tumbuh dengan tampan!" Menaikkan bahu, percaya jika apa saja yang dia makan--kendati kata semua orang aneh dan bikin muntah, Steve menyukainya. "Tumben mengakui diri kamu tampan, baru sadar sekarang kamu?" Steve menaikkan bahu. "Tidak juga, biasa saja." Kemudian pandangan Steve terarah pada Bibi Muti. "Bibi, cepat sedikit memasaknya. Perutku sudah lapar, pedih banget rasanya gegara habis mabuk kemarin." Mengusap perutnya yang mulas, meringis lelah setiap ketemu pagi. Mabuk adalah hal menyenangkan, sebab itu selalu Steve ulangi lagi dan lagi. Kesenangan yang membuatnya terbang ke langit, kemudian saat ayam berkokok ... kembali dipaksa menerima realita. "Aku ada jam kuliah pagi nih jam sembilan, jangan sampai telat." Bibi Muti mengangguk paham, mengacungkan jempolnya. "Jam delapan baru boleh makan, biar bareng sama Mama dan Papa." "Tidak bisa Mama, cacing di perutku sudah kasidahan di dalam sana, ya kali nunggu jam delapan dulu. Bisa makin menggerogoti akal sehatku nanti, memangnya Mama mau aku makin bodoh dan tidak tertolong kelakuannya?" Nyonya Baylor mengangkat tangannya seolah ingin memukul, Steve berjengkit kaget dan sudah bersiap lari. "Mama, kaget aku!" Dengkusnya saat pukulan itu hanyalah ancaman semata untuk menakutinya. Steve terpancing, dia takut jika pukulan itu beneran mendarat. Meski untuk memberi rasa jera, tapi beneran sakit juga. Steve sudah sering dipukul oleh Nyonya Baylor di bokongg, pedas sekali rasanya. Steve sampai mengaduh, belum lagi ketika cubitan maut Mamanya keluar. Beuh, Steve secepatnya melarikan diri sejauh mungkin. "Ngomongnya dipakein rem sedikit, tidak baik terlalu los kayak kamu. Ingat ya Steve, tidak ada lagi pulang dalam keadaan mabuk setelah kejadian tadi malam. Sudah cukup, hidup kamu benar-benar tidak beraturan akibat alkohol. Lihat teman-teman kamu, mereka sudah sibuk bekerja dan mengurus rumah tangga--sementara kamu masih menjadi mahasiswa abadi di kampus. Hidupnya tidak jelas, senang hura-hura, tidak memiliki batasan waktu dalam bergaul. Apa nggak malu, huh? Mama pusing, pengen banget ngeservice isi kepala kamu biar lebih benar sedikit." Nyonya Baylor mengomel kejam, benar-benar sakit kepala melihat kelakuan Steve. Sangat susah dibilangi, semuanya masuk telinga kiri, keluar telinga kanan. Tidak ada yang dipakai, didengarkan tapi dianggap semacam nyanyian berisik yang begitu mengganggu dan tidak penting. Steve mengusap lengan Nyonya Baylor, mengangguk paham. "Sabar, Mama. Jangan terlalu banyak mengomel, sudah tua nanti makin kelihatan tua. Banyakin ingat Tuhan, kirimkan aku doa yang baik-baik, nanti juga dapat hidayah dengan sendirinya." Menaikkan alis, kemudian tersenyum seolah apa yang dia bicarakan sudah benar adanya. "Tidak mau terlalu berpikiran, mending Mama fokus memasak dan beberes saja seperti Bibi Muti. Lihat hidupnya, damai dan tenang sekali. Sepertinya Bibi Muti yang paling bahagia di antara kita, kayaknya tidak memiliki beban pikiran gitu." "Tentu saja, anak-anak Bibi Muti di kampung pinter semua kalau dibilangi orangtua, tidak seperti kamu. Kepalanya kayak batu, keras sekali." "Batu apa? Kalau batu es masih bisa dicairkan Mama. Sabar, semua perlu proses. Jalani dan nikmati tanpa banyak keluhan. Kalau kata Jeremy, semua akan indah pada waktunya. Jika tidak sekarang, berarti besok. Kalau tidak besok, berarti lusa. Kalau tidak lusa juga, berarti memang apes hidupnya. Simpel kok!" Nyonya Baylor terpaksa mencubit perut Steve sampai lelaki itu mengaduh kesakitan. "Aduh, aduh, Mama. Sakitnya, bisa biru nanti perutku dicubit gitu. Kenapa nggak sekalian pakai tang saja biar copot dagingnya?" "Maunya begitu, hanya saja Mama masih memiliki sedikit rasa iba sama kamu. Jangan suka melawak kalau dibilangi. Ini rumah, bukan acara stand up komedi." Tuan Baylor datang, menghela napas sambil geleng-geleng kepala melihat pagi-pagi begini sudah mengalami keributan di dapur. Bibi Muti menjadi pendengar yang baik, dia sudah terlalu kebal dengan lawakan Steve, tidak gampang tertawa lagi. "Apa yang tengah kalian ributkan? Kedengaran sampai ke ruang kerja." Steve menunjuk Nyonya Baylor dengan jari kelingkingnya. Kalau menggunakan jari telunjuk sedikit tidak sopan bukan? Ya sudah, Steve mencari akal lain yang kelihatannya lebih masuk akal tapi tetap sopan. "Tuh istri Tuan Baylor sedang berulah," balasnya tidak merasa berdosa menunjuk ibunya dengan sebutan istri Tuan Baylor. Tidak salah sih, hanya saja kedengarannya memang begitu konyol. Steve tidak bisa dilawan soal berdebat, ada saja jawabannya yang membuat lawan bicaranya bungkam sekaligus gemas ingin menenggelamkan dirinya. "Omongan kamu Steve, dijaga sedikit." "Aku ngomong fakta pun tetap disalahkan, heran!" gumamnya sewot, lalu mendapat cubitan kecil pada lengannya. Nyonya Baylor gemas, putranya itu meminta ditelan dan dimasukkan ke dalam perut lagi. "Ada apa?" Tuan Baylor menyuruh istrinya duduk agar lebih tenang. Dia tahu wanita itu tengah cemas, hanya saja Steve tidak pernah dalam keseriusan saat berbicara. Dia selalu menganggap semua hal enteng, seperti tidak memiliki beban dalam hidupnya. "Tolong bilangi agar dia tidak mabuk-mabukan lagi, aku takut akal sehatnya direnggut alkohol. Makin ngaco lama-lama anak ini, Mas." Menunjuk Steve, membuat lelaki itu mencibir. Lihat jika Nyonya Baylor mengadu, dia seperti anak remaja yang curhat pada ayahnya. Kalau kata Steve biasanya, "Tidak ingat umur. Sudah tua masih saja bersikap manja!" Tuan Baylor memejamkan mata, memijat pangkal hidung sebentar. "Steve ...!" Steve mengangkat tangannya. "Jangan mengomel dulu, Pa, perutku begitu lapar. Kenapa Papa menunda sarapan hingga jam delapan? Tumben banget, pengen aku makan piring ini biar cepat kenyang." "Sengaja. Enak tidak kelaparan? Masih mending kamu masih bisa menghabiskan beberapa helai roti gandum. Jika tidak ada makanan sama sekali bagaimana? Begitulah ketika kamu terus main-main dan malas bekerja. Pendidikan terabaikan, hidup tidak jelas, cita-cita kamu mau jadi apa sebenarnya, Steve?" Steve memutar bola mata malas, menatap Tuan Baylor dengan menopang dagu. "Sejak kapan kita akan bangkrut Papa? Harta keluarga Baylor bahkan akan terus mengalir hingga tujuh turunan, delapan tanjakan, dan sembilan belokan. Jangan bercanda, itu semua belum lagi terhitung beserta harta warisan lainnya. Keluarga kita emang sudah ditakdirkan memiliki garis kehidupan yang enak, maka nikmatilah sebelum Tuhan memanggil kita untuk kembali." Dia tertawa pelan, kembali berucap sebelum Tuan Baylor menjawabnya, "Cita-cita aku sepertinya hanya ingin menikmati harta Baylor. Bersenang-senang itu candu. Sangat sulit dihindari, Pa." Tuan Baylor frustasi, dia lebih baik tidak berbicara pada anak itu. Lihat saat berdebat begini, ada saja jawabannya yang membuat lawan bicaranya bungkam. "Terserah kamu, dibilangi kok ngeyel terus!" "Makanya tidak usah dibilangi, bikin capek Papa dan Mama. Aku akan berhenti ketika ingin, suatu saat juga pasti tahu sampai mana batas lelahnya. Tidak mungkin aku selamanya begini kan? Tapi selagi ada kesempatan, ya sudah gass saja." Tertawa lepas, lalu beranjak dari kursi bar menuju halaman belakang, mengeringkan handuknya di sana. "Aku ke kamar dulu, mau sisir rambut dan liat daya ponsel apa sudah penuh atau belum. Setelah aku turun nanti, nasi goreng aku sudah siap--nggak mau tahu!" Steve melambaikan tangannya pada Tuan dan Nyonya Baylor, tersenyum lebar tanpa merasa bersalah. Sepanjang langkahannya menuju lantai atas, Steve menghela napas. Lelah dengan pertanyaan semacam ini, tapi dia selalu berusaha membuat santai setiap keadaan. Tidak masalah dia bersenang-senang dulu baru fokus bekerja, daripada saat bekerja malah sambil bersenang-senang hingga lupa diri. Semakin parah dan akan membuat kekacauan lebih besar, bukan? Semua ada dalam pilihan masing-masing, biarkan Steve saja yang tahu bagaimana masa depannya nanti. Padahal meski tidak bekerja, harta keluarga Baylor takkan habis. Sebuah candaan yang selalu dia banggakan. Tapi tenang saja, Steve sadar batasan dirinya. **** Steve menatap Pak Ciko dengan tatapan tak bersahabat sama sekali, kedua tangannya di pinggang. "Siapa yang suruh Pak Ciko ngebuntutin aku? Tidak boleh, sana jadi tangan kanan Papa saja. Malu-maluin banget pakai acara dikawal, siapa memangnya yang mau ngebantai aku? Pak Ciko pikir aku tidak bisa bela diri kah?" Tangan kanan Tuan Baylor itu nampak kehabisan suara. Ini bukan salahnya, dia hanya ditugaskan menjadi supir sekaligus mengawasi apa yang Steve lakukan ketika keluar rumah. "Tapi, Mas Steve ... Tuan yang menyuruh saya." "Kalau Papa suruh Pak Ciko terjun ke palung mariana mau tidak?" Pria itu terdiam lagi, Steve mendengkus. "Mau-maunya ngikutin aturan Papa, sesat nanti kalau keseringan ngeiyain kemauan orang. Ish, ish, sangat tidak baik untuk di contoh!" Steve geleng-geleng kepala, menggerakkan tangannya menyuruh Pak Ciko menjauh dari mobilnya. "Tuan Baylor menyuruh saya menjadi teman Mas Steve." "Siapa yang mau berteman dengan Pak Ciko? Tidak bisa, Bapak 'kan sudah tua, tidak tahu dan tidak akan mengerti bagaimana aturan main anak muda. Jangan bercanda, ayo kembali ke jalannya Pak Ciko saja, sesuaikan dengan umur ya." Menepuk-nepuk puncak Pak Ciko, tersenyum miring setengah gemas ingin mencangkul kesadaran pria itu agar tidak membuat Steve emosi. "Tapi, Mas Steve ... kalau saya tidak menuruti, nanti saya dimarahi." "Marahi balik, gampang kan?" Pak Ciko membelalak. Tidak mungkin berani dia memarahi Tuannya, Steve bercanda sekali! "Sudah, tidak usah banyak omong. Jangan sok-sokan mau jadi teman aku, kita beda kelas usia, Pak." Kemudian masuk ke dalam mobilnya, membuka kaca untuk melambaikan tangan pada Pak Ciko. "Jangan menguntit, kusepak nanti Bapak baru tahu rasa!" Memutar bola matanya jengah, segera melajukan mobilnya membelah halaman depan yang begitu luas, gerbang otomatis itu terbuka lebar untuknya meninggalkan kediaman Baylor yang banyak sekali peraturan. Steve pusing, belum lagi perutnya tengah lapar. Harusnya jam segini dia sudah makan siang, hanya saja tadi tugas kampus benar-benar banyak. Steve beralasan sakit perut pada dosennya agar tidak ikut kelas, ternyata malah diberi tugas dua kali lipat dan melaporkan pada ayahnya. Steve dapat hukuman, dia tidak boleh main sebelum mengumpulkan tugas. Alhasil mau tidak mau, dia menuruti perintah Tuan Baylor. Dia anak yang penurut sekali bukan? Saat tengah asik mengemudikan mobilnya sambil mendengarkan musik dari salah satu dj terkenal di Thailand, tiba-tiba ada seorang gadis yang ingin menyeberang jalan. Dia berlarian cepat, tidak melihat kiri dan kanan untuk memastikan keadaan lebih dulu. Untung saja Steve sempat menginjak remnya, kalau tidak sudah terbanting gadis itu ke tengah jalan dengan keadaan yang sangat mengenaskan penuh luka. "Woi, matanya dipakai dong!" teriak Steve murka. Tatapan matanya tajam, mendengkus sebal. "Gue tandain ya muka lo, seenaknya aja pakai jalan kayak punya nenek moyang lo!" "Ah, maaf. Tadi aku mengejar Kak Shofia, aku tidak sengaja." Menangkup kedua tangannya di dadaa, menundukkan kepala dengan dadaa bertaluan cepat. Nyawanya hampir saja melayang, kemudian diteriaki sang empu mobil dengan kalimat kasarnya. "Maaf ya, Kak, aku tidak akan mengulanginya lagi." "Kakak, kakak ... lo pikir kita saudaraan? Jangan sok kenal, bikin emosi aja." Steve paling tidak senang dengan orang yang seenak jidat jika memakai jalan, bisa membahayakan pengguna lainnya. Ternyata ada yang lebih bodoh darinya, Steve dongkol sekali. "Elena, kamu kenapa?" Shofia menghampiri Elena, melihat ke arah Steve dengan kacamata hitamnya. Wajah lelaki itu nampak memberengut, terlihat amat kesal. "Bilangin sama teman lo, jangan udik kalau di jalanan. Tidak perlu nyeberang sambil lari-lari, dia pikir pengguna jalan lain tidak terkejut apa tiba-tiba dia muncul seperti hantu!" Shofia mengusap lengan Elena, menenangkan gadis itu. "Oke. Maaf ya, Mas, dia kebetulan emang baru di kota ini. Jadi sedikit kaget melihat banyak mobil dan pengendara motor. Nanti lain kali akan saya bilangi." Steve tidak membalas apa pun, kembali menaikkan kacanya dan mobil itu melaju cepat. "Elena, kamu nggak pa-pa?" Shofia khawatir, ini pasti gara-gara dia yang langsung meninggalkan Elena tadi. Shofia menolong kucing yang hampir tertabrak, jadilah terpaksa menyeberang lebih dulu. Elena mengulas senyum, menggeleng pelan. "Tidak apa, Kak Shofia. Aku yang salah kok." "Dia marahin kamu kah?" Elena menggeleng, langsung mengajak Shofia kembali melangkah menuju rumah makan. Mereka mendapat pesanan dari luar--tepatnya beberapa porsi makanan untuk diantar ke kantor yang kebetulan letaknya tidak jauh dari rumah makan, jadi bisa jalan kaki saja. "Jangan kaget sama orang Jakarta ya, kadang ada saja yang omongannya sedikit kasar. Biasalah kayak gitu, sebab nggak semua orang punya nada bicara yang lemah lembut kayak kamu." Elena terkekeh, mengangguk paham. "Iya, Kak. Lain kali aku lebih hati-hati, syukurlah tadi tidak tertabrak. Tuhan masih menolong aku, hampir saja aku celaka." "Ya sudah tidak masalah, bisa dijadikan pelajaran untuk lebih berhati-hati ke depannya. Ayo, nanti dikira Bu Riska kita jalan-jalan kelamaan antar pesanannya." **** Lanjutt???
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN