Vanesa memeluk Steve begitu erat, menyandarkan kepalanya pada punggung kokoh yang terasa begitu nyaman. Sesekali tangan kanan Vanesa naik ke dadaa Steve, mengusapnya lembut. Motor harley itu melaju dengan cepat, membelah jalanan menuju pantai. Vanesa sengaja menyuruh Steve menaikkan laju motornya, sampai angin menerpa kencang setiap helaian rambut dan membuat sejuk permukaan kulit. Vanesa dan Steve kompak menggunakan jaket kulit senada--warna hitam. Mereka tidak membawa banyak barang, sebab kali ini akan menginap di penginapan saja. Andai mereka pergi menggunakan mobil, Steve pasti memilih membuat acara kemah sederhana di dekat pantai. Dia juga akan membawa tempat panggangan, sangat nikmat menghabiskan waktu malam ditemani ombak laut dengan baberquean.
"Steve, ini sebenarnya kita mau ke pantai yang mana? Kok jauh banget. Aku ngantuk, takut terbang dibawa angin kalau ketiduran." Wanita itu memajukan bibirnya, perasaan mereka tidak sampai-sampai. Jalan yang mereka lalui pun begitu sepi, tidak ada perumahan warga di sana. "Kamu nggak berniat nyulik aku kan, Steve?" tanyanya lagi sampai mendapat jawaban yang diinginkan. Kadang Vanesa kesal sendiri dengan Steve, lelaki itu selalu membuat Vanesa merajuk sebelum memberikan kejutan yang indah. Entah apa yang Steve pikirkan, dia memiliki hobi membuat Vanesa naik darah.
Steve tertawa kecil, memegangi tangan Vanesa yang berada di perutnya. "Bosan ke pantai yang biasanya. Kita cari tempat berbeda. Sebentar lagi sampai, di depan sana sudah ramai rumah warga. Jangan khawatir, nggak mungkin aku culik kamu, kecuali kamu yang mau. Kalau aku sih nggak bakal menolak, lumayanlah dapat cewek kayak kamu meski ngeselin dan nggak bisa masak."
Vanesa memukul dadaa Steve, membuat lelaki itu terbahak. "Omongannya, bikin aku hipertensi terus. Diam saja lebih baik, biar nggak ngeselin. Cepat lajukan motor kamu, aku sudah tidak sabar pengin melihat pantainya. Awas aja kalau nggak cantik, biasanya kamu cuman jago cari tempat sepi. Mesumm sih, sampai hapal aku!" Memutar bola matanya malas. Kendati begitu, jika Steve merayunya ... Vanesa menyerah juga pada pesona Steve. Lelaki itu memang yang paling panas, pelarian terbaik saat Vanesa stress. Steve paling bisa membuat Vanesa melayang ke udara, sejauh ini Steve yang terbaik daripada gebetannya. Hanya saja aneh, Vanesa tidak pernah bisa mencintai Steve. Tapi kalau dicintai Steve, dia tahu dan hal itu membuat Vanesa bahagia. Dia tidak ingin Steve bersama orang lain, nanti tidak ada lagi yang melindunginya.
Motor harley itu akhirnya sampai ke tempat tujuan mereka. Lumayan banyak rumah masyarat, di sekitar sana ternyata sangat bersih. Sekeliling rumah adalah pantai putih, nampak indah. "Ayo cari kamar buat istirahat dulu." Stave menggenggam tangan Vanesa, melangkah bersama memesan kamar penginapan. Steve hanya meminta satu kamar, membuat Vanesa tertawa. Dia hapal dengan sifat Steve. Ke mana pun mereka pergi, tidak pernah tidur terpisah. Jika orang tidak tahu, pasti mengira Steve dan Vanesa sudah menikah. "Seperti biasa, satu kamar untuk kita berdua." Vanesa memberinya pukulan di lengan, tapi tetap mengikuti langkahan Steve menuju kamar mereka.
Penginapannya bersih dan rapi, pelayanannya juga sangat ramah. Kamar yang mereka tempati tidak mewah, hanya saja ini sudah lebih dari cukup. Ada tempat tidur yang besar menghadap televisi, sofa untuk bersantai, kolam renang mini pribadi, dan dua kursi untuk berbaring beserta payungnya. Bagian kamar mandi juga tersedia dengan fasilitas yang memadai. Tidak besar ruangan itu, tapi sangat nyaman untuk ditinggali.
"Kebiasaan ya, Steve, kalau pesan kamar nggak pernah dua." Vanesa merebahkan diri di atas kasur, memejamkan matanya sebentar.
Steve menuju luar yang langsung berhadapan dengan pantai, ada dua buah kursi kayu di sana dengan meja bulat kecil di tengahnya. Steve menyesap rokok, menenangkan pikirannya dengan yang satu itu. "Katanya mau berenang, kok malah rebahan?"
"Pinggang aku nyeri, kayaknya mau kedatangan tamu bulanan dalam minggu ini." Vanesa menyusul Steve ke halaman samping, tersenyum menikmati pantai dan hembusan anginnya. "Sejuknya, beneran indah banget. Penginapan ini pemilihan tempatnya sangat pas, langsung menghadap pantai senagai pemandangan alamnya."
"Sudah aku bilang, kamu tidak akan menyesal ke tempat ini."
Vanesa menoleh pada Steve, berdecak kesal ketika mengetahuinya merokok. "Kenapa selalu merokok? Kamu nggak sayang sama kesehatan tubuh kamu, Steve? Matikan, aku nggak suka bau asapnya!" Mengibaskan tangan di depan wajah, dia memberengut sebal. Steve sudah dibilangi, ingin rasanya Vanesa jambak. "Aku mau berenang di sini dulu, soalnya langit sudah mau gelap. Kamu terlambat sih jemput aku."
"Masih ada hari besok, dari pagi sampai siang. Terserah kamu mau ngapain, aku bebaskan." Vanesa memeletkan lidah kemudan melepaskan pakaiannya hingga menyisakan bikini hitam. Kaki jenjangnya melangkah masuk ke dalam kolam renang mini yang tersedia. Paling panjangnya cuman enam meter, lalu memilik lebar tiga meter. Airnya segar dan sangat bersih. Tadi Steve juga sempat memesan satu set makanan, sebab dia tahu Vanesa pasti akan langsung berenang.
Pintu kamar mereka diketuk, kemudian Steve membukakan pintunya. Ada dua orang pelayan wanita datang, dia membawakan satu set makanan yang Steve pesan, kemudian membawakan satu set peralatan mandi yang baru juga. Setelah menyiapkan semuanya, pelayan itu kembali ke tempat mereka. "Ini makanan kamu sudah datang." Steve tahu jika Vanesa berenang, dia tidak pernah ketinggalan yang namanya makanan. Biasanya Vanesa cepat lapar sehabis berenang, jadi selesai nanti langsung mengisi perut.
Vanesa mendekati Steve, meminta mengapungkan tempat makan tersebut. Matanya berbinar saat melihat ada jus stroberi kesukaan, Steve paling hapal yang dia sukai. "Ayo, Steve ... berenang juga. Nggak seru kalau cuman aku sendirian." Steve mematikan rokoknya yang tinggal sedikit, melepaskan pakaiannya hingga menyisakan bokser saja. Pria itu bergabung bersama, lalu mendekati Vanesa yang masih menikmati kentang goreng dan sosis bakarnya. Semua makanan itu kesenangan Vanesa, Steve menyiapkan dengan sangat baik. "Steve pelan-pelan, nanti tumpah makanannya ih!" decak wanita itu kembali tersulut. Tadi Steve langsung melompat memasuki air, membuat Vanesa menganga.
Steve terkikik geli. Masih melingkarkan lengan kiri pada pinggang Vanesa, sementara tangan kanannya mencomot kentang goreng. Pria itu memilih jus jeruk, lebih enak menurutnya daripada stroberi. "Malam ini kita makan di pinggir pantai, aku sudah menyuruh pihak penginapan menyiapkan semuanya."
"Benarkah? Senangnya!" decak Vanesa tersenyum lebar, dia memeluk leher Steve. "Terima kasih." Steve mengecup pelipis Vanesa, mengangguk mengiyakan.
"Jangan terlalu menempel, nanti kumakan baru tahu rasa kamu!" Vanesa terbahak, menjulurkan lidahnya kemudian kembali menyelam dan berenang ke ujung sebelah sana. Steve menaikkan tempat makan yang lumayan besar itu ke atas, menyusul Vanesa yang terlihat jahil sekali.
"Tidak, lepasin aku!" Vanesa tertawa sambil berontak saat Steve memeluknya. "Steve geli." Memukul dadaa Steve, meminta dilepaskan. Steve jahil, dia juga menciumi pipi dan bahu Vanesa.
Saat Steve melepaskan, Vanesa memukul air hingga membasahi permukaan wajah Steve. "Jahil, kupukul ya kalau sekali lagi peluk-peluk."
"Bukannya biasanya juga senang dipeluk?" Menaikkan alis, menatap datar pada Vanesa. Wanita itu mengabaikan, mengelak. "Awas saja nanti malam meminta dipeluk."
Vanesa tertawa geli, memeletkan lidahnya lagi. Bukan hanya Steve, dia juga jahil sekali anaknya. Kelakuan mereka sebelas duabelas saja, jadi tidak ada bedanya. "Aku mau berendam air hangat aja, udah mulai dingin udara menuju malam. Nanti masuk angin, bisa pilek." Dia meninggalkan kolam renang, melangkah menuju kamar mandi. "Steve, kalau masuk jangan lupa membawa makanannya."
****
Saat terjadi keributan di luar, Elena langsung meninggalkan dapur untuk melihat apa yang terjadi di luar. "Kak Shofia, ada apa?" tanyanya saat berpapasan dengan Shofia. "Kenapa ribut-ribut, ada yang berantem kah?" Dia seketika cemas sendiri, Shofia dengan cepat kembali membawa Elena ke tempatnya. Tidak memperbolehkan ikut campur, tidak perlu menjadikan keramaian di luar sebagai tontonan.
"Sudah, tidak perlu dilihat. Semua akan baik-baik saja, tadi Kak Farah sakit terus pingsan setelah nganter makanan. Mas Arya segera membereskannya, tidak ada yang terlalu serius. Kak Farah akan dibawa ke puskesmas terdekat. Tadi padahal sudah aku bilangi, kalau sakit izin aja. Tapi dia ngotot pengin kerja, alhasil tumbang juga. Kesian aku, kayaknya Kak Farah kelelahan banget."
Tatapan Elena menyendu. "Tadi aku liat wajah Kak Farah juga pucat. Pas kutanya keadaannya, Kak Farah bilang tidak kenapa-kenapa. Apa ada yang menemaninya ke puskesmas, Kak? Kesian kalau sendirian."
Shofia mengangguk. "Kak Opi yang menemani, mereka teman satu kost. Sudah seperti saudara kandung, jadi mereka pasti saling menolong." Mengusap lengan Elena, tersenyum.
"Syukurlah, Kak. Aku kaget, aku pikir ada yang berantem atau tidak sengaja menumpahkan makanan."
"Tidak ada makanan yang tumpah. Kamu lanjut kerja lagi ya, aku juga mau mengantar pesanan lagi. Nanti kalau ngobrol terlalu lama, bisa ditegur sama kepala dapur." Elena terkekeh, kemudian mengacungkan jempolnya mengerti. Elena bantu mencuci piring, paling senang rasanya ketika melakukan satu pekerjaan yang ini. Ketika orang lain lebih suka mengantar makanan, Elena malah memilih mencuci piring. Apalagi ketika airnya dingin, semangat sekali gadis yang satu itu.
Tidak terasa sudah satu minggu dia bekerja di rumah makan ini, banyak pengalaman yang Elena dapatkan. Dia sudah bisa melakukan beberapa hal seperti menyajikan menu, mengambil dan mengantarkan makanan, belajar membersihkan sisa makanan di atas meja, dan mencuci piring. Sebenarnya pekerjaan setiap orang tidak sebanyak itu, hanya saja Elena ingin mencoba semuanya agar serba bisa diandalkan. Teman-teman sesama pekerja senang melihat semangat Elena, gadis itu sama sekali tidak pemalas. Dia ringan tangan sekali, melakukan apa saja tanpa disuruh terlebih dahulu. Dia mengerti yang seharusnya dilakukan, kemudian memberikan yang terbaik.
Bu Riska sering mengecek ke bagian dapur, senang melihat para pekerjanya. Sesekali dia bertanya tentang Elena, apakah pekerjaannya sudah bagus atau masih perlu banyak bimbingan. Ternyata jawaban kepala dapur begitu mengejutkan, Elena cepat tanggap. Kepala dapur hanya menjelaskan sekali, setelahnya sudah mengerti dan dapat melakukannya dengan baik. Bukan hanya itu, Elena juga sering mencuri ilmu dengan cara memerhatikan yang teman kerjanya lakukan kepada pelanggann ... lalu mempraktikkannya dengan sama persis. Seperti sudah terlatih sebelumnya, Elena belajar dengan cepat.
****
Saat matahari menerobos masuk melalui celah gorden, Steve langsung terbangun dari tidur nyenyaknya. Vanesa berada dalam pelukan Steve, terlelap nyenyak dalam satu selimut yang sama. Mereka menghabiskan malam dengan kegiatan panas, lagi-lagi selalu begitu setiap kali liburan. Steve begitu menginginkan Vanesa, senang ketika wanita itu juga menerima Steve dengan baik. Sebenarnya tidak sering mereka mendapatkan momen indah seperti ini, bahkan dalam sebulan biasanya ada yang tidak sama sekali. Mereka menyatu saat sama-sama butuh pelampiasan akibat stress.
Ketika tadi malam Vanesa begitu romantis, manja, dan liar memuaskan Steve ... pagi ini ketika bangun pasti wanita itu sudah kembali berubah biasa saja. Tidak pernah mereka bermesraan sampai ketemu pagi, kini giliran kembali kepada kenyataan--tidak lebih dari seorang sahabat dekat. Miris sekali bukan?
"Apa sudah pagi, Steve?" Suara serak Vanesa terdengar. Helaan napasnya beraturan, masih berusaha mengumpulkan nyawa. "Badanku pegal-pegal, kamu ganas banget tadi malam. Enjok pinggang aku." Berdecak, memukul pelan dadaa Steve. Pria itu hanya tertawa, kemudian menggecup bahu bagian belakang Vanesa.
"Jangan cium-cium, nanti adik kamu bangun lagi, aku tidak mau tanggung jawab!" Vanesa mengubah posisinya menjadi duduk, menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan yang terasa berat. Dia menggulung rambut panjangnya asal, kemudian mengambil gaun tidur dan melangkah pelan membuka gorden. Vanesa membuka pintu geser berbahan kaca tersebut, menghirup udara segar di pagi hari. Ombak pantai bersahutan dengan kicauan burung, begitu indah terdengar oleh telinga. "Bangun Steve, aku bikinkan teh ya?" Steve mengangguk, masih santai berbaring tanpa sehelai benang pun di dalam selimutnya.
Usai menyeduh teh, Vanesa membuat roti selai cokelat dan selai stroberi untuk dirinya. Untung saja di penginapan itu ada dapur kecilnya, tersedia makanan ringan seperti roti dan beberapa pilihan selai. "Bangun dan cepat berpakaian Steve. Senang banget menunda waktu bangun, pantas Mama kamu sering marah." Steve paling malas bergerak saat bangun tidur. Dia membutuhkan waktu yang cukup lama untuk sekadar mengumpulkan niat.
Vanesa menaruh sarapan ringan mereka di atas meja bulat, di sana ada sofa berukuran sedang, cukup diduduki oleh dua orang dewasa. "Aku gosok gigi dan cuci muka dulu. Aku cepetan bangun, aku pukul nanti kalau lambat-lambat!"
Steve tertawa, senang melihat wanita itu merajuk manja. Dia segera mengambil celananya, melangkah menyusul Vanesa ke kamar mandi. Steve juga menggosok gigi dan mencuci wajahnya, sesekali melirik ke arah Vanesa melalui cermin besar di hadapannya.
"Genit banget!" Vanesa meninju lengan Steve, berlalu duluan menuju sarapan mereka. Dia menyeruput tehnya, memakan dengan lahap roti bakar selai stroberi yang selalu memiliki rasa nikmat. "Steve, cepetan!"
"Iya, sabar. Aku daritadi dimarahi mulu. Kamu mau jadi Mama ya? Kok hobi banget berkicau pagi-pagi, bikin kuping panas dengernya." Steve mendengkus, memakan roti bakar selai cokelat miliknya. Menatap Vanesa yang sedang memainkan ponsel.
"Habisnya kamu ngeselin, Steve, ada-ada saja yang kamu lakukan--buat aku marah."
"Padahal aku sejak tadi diam, tidak menguji kesabaran kamu."
Vanesa memberinya tatapan malas. "Makan dan diamlah. Habis ini kita sarapan di luar, aku masih lapar." Kalau untuk itu Steve setuju, makan roti tidak bikin kenyang.
"Kamu jadi mau berenang dan berjemur pagi ini?" Vanesa mengangguk, tentu saja. Rugi kalau ke pantai tidak melakukan dua hal itu. "Jam satu siang kita pulang, aku ada janji dengan Jeremy."
Membicarakan Jeremy, Vanesa terlihat malas. "Aku kesal sama Jeremy, dia playboy banget, kesian Naomi." Yap, Vanesa dan Naomi berteman. Tentu saja Vanesa jengah melihat sahabatnya selalu disakiti oleh kelakuan Jeremy yang tidak pernah cukup dengan satu wanita. Tapi aneh, Jeremy selalu memperlakukan Naomi dengan sangat baik. Semua wanita yang pernah singgah hanya untuk kesenangan dan berbagi kenikmatan, sementara Naomi selalu diperlakukan berbeda. Jeremy benar-benar mencintai kekasihnya, hanya saja kelakuan Jeremy tidak pernah beres. Jeremy takut kehilangan Naomi, tapi belum bisa meninggalkan kebiasaannya main wanita. Aneh bukan? Lelaki emang seegois itu.
Steve hanya tertawa. "Jeremy emang gitu orangnya. Sebelum sana Naomi juga sudah nakal dan sebebas itu. Tapi sebenarnya dia baik, lihat cara dia memperlakukan Naomi. Jeremy sayang beneran sama dia, cuman ya itu ... dia belum bisa membuang kesenangan bersama wanita di luaran sana."
"Itulah, egois! Aku kalau ketemu Jeremy pengen banget pukul wajahnya. Enak aja dia nyakiti Naomi, kesian teman aku nangis terus pas tau Jeremy main wanita. Lama-lama nanti Naomi bosan juga, aku nggak menjamin hubungan mereka lanjut kalau Jeremy tidak berubah."
"Naomi juga sayang sama Jeremy."
"Sayang itu akan hilang kalau terus mendapat rasa sakit. Kamu pikir wanita akan selamanya mengandalkan cinta hingga menjadi bodoh? Tidak mungkin, sekarang pun bisa saja jika Naomi ingin beranjak."
"Nanti dia berubah, tidak selamanya Jeremy begitu kan?"
"Kapan?" Vanesa menatap Steve. "Nunggu kecewanya Naomi sebesar gunung dulu? Dia kalau sudah kehilangan baru sadar. Naomi baik dan sabar banget, nyesel Jeremy kalau sampai kehilangan dia."
Steve juga tahu itu. Naomi memang sangat baik anaknya, masalah hubungan mereka cuman pada diri Jeremy. "Nanti aku bantu bilangin." Vanesa mengangguk, setelah itu mengganti gaun tidurnya dengan dress setengah paha. Dia menggulung rambutnya agar lebih rapi.
"Ayo, Steve, bersiap. Aku mau jalan-jalan ke luar."
****