Di bawah rinai hujan yang begitu deras membasahi bumi, seorang gadis sedang berjalan letih dalam keadaan basah kuyup tanpa berniat berteduh. Oh mungkin lebih tepatnya tidak ada tempat untuknya meneduhkan diri di pinggiran jalan sepi ini. Hanya ada pepohonan besar, tanpa ada pondok kecil atau rumah warga. Jalan pun hanya setapak, saat ini sedang becek pula. Dia hati-hati sekali melangkah, takut jatuh terpeleset.
Seperti malam kemarin, hujan selalu turun. Mau tidak mau, Elena terpaksa menerjangnya untuk sampai lebih cepat. Sebenarnya Elena ingin berangkat siang, namun kata tetangga jarang ada mobil yang lewat menuju perkotaan. Biasanya lebih banyak di waktu malam, sebab ada pick up pengangkut sayur dan ikan.
Jalan raya lumayan sudah dekat, sebentar lagi dia akan mencari tumpangan yang akan membawa dirinya ke perkotaan. Hidup seorang diri di sebuah desa terpencil bukanlah pilihan yang tepat, dia akan sulit bertahan hidup dengan kondisi ekonomi yang benar-benar tidak memungkinkan. Tidak ada pekerjaan yang layak di daerah tempat tinggalnya, apalagi Bunda yang sejak dulu merawatnya kini sudah tiada.
Sejak kecil hidupnya serba kekurangan, namun bersyukur masih bisa bersekolah hingga lulus SMA. Bunda Kartini yang rela banting tulang membiayai semua kebutuhannya selama ini. Saat Bunda telah tiada, dia sangat bersedih hati. Hidupnya seperti berhenti begitu saja dalam sekejap, dia tak memiliki siapa pun lagi.
Elena Fatah, gadis berusia delapan belas tahun yang baru saja lulus sekolah menengah atas dua bulan yang lalu. Seperti cerita Bunda Kartini, Elena sebenarnya bukanlah anak kandungnya. Bunda Kartini menemukan Elena di depan rumahnya sedang menangis kehausan dalam cuaca dingin. Kira-kira usia Elena waktu itu hanya hitungan hari setelah dilahirkan. Elena ditaruh ibunya dalam sebuah dus, kemudian ditinggalkan begitu saja tanpa ada pemberitahuan dalam bentuk surat atau apa pun. Bunda Kartini tidak tahu Elena anak siapa, yang pasti bukan anak salah seorang dari desa mereka.
Elena memiliki kulit putih bersih, matanya bulat dengan iris cokelat bening. Raut wajah cantiknya terbingkai sempurna dengan hidung mancung, dan bibir tipis berwarna kemerahan. Awalnya para tetangga kaget, tidak mungkin Bunda Kartini melahirkan seorang anak. Dia janda yang terkenal baik hati dengan segala kegigihannya mencari uang agar bertahan hidup, hingga tidak mungkin memiliki waktu untuk berhubungan gelap dengan pria di luar sana. Bunda Kartini juga sangat mencintai mendiang suaminya yang sudah meninggal karena sakit keras satu tahun sebelum bayi Elena ditemukan di teras rumahnya.
Saat Bunda Kartini menceritakan persis kejadian saat dia menemukan Elena, barulah para warga di desa itu percaya dan berharap agar Bunda Kartini ringan hati merawat dan menganggap Elena seperti anak sendiri. Menjadi teman setia Bunda Kartini yang hidup sendirian, Elena juga menjadi obat paling ampuh menghilangkan rasa lelah bekerja dari pagi hingga petang setiap harinya.
Bunda Kartini berhasil membesarkan Elena menjadi anak yang pintar dan baik hati, para tetangga pun menyayangi Elena yang terkenal dengan keramahannya. Selama Elena bersekolah, Bunda Kartini melarang keras gadis itu untuk bekerja membantu keuangan mereka. Kata Bunda Kartini tugas Elena hanya belajar untuk mempertahankan beasiswa hingga lulus sekolah menengah atas, tidak bayar uang wajib bulanan, uang gedung, dan uang buku. Bahkan hampur setiap tahun rutin Elena mendapatkan seragam dan tas dari pihak sekolah.
Kemarin hampir saja Elena putus sekolah saat menjelang ujian nasional, dia cemas jika tetap masuk sekolah tak ada yang merawat Bunda Kartini di rumah. Wanita itu jatuh sakit, mungkin karena faktor usia dan kelelahan. Kondisi Bunda Kartini semakin lemah setiap harinya, untuk berobat pun harus pinjam uang ke tetangga. Elena beberapa kali bolos sekolah, tidak tega meninggalkan Bundanya sendirian. Namun syukurlah Tuhan memiliki rencana lebih baik, Bunda Kartini sempat membaik kembali keadaannya. Elena bisa bersekolah dengan damai seperti biasanya, hingga berhasil lulus dengan nilai ujian yang begitu memuaskan. Bunda Kartini menjadi salah seorang orang tua murid yang menerima penghargaan atas prestasi Elena selama di sekolah. Gadis itu selalu menjadi juara umum, setidaknya meski dari keluarga tidak berkecukupan dalam materi, kebahagiaan mereka penuh sekali.
Detik-detik saat Bunda Kartini menghembuskan napas terakhirnya, beliau berpesan agar Elena pergi ke kota. "Carilah pekerjaan yang lebih baik di sana, Nak. Bertahan dan berbahagialah kamu. Bunda selalu ada di sisi kamu, meski raga tak lagi terlihat oleh mata."
Elena berat sekali meninggalkan makam Bunda dan rumah kecil mereka. Meski tak ada barang berharga di sana, setidaknya di rumah itulah Elena dan Bunda Kartini berbagi suka, duka, dan saling menyayangi. Mereka selalu bahagia meski dengan kesederhanaan bahkan sering kali kekurangan. Elena menghargai setiap waktu yang dia lalui, sangat berharga melebihi apa pun. Dia belajar banyak dari Bunda Kartini, wanita sabar dan penuh kehangatan. Beliau bukan ibu kandung, tapi tidak pernah membuat hati Elena bersedih dan terluka. Begitu hebat, Elena menyayanginya. Sangat!
Hujan mulai reda, kini Elena pun sudah memijakkan kaki di jalan raya. Senyum gadis itu mengembang, senang akhirnya bisa sampai ke sini masih dengan kaki yang kuat dilangkahkan. Sandal Elena gesekkan ke aspal untuk mengurangi gumpalan tanah yang memberatkan untuknya lanjut berjalan, membasuh sebentar di kubangan air. Beberapa baju di dalam tasnya mungkin sudah ikutan basah, nanti ketika sudah mendapatkan tempat tinggal layak di kota segera Elena jemur dan keringkan.
Dari kejauhan, terlihat sorot lampu dari sebuah mobil yang akan melintas melewati jalan itu. Mata Elena berbinar, dia akan meminta tumpangan agar segera sampai ke tempat tujuan.
Elena berdiri di tengah-tengah jalan, melambai-lambaikan tangannya untuk memberhentikan mobil itu.
"Hei, apa kamu ingin mati?" tanya seorang pria yang tengah mengemudikan mobilnya. Jantungnya berasa melompat dari tempatnya--panik kalau menabrak, hingga tidak sadar dengan kalimat yang baru saja keluar. Setelah beberapa saat, barulah pria itu mengucap dan meminta ampun pada Tuhan. Tidak seharusnya kalimat kasar itu dia ucapkan, dia bisa tanya dengan cara baik-baik.
Tidak marah dengan desisan tajam pria itu, Elena malah memberikan senyuman manis. "Permisi, Pak. Apa Bapak akan segera berangkat menuju kota?" tanyanya begitu ramah.
Bapak itu menaikkan sebelah alis, kasihan juga melihat kondisi Elena sekarang. Basah kuyup, telapak tangan mengeriput, dan kedinginan. "Ya, Nak!" jawabnya sambil mengangguk pelan.
Senyum Elena makin merekah. "Apa aku boleh ikut, Pak? Aku juga berniat ke kota untuk mencari pekerjaan."
Berpikir sebentar sambil menatap Elena, Bapak itu kemudian mengiyakannya. Dia lihat Elena anak yang baik, jiwa kebapakannya seketika menguar. Tidak tega melihat gadis itu sendirian di tengah jalanan sepi, bagaimana jika ada orang jahat yang berniat mencelakainya? Bapak itu seketika ingat dengan anak gadisnya di rumah.
Elena mengurungkan niat ingin masuk ke dalam mobil. Bapak itu mengernyit bingung. "Pak, pakaian aku basah. Nggak pa-pa kalau masuk ke dalam?" Dengan tidak enak hati Elena menundukkan kepalanya.
"Tidak pa-pa, Nak. Masuk saja, nanti keburu hujannya semakin lebat." Elena tersenyum singkat, mengangguk lalu duduk di jok samping pengemudi.
Bapak itu memberikan Elena sebuah sarung agar tidak kedinginan. "Pakai saja, Nak. Dingin sangat cuacanya."
Elena menggeleng, menolak dengan sopan. "Enggak usah, Pak. Nanti sarung Bapak basah, aku baik-baik aja." Elena anak yang kuat sejak dulu, meski kehujanan dan kepanasan dia jarang jatuh sakit. Tidak masalah sehebat apa badai menerjangnya, Elena akan tetap bertahan hidup demi kebahagiaan Bunda Kartini di surga sana.
"Pakai saja. Tidak masalah jika sarungnya ikut basah, ambil buat kamu saja ya."
Hati Elena tersentuh. Ternyata dia kembali dipertemukan dengan orang yang begitu baik. Tuhan benar-benar melindungi Elena, dia sangat bersyukur untuk itu. "Terima kasih banyak, Pak. Maaf kalau aku ngerepotin."
"Tidak masalah, Nak. Tidurlah jika kamu lelah, nanti kalau sudah sampai Bapak bangunkan ya?"
Elena mengangguk saja. Bapak itu ternyata tahu jika Elena mengantuk. "Hem, Bapak ke kota ada urusan apa?" Yang Elena tumpangi sekarang bukanlah pick up sayuran atau pembawa ikan segar, melainkan mobil pribadi.
Bapak itu tersenyum, melirik Elena sekilas. "Bapak sebenarnya orang kota. Hanya saja makam ibu Bapak ada di sini. Kebetulan kemarin Bapak ada kerjaan, jadi sekalian mampir dan menginap di rumah keluarga."
Mungkin rumah keluarga Bapak itu ada di desa sebelah, sebab Elena tak pernah melihat Bapak ini sebelumnya ada di desa tempat tinggalnya.
"Kalau kamu sendiri ... sudah ada panggilan kerjakah di kota? Sudah izin sama Ibu dan Bapak?"
Dengan mengulas senyum, Elena menggeleng. "Aku selama ini hanya tinggal bareng Bunda, Pak. Minggu lalu Bunda meninggal, dan kata Bunda aku harus ke kota untuk mencari pekerjaan dan memiliki penghidupan lebih baik." Dengan cerdas, Elena menjawab demikian.
Bapak itu kaget, tidak tega dengan perjuangannya. "Kamu lulusan SMA, Nak?"
Elena mengangguk. "Iya, Pak. Dua bulan lalu, baru saja lulus."
"Nanti menginap saja dulu di rumah saya. Besok biar istri saya yang tanya-tanya ke anak temannya, apakah ada pekerjaan untuk kamu. Biasanya kalau tidak jaga toko, kamu bisa menjadi pelayan di sebuah rumah makan atau kafe. Kamu berminat, Nak?"
Dengan semangat, Elena menganggukkan kepalanya. Tentu saja, inu adalah kesempatan emas yang tidak boleh Elena lewatnya. Dia akan memulai pengalaman dari pekerjaan apa saja, yang penting halal dan tidak membahayakan nyawanya. "Boleh banget, Pak. Terima kasih banyak, maaf aku banyak ngerepotin."
"Tidak masalah, Nak. Semoga Tuhan selalu melindungi kamu ya." Bapak tersenyum lagi. Dia tahu Elena anak yang baik. Gadis itu sebenarnya masih menyimpan banyak kesedihan dalam dirinya, tapi berusaha untuk bangkit demi bertahan hidup. Tidak ada terlihat sedikit pun raut putus asa, dia kuat.
Ternyata menjadi dewasa tidak mengenal usia, semua tergantung bagaimana kita mengatur pola pikir dari berbagai macam hal. Menyikapi semua masalah dengan baik, lalu mempekuat keyakinan agar tetap bertahan. Elena melakukannya dengan sempurna, Bunda Kartini berhasil mendidik dan membesarkannya menjadi gadis yang luar biasa.
***
Pagi-pagi sekali, Elena bangun. Dia meninggalkan kamarnya yang sudah dibereskan menuju dapur. Di sana ada Bu Ani, istri Bapak Edi yang memberikan tumpangan pada Elena tadi malam. Wanita itu sedang bersiap ingin memasak, Elena menyapa dan menawarkan diri untuk membantu.
"Selamat pagi, Ibu. Boleh aku bantu memasaknya?" Elena tersenyum.
Ibu Ani mengangguk. "Pagi, Nak. Wah kok sudah bangun saja? Tidak masalah kalau kamu ingin tidur lebih panjang, anggap saja rumah sendiri ya, Nak." Dengan sangat lemah lembut wanita itu berbicara, terdengar begitu penyayang orangnya. Ibu Ani tahu Elena dan suaminya datang hampir subuh, pasti jam tidur Elena begitu terbatas.
Keluarga Pak Edi bukan dari kalangan orang berada. Penghidupan mereka sederhana di antara orang-orang kota yang terkenal bergelimang harta, tapi dari Elena sendiri ini sudah lebih dari cukup. Pak Edi memiliki dua orang anak, seorang putri yang bernama Farida usianya enam belas tahun. Dan seorang putra yang bernama Gian berusia dua belas tahun.
"Aku sudah terbiasa bangun sepagi ini, Bu, bersama Bunda dulu." Elena memotong-motong sayuran yang sudah dibersihkan. Katanya pagi ini Bu Ani akan membuat sup ayam untuk Pak Edi dan dua orang anaknya yang harus bersekolah.
"Ibu sudah dengar sedikit cerita mengenai kamu dari Bapak. Ibu turut berduka cita ya, Nak. Bunda pasti bangga lihat kamu sekuat ini meski tanpa dirinya."
Elena tersenyum, mengangguk mengiyakan. "Aku sayang Bunda, nggak mau Bunda menangis di surga sana sebab lihat aku dalam keadaan susah. Makanya aku iyakan keinginan terakhir Bunda, meski buta arah di perkotaan ini. Tapi syukurlah aku ketemu Bapak, Tuhan mengirimkan orang baik untuk membantuku sampai ke sini, Bu."
"Tuhan selalu memiliki rencana yang terbaik, Nak. Kamu anak yang baik, tentu saja Tuhan juga menyayangi dan melindungi kamu."
"Terima kasih, Bu. Maaf ya kalau Elena harus tinggal di sini dulu sementara waktu."
"Tidak masalah, Nak. Ibu senang kamu sampai ke rumah ini, aman bersama Ibu. Tidak terbayang jika kamu mendapat tumpangan orang sembarangan." Bu Ani mengusap lengan Elena. "Tidak usah dipikirkan perihal kamu tinggal dan ikut makan di sini, Nak. Semua sudah diatur rezekinya oleh Tuhan. Jika kamu tinggal di sini bersama kami, berarti rezeki kamu ada di keluarga ini."
Elena mengangguk. "Terima kasih banyak, Bu. Semoga aku segera mendapatkan pekerjaan dan rumah kontrakan. Nggak masalah kecil, yang penting bisa untuk tempat berteduh dari hujan dan panas."
"Nanti Ibu tanyakan ke anak tetangga ya, Sayang. Mereka rata-rata sudah bekerja, siapa tahu ada pekerjaan buat kamu juga."
"Iya, Bu."
"Kalau urusan rumah kontrakan, nanti kita cari yang dekat dengan tempat kerja kamu. Lumayan bisa jalan kaki saja, daripada bayar alat transportasi. Uangnya bisa kamu tabung, Nak."
"Iya, Bu. Sekali lagi terima kasih."
Bu Ani tersenyum. "Sama-sama, Nak. Ya sudah, ibu ke kamar anak-anak dulu ya. Mereka harus segera bangun dan siap-siap berangkat ke sekolah."
"Baik, Bu. Biar aku yang selesein sisanya, aku bisa."
***
Cerita baru nih!
Semoga suka ya, pastinya siapin hati untuk baca setiap babnya yak. Aku lagi senang nulis yang menguras perasaan. Apalagi yang tokohnya nangis-nangis bombai. Hahaha ....