"Aaaa!" teriak Elena sambil menutupi wajah. Kedua kakinya langsung bergetar dengan jantung yang rasanya sudah turun ke perut, tinggal beberapa senti lagi bagian depan mobil itu menjilat kaki Elena. Ini yang ketiga kalinya dia hampir ditabrak. Kejadian pertama saat dia ingin menuju kota, kejadian kedua bersama Steve di dekat rumah makan, lalu kejadian terakhir ini juga bersama Steve. Wajahnya memerah, mengusap dadaa lega. Hampir saja nyawanya kembali melayang.
"Lo hobi banget minta ditabrak ya? Udah bosan hidup atau gimana?" Steve turun dari mobil, melipat kedua tangannya di pinggang. Tubuh Elena masih bergetar takut, memegangi erat kantong plastik berisi martabak. Elena tidak pernah mencicipi martabak selama di kampung, jadi dia penasaran dengan rasanya yang kata Shofia enak sekali. Kalau dicium dari aromanya memang begitu enak, kayaknya Elena bakal suka apalagi tadi dia minta digoreng sedikit lebih kering.
Elena menggeleng cepat. "Aku kaget, kamu sih bawa mobilnya ngebut banget. Tadi pas aku nyeberang, aku udah liat kiri dan kanan, nggak ada mobil. Jadi bukan salah aku kan?"
"Pakai ditanya, ya salah elolah!" Steve mengusap kening, frustasi melihat sikap gadis di hadapannya ini. Dia terlalu polos hingga kadang terlihat bodoh. Kalau dari perawakannya, Elena memanglah cantik. Apalagi saat cuaca malam dingin seperti ini, kulitnya nampak pucat seperti mayat. "Kalau nyeberang jalan itu biasa aja, santai. Jalan sewajarnya, jangan lari dan jangan kayak siput. Dibilang jangan lari, malah gerak selambat-lambatnya. Cepat juga lari kucing daripada jalan kamu."
"Kucingkan berlari, aku jalan. Tentu saja beda."
Steve mendorong kening Elena pelan dengan jari telunjuknya. "Kalau dibilangi itu nggak udah ngejawab, gue pepet mulut lo baru tau rasa." Elena memajukan bibir, menghela napas pasrah. Dia mengangguk, kembali mengalah daripada terus diomeli di pinggiran jalan begini. Elena malu, takut jadi pusat perhatian mengguna jalan yang lain.
"Sudahkah mengomelnya? Aku mau pulang, nanti keburu hujan lagi." Matanya mengerjap polos, mampu membius Steve dalam beberapa saat. "Aku minta maaf udah dua kali bikin kamu kaget. Jangan suka mengumpat, itu nggak baik tau!"
"Ck! Berani-beraninya lo ngebilangin gue, kelihatan hebat banget ya?" Elena mengeleng, oke dia salah lagi. "Masuk ke mobil gue, gue anterin pulang!"
"Eh, nggak usah!" Elena menggeleng cepat dan tegas. Menolak mentah-mentah ajakan Steve. "Rumah aku dekat, ada di depan sana. Nggak usah repot-repot, aku nggak pa-pa. Kaki aku nggak luka, belum ketabrak kok."
Steve mengusap rahangnya, baru kali ini dia ditolak untuk kedua kalinya. Steve cukup sabar menghadapi gadis aneh di hadapannya ini, perlu banyak-banyak bersabar. Emosinya selalu tersulut, hanya saja lagi-lagi Steve merasa iba kepadanya. Tatapan mata Elena membuat Steve kadang tidak tega ingin mengeluarkan sifat aslinya, membentak dan berucap kasar adalah bagian dari diri Steve yang tidak pernah hilang--begitu melekat, sudah menjadi ciri khas. Semua orang tau bagaimana Steve bersikap, tidak ada lemah lembutnya, kecuali bersama Nyonya Baylor. Steve sedikit lebih jinak.
"Berani banget lo ya nolak gue terus. Sombong amat, jangan sampai gue beli mulut lo yang kurang ajar itu ya!" Steve mendengkus, memicingkan matanya.
Elena terdiam, hanya mengerjap bingung. Dia tidak tahu harus menjawab apa, susah kalau sudah berhadapan dengan orang kaya. Elena banyak bicara pun mulutnya mau dibeli, jangan sampai Elena salah bersikap juga, nanti malah harga dirinya yang ingin dikuasai. "Aku jalan kaki aja. Maksudnya biar kamu nggak susah harus putar balik ke sana, terus kembali lagi ke sini. Itu loh, gang rumah aku di depan sana. Jalan puluhan langkah lagi udah sampai."
"Terserah lo deh, sana pergi dari hadapan gue. Bikin darah tinggi aja malam-malam." Beranjak duluan masuk ke dalam mobilnya, lalu menyuruh Elena minggir. Tidak berniat mengucapkan basa-basi, Steve langsung melajukan mobil hitam mengkilap miliknya kembali membelah jalanan ibu kota. Mobil Steve ganti-ganti, Elena menemui lelaki itu sudah dua kali mengemudikan mobil berbeda.
Steve pergi, Elena langsung menyadarkan diri dari lamunannya. Dia segera melangkah menuju kontrakan, melupakan kejadian yang sempat membuatnya jantungan. Elena selalu apes, untung saja Tuhan masih melindunginya. Jangan sampai Elena beneran tertabrak, bagaimana bayar biaya rumah sakit nanti? Kalau mengalami luka-luka, bagaimana Elena bekerja? Dia miskin, tidak mampu membiayai hidup jika tidak bekerja di rumah makan Bu Riska. Untung saja ada yang membutuhkan tenaga kerja, jadi Elena bisa lebih cepat mencari pundi-pundi rupiah untuk bertahan di kota besar ini. Syukurlah dia tidak banyak merepotkan Bu Ani.
"Elena, kamu baik-baik saja? Kok lama banget pulangnya?" Shofia sudah menunggu di teras kontrakan Elena. Tidak mungkin jam segini pembeli Kang Udin sudah ramai, biasanya sekitaran delapan ke atas baru banyak antrean. Soalnya para pekerja kayu di daerah itu pada istirahat, biasanya nongkrong di beberapa pedagang kaki lima sana. Shofia tidak bisa menemani Elena membeli martabak, tadi sepupunya datang meminta dibantu menyelesaikan tugas sekolah.
Elena tersenyum lebar, menunjukkan martabak yang berhasil dia beli. "Maaf lambat ya, Kak, tadi aku ketemu cowok waktu itu lagi. Dia hampir mau menabrak aku, untung aja Tuhan masih memberikan nasib yang baik buat aku." Geleng-geleng kepala keheranan, entah kenapa dia bisa bertemu Steve terus.
"Sudah kamu tanyain nama dia belum?" Elena menggeleng, Shofia jadi terkikik lucu. "Sudah tidak kali bertemu tanpa direncanakan, tapi belum sempat kenalan. Apa dia masih suka membentak seperti waktu itu?"
"Iya, tapi tadi lebih kalem pembawaannya. Tidak terlalu marah besar kayak siang itu." Shofia mengangguk, dia sudah menaruh martabaknya ke dalam piring, memakannya sambil menonton drama korea di laptop Shofia. Elena nampak antusias, ini kali pertama dia nonton drama seperti itu. Di kampung Elena tidak memiliki televisi, kalau ingin menonton ... biasanya harus numpang ke rumah tetangga dulu. Elena dan Bundanya sangat pas-pasan hidupnya, jangankan membeli televisi dan membayar listrik lebih, untuk makan saja begitu sederhana. Kadang hanya nasi, tumis kangkung atau tumis pakis--ini sudah makan enak namanya. Di kampung Elena memang banyak kangkung dan pakis, lumayan untuk pengiritan daripada harus beli di pasar.
"Wah, martabaknya enak banget. Andai Bunda masih di sini, dia pasti senang kalau aku belikan makanan begini. Di kampung nggak ada martabak, kalau pun ada ... orang-orang nggak bakal beli. Soalnya lumayan uangnya buat beli sayur untuk tiga hari ke depan." Elena tertawa, dia jujur. Harga martabaknya lumayan mahal, untung dia dan Shofia belinya patungan jadi lebih terjangkau harganya.
Shofia mengusap bahu Elena. "Sabar ya, Bunda pasti bangga liat kamu tumbuh menjadi gadis mandiri seperti ini. Meski tanpa dia, kamu harus berhasil. Jangan kebanyakan jajan, selalu ingat untuk menyisihkan uang. Nabung sampai kamu punya banyak uang, nanti bisa dibelikan emas buat simpanan masa yang akan datang."
"Iya, Kak. Syukurlah kemarin pas aku temenin lelaki itu makan, dikasih uang. Lumayan bisa buat bayar kontrakan. Jadi bulan ini gaji aku nggak kepotong, bisa ditabung lebih banyak."
Entah kenapa, Shofia begitu bangga dengan gadis di sampingnya ini, semangatnya untuk mencari penghidupan layak benar-benar besar. Shofia hanya bisa bantu doa, semoga suatu saat Elena sukses dan mendapatkan pasangan hidup yang bisa menyayangi dan menjaganya. Shofia tahu Elena begitu kesepian, dia butuh teman agar tidak merasa sedih saat memikirkan Bundanya.
"Jangan lupa bersyukur, ada banyak sekali orang baik di dunia ini. Meski lelaki itu menyebalkan, suka membentak dengan kalimat kasarnya, dia baik loh udah ngasih kamu upah yang besar cuman hanya menemani makan. Itu sudah jalan Tuhan, rezeki kamu dititipkan dari lelaki itu."
"Iya. Dia kelihatannya baik kok, cuman pedas aja ucapannya. Sedikit ngeri sih, aku tetap takut sama dia. Tatapannya mengintimidasi, nggak berani aku."
"Sudahlah tidak apa, ayo nonton lagi. Ini martabaknya kamu makan aja sepuasnya, nggak usah sungkan mau ambil berapa potong. Aku tadi udah makan nasi goreng sepupu aku, udah lumayan kenyang."
Elena mengangguk, tersenyum senang. "Makasih ya, Kak. Aku suka martabak, ternyata rasanya enak banget." Shofia mengusap rambut Elena gemas, kemudian kembali fokus dengan tontonan mereka. Shofia ini penikmat drama, begitu candu sampai begadang. Kadang saat bekerja dia merasa mengantuk, hanya saja dibantu kopi yang mampu membuat kantuknya lebih baik.
****
Suara bising dari club malam terdengar memekakkan telinga, Steve baru saja dari toilet--kebelet buang air kecil. Sepanjang lorong itu ada saja yang berbuat mesumm, Steve sampai jengah melihat orang-orang itu tidak tahu malu seperti mereka. Kenapa tidak memesan room saja untuk melakukannya? Terserah mau jungkir balik di dalam sana, tidak ada siapa pun yang melihat. Steve tahu club ini bebas melakukan apa pun seperti b******u, berpelukan, saling memangku, tapi tidak dengan memasukkan tangan ke dalam rok bukan? Sangat tidak baik untuk kesehatan mata.
"Sialann, Jeremy!" Steve memejamkan matanya kaget. Di sofa pojok ruangan mereka melakukan hubungan intim dengan saling memangku, wanita itu benar-benar penggoda ulung, tubuhnya begitu liat bergerak di atas paha Jeremy. Dan ya, Jeremy mau-mau saja celup sana sini. Kekasihnya satu, tapi wanita simpanannya banyak. Pria itu cukup nakal dengan segala kebebasannya, melebihi Steve.
Kalau Steve sendiri tentu saja pernah juga melakukannya, dia tidak munafik. Hanya saja selalu dengan satu orang, wanita yang dicintainya. Steve paling anti celup sana sini, dia takut terkena penyakit yang akhirnya membuat Steve menyesal. Hubungan Steve dengan wanita itu sebenarnya tidak memiliki kejelasan, benar-benar miris. Steve sendirian yang memiliki rasa cinta, sementara wanitanya tidak. Dia terkesan biasa saja, selalu menganggap Steve sahabat yang baik. Pikirkan saja, apa ada sahabat yang selalu berbagi desahan? Dan bodohnyaa, Steve selalu menerima wanita itu ketika dia datang dikala stress. Padahal Steve tau jika dia hanya pelarian sementara, bukan seseorang yang dijadikan rumah paling nyaman untuk kembali dan menetap.
"Steve! Mau mencobanya juga?" tanya pria itu tanpa berdosa, mengusap bibirnya yang habis b******u ganas. Benar-benar menjijikan bagi Steve, selalu heran dengan kelakuan temannya ini. Tidak ada batasan, hidupnya terlalu bebas tanpa ikut campur tangan orang tua. Meski orangtua Steve memiliki jadwal yang padat, mengurus pekerjaan terus, tapi mereka tidak pernah lupa dengan Steve. Selalu menasehati dan memperingati tegas terhadap sikap dan kebiasaannya. Sementara Jeremy tidak, bahkan orangtuanya sering menetap di luar negeri. Mungkin karena itu Jeremy memilih kebebasan untuk membunuh rasa bosan dan kesepian di rumah.
Steve meninju lengan Jeremy. "Nggak akan! Lo pikir gue mau bekasan lo? Ogah!" Menertawakan tidak tahu diri, kemudian Jeremy ikut tertawa. Mereka selalu bercanda dengan hal seperti ini, tidak pernah menganggap serius. Untung Jeremy kebal, tidak cepat tersinggung dengan ucapan Steve yang kadang memang sepedas cabai satu kilo.
"Sialann!" balas Jeremy menaikkan bahu, meminum kembali alkoholnya. "Kayaknya anak baru, masih sempit. Lumayanlah." Mulut Jeremy kelewatan frontal kalau soal urusan begini, dia selalu blak-blakan memuja wanita satu malamnya. Meski sering gonta-ganti wanita, Jeremy tetap memilih. Kalau bisa dialah orang pertama, katanya lumayan dapat yang segelan.
Steve menghela napas, begitu memaklumi ucapan cabull Jeremy. "Gue bosan di sini, tidak sebagus club biasanya kita nongkrong. Banyak yang nggak tahu tempat, di lorong aja banyak yang berbuat tidak senonoh. Kalau di club biasa, orangnya berkelas semua."
Jeremy tergelak, itu kenyataan. Coba-coba saja, ternyata memang berbeda jauh. Minumannya juga lebih murah, tapi wanita penghiburnyaa banyak anak baru--sebab itu Jeremy penasaran. "Besok balik ke tempat biasa, gue udah nyoba satu di sini, nggak bakal penasaran lagi." Menaikkan bahu, kemudian menyandarkan punggungnya santai ke kepala sofa. Jeremy menikmati musik yang sedang menggema, kedua kakinya bergerak mengikuti alunan.
"Ayo balik, Jer. Minum ini gue nggak mabuk, udah habis dua botol besar nggak berasa sama sekali." Akal sehatnya masih utuh, minuman itu tidak membuat Steve tenang.
"Lain kali ajak Vanesa ke club biasa, nanti gue ajak Naomi juga. Udah lama nggak bersenang-senang bareng, nanti pulangnya menginap di hotel saja. Lumayan setelahnya dapat jatah kan?" Jeremy mendapatkan tinjuan lagi, Steve pasti tidak akan mau. Dulu dia pernah membawa Vanesa ke club, ternyata wanita itu mabuk berat. "Nggak usah takut, Vanesa udah biasa ke club sama teman-temannya. Dia nggak sepolos dulu, jadi bisa mengontrol diri biar nggak teler."
"Gue nggak suka main saat mabuk, lebih enak sama-sama sadar." Kali ini Steve yang mendapat pukulan, keduanya sama-sama tertawa.
"Sialann mulut lo, Steve. Sekali ngomong suka bener, mampus nggak tuh?"
"Ayo balik, gue beneran bosan di sini." Steve duluan bangkit dari tempat duduknya, menyuruh Jeremy yang membayar semua tagihan. Sementara Steve memilih menunggu di area parkir. Tidak akan mampir ke club ini lagi, tempatnya tidak menyenangkan menurut Steve. Gara-gara rasa penasaran Jeremy saja, dia rela menjadi obat nyamuk dan sakit kepala sendirian. Bukannya seru-seruan, Steve malah mengantuk berada di tempat hiburan satu ini.
Sembari menunggu Jeremy datang, tiba-tiba Steve terpikir Elena. Wanita polos yang selalu membuat masalah dalam hidup Steve. Lain kali Steve akan memaksa gadis itu ikut bersamanya ke club. Biar tidak udik, kemudian pergaulannya lebih luas. Dari yang Steve lihat, hidup Elena terlalu datar. Tidak ada kesenangan, sebab itu kalau bertemu orang seperti Steve langsung kelihatan takut. Dia terlalu sopan, padahal menjadi anak yang sedikit nakal lebih menyenangkan.
****