Elena terlonjak kaget saat matahari menerobos setiap celah gorden, menyorot berani membuat Elena silau. Di terbangun, memegangi kepalanya yang langsung terasa pusing. Mengamati daerah kamar tamu pada apartemen Steve sembari mengumpulkan nyawa, Elena lagi-lagi terlonjak. Dia membuka selimut, bernapas lega ketika gaun seksi itu masih melekat pada tubuhnya--meski sudah naik ke atas memperlihatkan keseluruhan paha Elena. "Astaga hari ini kerja masuk pagi!" Buru-buru menyingkap selimut, berlarian tanpa memedulikan bagaimana penampilannya. Bahkan gaun itu hanya diturunkan sedikit, berlarian dalam ruangan yang begitu luas dan mewah. Semua barang-barang di sana bernominal tinggi, Elena mengusap rambutnya kasar. "Steve, Steve. Kamu di mana? A-ayo antar aku pulang. Ya Tuhan ... ini jam berapa? Aku terlambat, aku bisa diberi teguran oleh Bu Riska." Panik, tentu saja. Elena takut dipecat, ini adalah pekerjaan yang begitu berharga. Jika tidak di sana, ke mana Elena mencari pundi-pundi rupiah untuk menghidupi dirinya yang sebatang kara?
Aroma masakan dari arah dapur membuat Elena tersadar, kemudian melangkah lebar mendatangi Steve yang sedang memasak. "Steve, ayo antarkan aku pulang. Ini jam berapa? Kenapa kamu tidak membangunkanku?"
Dengan malas Steve menoleh pada Elena. Rambutnya masih acak-acakan, muka bantalnya terlihat jelas di depan mata Steve. "Tuh, sudah jam sembilan." Menunjuk ke arah jam dinding yang terlihat begitu jelas menunjuk ke angka sembilan. Hei, sejak kapan Elena bangun siang? Dia tidak pernah molor, pasti selalu bangun sebelum matahari naik. "Tidak perlu kerja, libur aja."
Elena menggeleng tegas. "Nggak bisa, Steve. Nanti aku dipecat, kerjaan itu penting banget buat aku. Kalau tidak di sana, ke mana aku bisa bekerja? Aku tidak tahu seluk-belum Kota besar ini, hanya di restoran itu aku bisa berharap untuk penghidupan lebih baik. Mungkin bagi kamu memag tidak seberapa gajinya, tapi bagi aku sudah besar banget. Jangan sampai aku dipecat, aku bisa mati kelaparan!"
"Lebay!" cibir Steve memasukkan sosis ke dalam nasi gorengnya.
"Steve, ini serius. Tolong antarkan aku pulang. Aku bisa beralasan apa pun agar tetap bekerja hari ini. Ayolah!" Elena mendekati Steve, memegangi lengan lelaki itu untuk memaksanya. "Antarkan aku pulang dulu sebentar."
Steve melepaskan pegangan Elena, mematikan kompornya untuk memberi gadis di hadapannya itu pengertian. "Nggak perlu masuk kerja. Lo budek?" Elena memajukan bibirnya, tatapannya menyendu akan segera menangis dalam waktu dekat. "Gue sudah mendatangi teman lo yang kemarin. Siapa namanya? Hem ... Shofia. Gue udah bilang lo ada di apartemen gue, lagi demam dan nggak bisa berangkat kerja. Katanya dia bakal kasih tau hal ini ke Bos kalian untuk meminta izin sehari."
"Kalau dipecat gimana? Apalagi alasannya bohong banget. Aku sehat, aku nggak demam. Meski sedikit pusing akibat kemarin malam, minuman itu resek. Meski manis tapi buat akal sehat aku melayang."
"Jangan lebay, bisa? Nggak pernah gue dengar orang minta izin sehari doang dipecat. Memangnya lo bekerja di jaman penjajahan apa?" Steve mengangkat tangannya, tidak membiarkan Elena menyahut ucapannya. "Nggak usah banyak bicara. Gosok gigi dan cuci muka, mau neraka mulut lo!"
Elena memukul dadaa Steve, membuat lelaki itu membelalak dan menganga. "A-ah, maaf. Nggak sengaja!" Setelah itu Elena cepat berlalu dari hadapan Steve, melangkah cepat kembali memasuki kamarnya.
"Kurang ajar sekali gadis itu!" umpat Steve melihat Elena sudah menghilang ditelan angin. Cepat sekali dia berlari menghindari Steve, takut juga dia.
Steve kembali menyalakan kompor, memasak sebentar lagi sebelum menyajikannya rapi ke dalam piring bersama ayam krispi yang dia beli sepulangnya dari kontrakan Shofia. Kalau untuk memasak nasi goreng, Steve masih bisa sedikit-sedkit--kendati tidak seenak masakan Nyonya Baylor atau Bibi Muti. Tapi nasi goreng buatan Steve masih layak dinikmati, tidak terlalu buruk rasanya.
Usai menyajikan nasi goreng untuknya dan untuk Elena, Steve membuat roti bakar. Dia memerlukan porsi besar agar kenyang. Steve sangat lapar, semalam dia tidak makan nasi sebelum tidur. Ingat, ini kali pertama Steve bersikap baik hati kepada orang asing. Elena masih bagaikan orang asing, sebab mereka belum saling mengenal secara jauh. Biasanya Steve hanya memikirkan dirinya, persetann dengan orang lain mau bagaimana. Tapi lihatlah sekarang, prinsip itu sedikit mengalami perubahan.
"Wanginya!" Elena tersenyum, dia datang sambil menggulung rambutnya ke atas. Masih menggunakan gaun semalam, terlihat memesona saat merapikan rambutnya seperti itu, apalagi dengan postur tubuhnya yang terbungkus seksi. Steve selalu saja salah fokus, dia pria normal bukan?
"Wangi, wangi! Enak banget lo ya, udah numpang di tempat gue, makan disiapin juga. Kurang baik apalagi gue?" Steve menaruh s**u hangat dan air putih ke atas meja bersama nasi goreng san roti bakar. Ada beberapa macam buah segar yang baru saja dikeluarkan dari lemari pendingin, untuk cuci mulut.
Elena tersenyum. "Makasih ya, Steve. Maaf ngerepotin."
"Nanti nggak usah lagi sok-sokan minum alkohol, gue lempar ke laut baru tahu rasa lo! Ngerepotin banget hidupnya, heran gue."
"Ngomongnya kasar banget. Nggak boleh tahu, itu bisa saja membuat orang lain sakit hati atau tersinggung. Tapi kamu tenang saja, aku sudah terbiasa kok. Aku maafkan terus semua ucapan kasar kamu, aku mencoba memahami karakter kamu. Tidak menyenangkan, tapi aku tahu kamu sebenarnya orang baik." Memakan roti bakarnya lebih dulu, lalu matanya berbinar. "Ini enak. Aku pernah nggak ya makan roti bakar, sampai lupa saking jarangnya mencicipi makanan enak seperti ini."
Berbeda dengan Elena, Steve lebih memilih memakan nasi gorengnya dengan lahap. Dia sudah lapar sekali, ingin segera memakan nasi agar perutnya tidak mulas. "Emangnya lo hidup di Goa mana? Kok bisa-bisanya roti bakar saja jarang makan. Ini makanan paling biasa, di rumah gue setiap hari tersedia roti. Terserah mau diapakan."
"Enaklah, kamu kan anak orang kaya. Beda sama aku, aku hidupnya serba susah. Bahkan mau jajan aja mikir dulu, lebih baik uangnya dibelikan sayur biar bisa makan bareng aku sama Bunda. Kalau nggak ada duit, nyari sayur gratis. Enak, aku suka kangkung dan pakis."
"Semiskin apa? Kok buat jajan aja nggak bisa?"
"Makanya lain kali jalan-jalan ke desa kecil, kamu akan melihat banyak sekali orang susah. Jangan buang-buang uang, apalagi makanan. Karena itu bisa mengundang tangis. Kami mati-matian bekerja keras biar bisa makan, tapi orang seperti kamu malah menyia-nyiakannya. Bukankah itu mubazir sekali? Nanti Tuhan marah, apa kamu tidak takut?"
Steve menatap Nessi beberapa saat sembari berpikir keras, dia lebih memilih diam dan melanjutkan makan.
"Banyak-banyak bersyukur, Tuhan memberi kamu kehidupan yang begitu berkecukupan. Aku sih tidak pernah menyesal hidup pas-pasan sama Bunda, tapi kamu selalu bahagia."
"Di mana Bunda kamu?" Steve menaikkan alis, dia tidak pernah melihat sosok seorang ibu di samping Elena. Kontrakannya saja tadi terlihat kosong, berarti hanya Elena yang tinggal di sana.
Elena tersenyum, menggeleng pelan. "Bunda ada di langit. Dia sudah bahagia di surga. Makanya aku bekerja keras di Kota, biar bisa mewujudkan mimpi Bunda. Dia ingin aku sukses, hidup bahagia dengan nasib yang lebih baik."
Steve kehabisan kata-kata. Dia meraih gelas air putih, menegaknya hingga setengah bagian. "Maaf, gue nggak bermaksud."
"Nggak pa-pa, aku baik-baik saja. Aku sudah ikhlas kok, aku juga sudah berjanji pada Bunda agar tidak bersedih dengan apa pun yang terjadi ke depannya. Semua sudah ketentuan Tuhan, aku harus berusaha menerima meski kadang menyakitkan dan penuh luka." Elena memakan dengan lahap masakan Steve. "Nasi gorengnya enak, ayam krispinya juga enak. Kamu yang bikin semuanya?"
"Cuman nasi goreng dan roti bakar. Ayam krispinya gue beli."
"Ini enak. Aku suka." Tersenyum manis, kembali menyiap nasi gorengnya semangat. Selama Elena tinggal di Kota, dia selalu makan enak. Elena bersyukur sekali, ini adalah nikmat Tuhan yang tidak bisa dia dustakan. Kesabarannya selama ini sedikit membuahkan hasil. Sayang sekali, Elena punya uang banyak setelah Bundanya sudah tiada. Dia tidak bisa mengajak wanita itu mencicipi makanan enak, seperti martabak contohnya. Ya Tuhan, semoga saja Bunda di surga sana bahagia melihat kehidupan Elena sekarang. Jauh-jauh lebih baik, banyak orang yang menyayangi Elena.
Steve lebih dulu menghabiskan nasi gorengnya, lalu lanjut melahap roti bakar. Di sela-sela obrolan mereka, bel unit berbunyi. Itu pasti orang suruhannya tadi. Steve meminta tolong mencarikan keperluan Elena seperti baju dan pakaian dalam, kemudian membelikan satu buah handphone. Kata Shofia tadi, Elena sama sekali tidak memiliki ponsel.
"Siapa, Steve?" Elena sudah lebih berani mengajak Steve mengobrol panjang lebar. Dia hanya mencoba mengakrabkan diri agar tidak canggung lagi ke depannya. Siapa tahu Steve senang meminta bantuan padanya kan? Elena dapat duit, dia senang. Lumayan untuk ditabung, kapan lagi dapat uang dengan cara yang mudah.
"Buat lo." Menaruh paper bag ke atas kursi. Menyuruh Elena melihat dalamnya. "Gue nggak tahu selera pakaian lo yang kayak gimana, semoga aja cocok. Itu nggak kayak ibu-ibu, tenang aja."
Saat Elena mengeluarkan dress hitam yang Steve belikan, tiba-tiba pakaian dalam untuknya jatuh ke lantai. Elena menganga, segera mengambil dan menyembunyikannya. Pipi Elena langsung memerah padam, malu sekali. Steve ternyata membelikan dia semuanya.
"Gue nggak tahu ukuran celana dalam dan bra lo berapa. Gue kira-kira sendiri aja, semoga pas." Elena segera memasukkan kembali dressnya, menyimpan pakaian dalam itu ke bagian paling bawah. "Dan ini ponsel buat lo, gunain sebaik mungkin. Ini ponsel keluaran terbaru, mahal harganya. Baik kan gue?" Ponsel canggih itu sudah bisa langsung digunakan oleh Elena, ada kartu simnya juga.
"Steve, kamu serius? Kenapa membelikan ponsel juga? Hem ... kamu tidak memotong jatah yang kamu janjikan kemarin bukan? A-aku memerlukannya untuk ditabung."
Steve menatap Elena malas. "Lo pikir duit dua juta bisa membeli ponsel itu?" Elena terdiam, membolak-balikkan ponsel itu untuk melihat bentuknya. Ada apel digigit di bagian belakangnya. "Nggak usah dipikirin, lo jaga aja baik-baik ponsel itu. Awas aja sampai rusak."
Elena mengangguk paham. "Ini cara gunainnya sama kayak ponsel kak Shofia kan ya? Bagus ya bentuknya, aku suka kok."
"Iyalah bagus, mahal itu. Sama kayak punya gue, cuman beda warnanya doang." Ada tiga kamera di belakang, sangat mewah bentuknya. Punya Steve yang Graphite, sementara Elena Pacific Blue.
"Terima kasih banyak. Aku akan menjaganya."
****
Steve sudah bersiap dengan pakaiannya santainya, sedang menonton televisi di ruang tengah. "Apa pas ukuran pakaian dalamnya, Elena?" tanya Steve tanpa memfilter ucapannya. Dia menatap gadis itu yng baru saja bergabung. Dress hitam melekat indah pada tubuh Elena, tanpa lengan. Entah kenapa, Steve sangat senang melihat wanita mengenakan dress selutut tanpa lengan.
Pipi Elena merona padam. "Agak sedikit kekecilan untuk branya. Sesak pas aku pakai. Tapi nggak masalah, oke kok."
"Oh, besar juga ya dadaa lo." Kemudian tertawa tanpa dosa, membuat Elena melotot tajam. "Habis ini mau ke mana? Tidak mungkin lo balik ke kontrakan, nanti ketahuan pura-pura sakit."
"Di sini saja sampai malam. Jam tujuh nanti antarkan aku pulang."
Steve melirik jam pada pergelangan. "Gue mau keluar, Jeremy ngajak gue main ke rumahnya. Katanya mau makan bersama." Memikirkan sejak tadi, apa dia bawa saja Elena ke rumah Jeremy? Hanya saja rasanya seperti tidak mungkin, takut orangtua Jeremy melapor pada Mama dan Papanya, biasanya suka berlebihan kalimatnya.
"Kamu pergi aja. Aku berani kok di sini sendirian."
"Di rumah nggak ada makanan, gimana lo bisa makan? Gue mau keluar sampai sore." Mau menyuruh Elena menggunakan ponselnya untuk memesan makanan, gadis itu masih terlalu pemula. Takut salah-salah, bisa gawat. "Gue pengen ajak lo belanja sebentar, takut lo bikin gaduh di sini. Nggak yakin gue kalau suruh lo masak sendirian, kompor gue beda sama punya lo di rumah." Ada banyak sekali yang harus dipencet, bisa saja Elena kelupaan kan? Ah, terlalu berbahayalah intinya.
Elena tersenyum. "Antarkan aku aja ke rumah Bu Ani. Selama aku bekerja, kami belum pernah bertemu. Aku mau main ke sana."
"Siapa Bu Ani?"
"Istri Pak Edi, yang nolong aku pas mau berangkat ke kota. Dia yang ngasih aku tumpangan, baik banget orangnya."
Steve mengangguk saja pada akhirnya. "Tapi lo janji sama gue jangan ke mana-mana. Lo nyasar nanti gue yang susah. Terakhir kali Shofia tahunya lo sama gue. Kalau sampai lo hilang, gue tersangka utamanya."
Elena terkekeh. "Iya, aku bukan bayi yang bisa hilang tanpa pengawasan orang dewasa. Aku bakal di sana sampai kamu jemput."
"Baguslah. Ayo bersiap, gue mau berangkat sekarang." Steve masih menggunakan pakaian santainya, niat hati nanti mampir dulu ke kediaman Baylor untuk ganti baju.
"Steve, pinjam jaket boleh? Nggak enak kalau ke rumah Bu Ani pakai dress begini. Nanti dia kaget, kan aku sebelumnya nggak pernah terlihat mengenakan baju tanpa lengan."
"Nanti gue ambilin di lemari, lo beresin dulu barang-barang yang mau lo bawa. Jangan sampai ketinggalan, gue nggak mau bolak-balik ke sini." Elena mengangguk paham. "Ponsel yang gue kasih tadi mana? Jangan sampai hilang!"
"Ada kok, bakal aku taruh dalam tas dengan baik. Tidak ada yang mau ngambil, tidak ada maling di rumah Bu Ani."
"Kalau ada apa-apa hubungi gue. Sudah paham caranya kan?" Elena kembali mengangguk. "Itu baru ada nomor gue doang, nanti lo simpan aja nomor teman-teman lo yang lain. Biar nggak ketinggalan berita, miris amat udah besar dan hidup di jaman sekarang tapi nggak punya hp."
Sekali lagi, Elena memaklumi semua kalimat Steve. Pria itu baik, buktinya mau membelikan kebutuhan Elena secara cuma-cuma.
****
Maaf telat update, mood aku tadi buruk banget. Jadi baru bisa ngetik tadi, untuk cepat kelarnya hihihi. Semoga masih bisa dinikmati dengan baik. Sampai bertemu besok yah! Selamat malam ....