Makan malam ini terasa sangat membosankan bagi Rea karena Danis kembali tidak menampakan batang hidungnya. Pertanyaan-pertanyaan sialan itu kembali muncul dalam otak kecilnya. Ditambah lagi nasi yang ada di piringnya tak sanggup melewati tenggorokan dan masuk ke dalam perutnya karena perasaan mual yang dirasanya. Sedari tadi Rea hanya mengaduk-ngaduk piring itu.
“Danis ke mana ma?” tanya Gandi pada istrinya. Karla menarik napas lalu menghembuskannya dengan perlahan.
“Belum pulang pa,” jawab Karla membuat Gandi menghentikan makannya. Dia juga tahu Danis jarang pulang akhir-akhir ini. “Apa kamu sudah menelponnya Rea?” pertanyaan itu tertuju untuk Rea.
“Sudah pa tapi tidak diangkat, hueekk huuueeak…” Ucapan Rea terpotong saat perutnya kembali merasa mual. Rea merasa tidak enak karena ingin muntah di meja makan. Ia segera berlari ke toilet terdekat dan mencoba memuntahkan sisa makanan dalam perutnya.
“Rea kamu nggak apa-apa sayang?” tanya Karla yang ternyata menyusul di belakangnya. Rea menggeleng untuk meyakinkan dirinya juga Karla.
“Papa sudah menelpon dokter, ma. Sekarang bawa Rea ke kamar mereka.” Teriak Gandi dari dapur.
“Iya pa sekalian tolong telpon Danis,” Karla pun berteriak pada suaminya.
Beberapa saat kemudian dokter telah selesai memeriksa Rea. “Selamat nyonya Danis anda akan segera jadi ibu.” Dokter keluarga Gandi Subroto itu memberikan selamat kepada Rea saat dia selesai memeriksa keadaannya.
“Apakah saya hamil dokter?” tanya Rea masih dengan tatapan tak percaya. Apa benar sekarang di perutnya ada Danis junior?
Dokter itu tersenyum dengan ramah. “Iya nyonya. Usia kandungan anda sudah tiga minggu lebih. Anda harus selalu berhati-hati dan jangan sampai setres karena itu bisa saja membuat anda keguguran.” Jelas dokter yang baru diketahui Rea bernama Indra, dokter muda dan sukses.
“Rea sayang, jadi mama akan punya cucu?” Karla memeluk menantunya yang masih setengah linglung. Seharusnya, ya seharusnya Danis ada disini. Seharusnya suaminya mendengar ini semua untuk pertama kalinya tapi Danis dimana? bahkan setelah papanya menelpon, Danis tidak pulang juga. Mungkin benar kalau Danis sudah tidak menginginkannya lagi. Lalu bagaimana dengan bayi mereka yang baru saja tumbuh dalam rahimnya. Apa yang harus Rea lakukan ?
“Rea kamu nggak apa-apakan?” tanya Karla yang cemas melihat sikap Rea. Wajahnya pucat dan matanya mulai berlinang. Dia menangis. Mungkin inilah efek dari kehamilannya. Dia sangat sensitive.
“Danis mana ma?” rengek Rea pada Karla. Dia seperti remaja umur 17 tahun, padahal umurnya sudah 22 tahun.
“Sabar sayang dia pasti pulang karena papa sudah memberitahunya kalau kamu sakit.” Jawab Karla.
“Gimana kalau dia nggak mau pulang? gimana kalau dia nggak peduli pada kami?” tanya Rea lagi seraya mengelus perutnya yang masih datar. Namun perkiraannya salah saat pintu kamar itu terbuka dan menampakkan sosok Danis yang terengah-engah. Karla tersenyum melihat kelakuan putranya itu. Ia yakin seratus persen kalau Danis mencintai Rea sejak dulu, begitu juga Rea. Sementara itu Rea masih terkejut dengan kehadiran Danis. Dirinya masih beruraian air mata.
“Nah sekarang mama mau menemui papa dan dokter Indra di luar.” Karla undur diri. Ia tahu anak menantunya butuh waktu untuk bicara. Karla menepuk punggung Danis dan berucap selamat sebelum ia menutup pintu kamar itu.
Danis berjalan menuju Rea yang masih menyeka sisa-sisa air maatnya. Pandangan Danis tak sedikitpun beralih untuk menatap yang lain kecuali wajah cantik istrinya. Danis merindukan wanita itu, sangat merindukannya.
“Yea,” Danis mendekap Rea dengan erat saat dia sudah bisa menggapai perempuan itu.
“Kamu kemana aja Danis. Kamu jahat!” rajuk Rea sambil memukul-mukul d**a Danis.
“Maafkan aku. Maafkan aku,” ucap Danis berulang kali.
“Kamu sakit apa sayang?” tanyanya saat dirinya sudah berhasil melihat wajah sendu istrinya. Harap-harap cemas Danis mendengar jawaban Rea. Seandainya itu kabar buruk Danis rela menggantikan sakit yang Rea rasakan, apapun itu.
“Aku hamil,” deg. Jantung Danis berdegup sepuluh kali lipat dari biasanya. Apakah tadi dirinya tidak salah dengar? Istrinya hamil? anaknya? Bodoh, tentu saja itu adalah anaknya. Anak pertamanya.
Tangis Rea meledak saat Danis tak bereaksi apapun ketika ia menjelaskan kalau dirinya hamil. Benarkan Danis tidak menginginkan mereka berdua, Rea dan janinnya.
Mendengar Rea menangis, Danis kembali sadar dari lamunannya. “Yea kamu kenapa? Mana yang sakit?” tanyanya panik. “Kamu nggak suka aku hamil hiks hiks,” jawab Rea disela-sela tangisnya.
“Dari mana kamu dapat kesimpulan itu hmm?” Danis tersenyum melihat kelakuan Rea. Istrinya sangat manja.
“Kamu diam aja. Kamu jahat udah hamilin aku tapi nggak mau bertanggung jawab,” Danis melotot. Bukan karena ucapan Rea tapi karena sikap Rea yang sekarang sangat berbeda dengan Rea yang biasanya. Dia benar-benar manja. Tapi Danis menyukainya. “Aku bahagia Anarea Lingga Karandio,” Danis menjawab dengan menyebutkan nama lengkap istrinya dan menambahkan nama belakangnya pada Rea.
Rea menatap mata Danis dalam-dalam. Dia mencoba mencari kebohongan di sana namun tidak ada. Mata itu berkata jujur. Rea menghambur ke dalam pelukan Danis. Begitupun Danis yang memeluk istrinya dengan sangat erat. “Yea, aku mencintaimu.” Ungkap Danis membuat wanita itu semakin erat memeluknya.
Melihat reaksi itu Danis yakin wanitanya memiliki rasa yang sama. Dia tidak peduli lagi apakah wanitanya masih menjalin hubungan dengan lelaki yang bernama Fahri itu tapi yang pasti saat ini Rea adalah istri sahnya dan sedang mengandung anaknya, buah hati mereka berdua. Ternyata tak ada yang sia-sia dengan usahanya selama sebulan ini menghindar dari Rea, dirinya memang ingin membuat wanita itu merasa kehilangan dan yang paling penting adalah membuat perasaannya sadar akan keberadaan wanitanya itu.
Pada akhirnya waktu menjawab semua tanda tanya dalam benaknya bahwa dirinya memang benar-benar mencintai Rea sejak dulu saat mereka pertama kali bertemu. Mulai sekarang danis akan berubah, tidak akan ada wanita lain selain Rea. Tidak ada Danis yang bad boy. Danis akan menyelesaikan kuliahnya secepat mungkin, dia akan bertanggung jawab pada Rea dan anaknya. Dia tidak akan pernah menyia-nyiakan mereka berdua.
“Rea,” Danis mengangkat dagunya. Sudah lama sekali dia tidak merasakan bibir lembut itu. Mengecup dan melumatnya hingga wanita itu tidak tahu bagaimana caranya bernapas.
Sekarang Danis menginginkan itu maka dicumbunya istrinya dengan lembut seakan takut ia terluka.
Begitupun Rea, dia ikut membalas lumatan demi lumatan yang diberikan suaminya. Menikmati setiap belaian yang diberikan Danis padanya. Ya, Rea juga sangat merindukan Danis sejak lelaki itu pergi dan kini seakan mimpi saat Danis menciumnya, melumat bibirnya yang awalnya hanya lumatan lembut kini berubah menjadi ciuman yang menuntut, meminta lebih dan Rea membalas semua itu. Ia akan memberikan apapun yang diminta Danis padanya, apapun itu.
Perlahan Danis merebahkan tubuh mungil itu dan sejenak menatapnya.
“Apa kamu tahu aku tersiksa selama satu bulan ini sayang?” Tanya Danis masih dengan posisi memandangi istrinya.
“Apa kamu nggak nyentuh pacar kamu di luar sana?” Rea juga ikut bertanya dengan lirih. Enggan sekali sebenarnya dia menanyakan itu. Membayangkan Danis b******a dengan wanita lain membuatnya sangat mual. Danis menyadari kecemburuan itu. “Aku nggak pernah melakukan itu Yea, nggak setelah aku menikah sama kamu,” jelas Danis. Rea hanya menangkap satu maksud di sana bahwa Danis pernah melakukannya sebelum mereka menikah.
“Ah tentu saja dia pernah, dia seorang bastard.” Kata hati Rea. Ada rasa kecewa yang teramat besar saat dia menyadari dia bukan yang pertama.
“Hei,” tegur Danis saat Rea memalingkan wajahnya. Ada rasa bersalah dalam diri Danis melihat kesedihan di mata itu. Danis tahu Rea kecewa karena ini bukan pertama kalinya Danis melakukan itu. Memang benar Danis sudah melakukannya dengan mantan pacarnya yang dulu sempat ia kasih hati namun mereka harus pisah karena suatu hal yang tidak termaafkan bagi Danis. Hanya dengan wanita itu Danis melakukannya, dia Felicia.
“Maafkan aku tapi sejak kita menikah aku nggak pernah melakukan itu lagi dengan wanita lain Rea. Aku mencintaimu.” Danis kembali menjelaskan semuanya dan mengakhiri kalimatnya dengan mengungkapkan perasaannya.
Rea yang mendengar itu memberanikan diri untuk menatap mata Danis untuk mencari kebenaran di sana. Rea tersenyum saat mengetahui mata itu berkata jujur. “Felicia?” goda Rea. Dia ingin melihat reaksi apa yang diberikan Danis ketika mendengar nama itu lagi. Rea takut reaksi yang sama dengan sebulan yang lalu saat tanpa sengaja mereka bertemu Felicia. Namun ternyata Danis terlihat santai. Hal itu membuat hati Rea melega.
“Sama sekali nggak ada pengaruhnya lagi,” kata Danis percaya diri.
“Kamu harus janji,” Rea mengulurkan jari kelingkingnnya. Danis tertawa melihat sisi istrinya yang sangat kekanak-kanakan tapi masih saja dituruti olehnya. “Janji.” Danis pun mengaitkan jari kelingkingnya pada jari kelingking milik Rea.
“Jangan tidur dengan perempuan lain kecuali aku, apapun keadaannya. JANJI!” Ucap Rea yang penuh penekanan pada kata janji. Danis mengangguk mantap karena dirinya memang tidak akan pernah meniduri perempuan lain selain istrinya, orang yang dicintainya ini.
“Sekarang boleh kita lanjutkan my wife?” Rea tahu maksud pertanyaan Danis, oleh karena itu dengan malu-malu Rea menganggukan kepalanya. Setelah itu Danis melanjutkan kegiatannya, mencumbu, melumat dan lain sebagainya sampai mereka berdua sama-sama tak berdaya karena beberapa kali mengulangi hal yang sama, b******a sampai letih.
.
.
.
Tbc.