**10 itu sepuluh**

1095 Kata
Juna mengantarkan Luna kembali pulang setelah makan siang. Dari kejauhan terlihat seorang laki-laki yang berdiri di depan rumah, bersandar pada mobil sport kuning miliknya. Pria jangkung, dengan kulit putih juga memiliki sebuah tanda lahir berupa tahi lalat kecil di bawah mata kirinya. Dia Gio, sejak tadi menunggu Luna. Juna melirik Luna yang tersenyum mendapati sang kakak kelas yang menunggunya. Mereka memang janjian Gio ingin hunting foto. "Temen kamu?" tanya Juna dijawab anggukan oleh Luna. "Kakak kelas aku. Kita ada janjian, Kak Gio suka hunting foto-foto gitu kak. Aku tertarik, jadi minta ikut hari ini." jawab Luna. Mobil terhenti, Gio menatap ke arah mobil Juna, lalu tersenyum saat melihat Luna yang ke luar dari dalam mobil. "Lama nunggu Kak?" tanya Luna lalu saling ber-toss ria dengan Gio. "Lima menit lah, gue mau masuk malu. Jadi nunggu lo pulang," jawab Gio. Sementara Juna berjalan di belakang Luna. Mengamati laki-laki yang kini tengah asik mengobrol dengan gadis yang selama ini sudah ia anggap layaknya adik sendiri itu. Tentu saja sebagai laki-laki yang mencintai, ada gejolak dalam dadanya. Hanya saja, Juna sadar diri tak mungkin ia ungkap asanya. Tak ingin hubungannya dengan Luna rusak. Apalagi, ia begitu menyayangi Reina selayaknya ibu kandung. Harusnya Juna sadar diri dan hanya menyayangi Luna selayaknya adik kandung. Namun, hati manusia tak bisa diatur dan tanpa ijinnya melewati batasan yang telah Juna tentukan. Apalagi rasa itu sudah ada sejak dulu dan entah kapan. Ia lupa tepatnya dan bagaimana akhirnya hatinya berbunga-bunga lalu kemudian jatuh cita pada Luna. Luna menatap Juna yang masih berjalan perlahan di belakangnya. Ia kemudian menggandeng tangan Juna ingin memperkenalkan sang kakak pada Gio. "Mas Juna, kenalin ini Kak Gio, kakak kelas aku," Luna memperkenalkan. Gio tersenyum ,lalu membungkuk dan mengulurkan tangan. "Salam kenal Mas Jun saya Gio." Juna menjabat tangan Gio seperti biasa ia selalu bias bersikap biasa saja meski hati dan perasaannya diterpa badai cemburu. "Gue Juna, kok enggak masuk?' "Emang nunggu Luna kak." Gio menjawab dengan sopan. Sopan dan ramah itu kesan pertama yang di tangkap oleh Juna. Hanya saja jelas ia tak bisa banyak bicara untuk penilaian pertama. Kesan pertama belum tentu benar biasanya. "Masuk yuk Kak," ajak Luna. Luna kemudian membuka pagar dan berjalan masuk. Juna kembali ke mobil untuk memarkir mobilnya ke dalam. "Mobil gue taruh di luar aja kali ya?" tanya Gio pada Luna yang dijawab dengan anggukan oleh gadis itu. Keduanya kemudian berjalan masuk. Hari ini sang mami ada di rumah, sepertinya masih ngambek pada sang suami masalah Juna. Ia jadi malas untuk mengantarkan makan siang pada Yogi karena keduanya masih sama keras dengan keputusannya. Luna membuka pintu mencium aroma kue manis bahkan sebelum ia belum masuk ke dalam rumah. "Wangi banget Lun?" tanya Gio dijawab kekehan oleh Luna. "Mami lagi bikin kue kayanya Kak. Duduk dulu ya kak." kata Luna kemudian mengajak .y Gio berjalan masuk. "Mami, assalamualaikum. Ada temen aku Mi." Luna memanggil sang mami sambil melangkahkan kakinya ke dapur. "Waalaikumssalam Nak," sahut Reina dari dapur. Ia kemudian melihat anak sulungnya berdiri di sampingnya. "Mi, ada temenku Kakak kelasku dia juga temen aku di eskul jaman SMA dulu mami kenal deh." "Siapa?" tanya Reina kemudian berjalan ke depan bersama Luna. Keduanya melangkah ke ruang tamu di sana sudah ada Juna yang tengah mengobrol dengan Gio. Melihat Luna berjalan bersama Reina, Gio segera bangkit, ia berjalan menghampiri lalu mencium tangan Reina. "Apa kabar Tante?" tanya gio. "Ini--" Reina terdiam sejenak coba mengingat siap anak laki-laki di hadapannya kini. "Gio tante, yang dulu rambutnya pirang." kata Gio coba mengingatkan seraya mengacak rambutnya yang sekarang berwarna hitam. "Ah, iya Gio. Tante inget yang waktu dulu jaman sekolah pernah anter Luna pulang juga kan ya?" Reina mengingat dulu Gio dan beberapa teman eskul yang lain pernah mengantarkan Luna pulang karena sudah cukup malam. "iya tante. saya ke sini mau ajak Luna ke luar sebentar," Gio meminta izin. Reina melirik ke arah Juna yang tengah membaca majalah. Kemudian ia kembali menatap Luna dan Gio. "Boleh, asal jangan pulang lebih dari jam sepuluh ya." "Baik Tante," ucap Gio lagi. "Aku langsung jalan ya Mi?" Luna meminta ijin dijawab anggukan oleh Reina. Gadis itu segera mencium tangan sang mami dan Juna. Diikuti Gio yang berjalan di belakangnya. Setelah Gio dan Luna berjalan ke luar Reina kembali berjalan ke dapur. "Jun, temenin mami sini." Kata Reina sambil lalu. "Iya Mi." Sahut Juna seraya segera mengikuti sang mami berjalan ke dapur. Reina tengah membuatkan kopi untuknya dan sang anak sulung. Juna duduk di kursi seraya menatap sang mami. Rambut Reina kini telah banyak yang memutih. Sengaja ia biarkan menurutnya itu keren tak perlu di warnai. Rambutnya menjadi perak dengan sendirinya. Setelah selesai ia meletakkan kopi di meja, seraya mengacak rambut tebal Juna lalu duduk berhadapan dengan si sulung. "Mami enggak ke kantor?" Tanyanya. "Buat apa?" Tanya Reina seraya memainkan sendok kopinya. "Papi nunggu tadi," jawab Juna. "Aku pulang duluan malah hari ini. Karena emang tadi habis ada kerjaan di luar. Jadi sendiri papi di kantor." Reina tersenyum ke arah Juna. "Biarin aja, ini hari Jum'at tho? Dia harusnya bisa pulang lebih awal." "Mami masih marah karena rapat itu?" Juna bertanya meski ia sudah yakin sekali itu jawabannya. Reina menatap Juna. "Kamu anak mami. Mami ngerti sekali gimana kamu. Dan mami kecewa dengan papimu." Juna menggenggam tangan Reina. "Juna enggak marah kok Mi. Juna mengerti sekali, papi punya keinginan Leon yang bisa mewarisi Karuna. Juna tau, ini bukan karena papi enggak percaya Juna. Cuma sebagai laki-laki ada kebanggaan saat bisa memberikan itu ke anak laki-lakinya." "Kamu kan juga anaknya." Reina menekankan. Juna hela napas, lalu meletakan tangan sang ibu ke wajahnya. "Juna bener-bener ngerti Mi. Juna enggak masalah. Juna bersyukur karena mami dan papi mempermudah semua untuk Juna. Juna cuma enggak mau kehilangan kalian. Atau hal ini membuat mami dan papi bertengkar." Reina mengusap wajah Juna, "Kamu udah gede banget lho Mas Juna. Waktu cepet banget berlalu." Reina menatap Juna, tangan kecil yang dulu selalu ia genggam kini bahkan jadi lebih besar dari ukuran tangannya. Reina mendekatkan telapak tangannya ke telapak tangan Juna. "Lihat tangan kamu bahkan sekarang lebih besar dari tangan mami." "Mami membesarkan Juna dengan sangat sangat baik. Meski Juna bukan lahir dari rahim mami. Tapi, mami dan papi selalu tulus ke Juna. Makasih ya Mi." Ucap Juna bergetar ia menahan perasaannya sendiri. Reina meneteskan air mata. Lalu segera menghapusnya. "Makasih juga ya Juna. Dulu selalu temani mami, bantu mami hadapi hari-hari tersulit dalam hidup mami." Ucap Reina. "Jadi, mami jangan marah lagi ke papi ya? Juna cuma ingin tetap jadi bagian keluarga ini." Reina mengangguk, meski dalam hatinya ia masih menginginkan Juna yang memegang perusahaan. *** . .
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN