**12 itu Rolas**

1193 Kata
Malam hari seperti biasanya Reina dan Yogi sudah bersiap di kamar tidur mereka. Sang istri tengah duduk di tepian tempat tidur seraya mengancingkan piyama sang suami. Yogi menatap sang istri sambil kecupi kening sang istri sesekali. "Saya kira kamu masih marah," ucap Yogi kemudian berjalan dan rebah di tempat tidur di sisi lain Reina. Reina hela napas, seraya membenarkan posisi tubuhnya. "Aku enggak marah cuma tetap aja kalau inget itu jadi kesel sama kamu Mas." "Rein ..," Reina menatap Yogi. "Aku udah enggak akan bilang apa-apa semua terserah kamu karena Karuna milik kamu." "Milik kita," Yogi menekankan. "Aku cuma memegang saham tapi kamu nyawanya Karuna." "Saya enggak yakin Karuna masih berdiri dan semakin maju sampai saat ini. Kalau saat itu kamu enggak mati-matian berjuang Untuk Karuna. Nyawanya Karuna itu kamu." Reina kembali menatap yogi seolah mendapatkan jalan untuk memenangkan pendapatnya. "iya, saat itu aku memang berjuang bersama Juna. Kalau saat itu enggak ada Juna sebagai penyemangat hidupku entah apa yang terjadi. Juna bahkan nemenin aku jenguk kamu di penjara hampir setiap minggu. Ingat?" Yogi hela napas, masih sambil menatap sang istri. tentu saja ia tak lupa bagaimana waktu yang ia lalui bersama Juna dulu. Apalagi ia juga dengan baik masih mengingat bagaimana Juna kecil yang juga jadi penyemangat untuknya. Juna pernah jadi si kecil yang tidur di antara ia dan Reina. Si kecil yang muram yang telah tumbuh menjadi pria yang begitu luar biasa. Juna penyayang dan bertanggung jawab. Reina kembali menatap Yogi setelah membiarkan pria yang ia cintai itu berpikir sementara waktu. Harusnya Yogi percaya pada Juna karena ia adalah ayah Juna. Menurut reina, Juna telah kehilangan sosok ayah setelah Jimmy menikah yang kedua kalinya. Jimmy acuh dan Juna sejak itu menjadikan Yogi tumpuan hidupnya, menjadikan Yogi sosok yanbg ia kagumi lalu perlahan tumbuh serupa dengan Yogi. Dan Reina ingin ingatkan lagi bahwa Juna dan Yogi serupa meski keduanya tak memiliki darah yang sama. "Setelah Juna memimpin aku mau kita istirahat di semarang ya Mas? aku kangen ibu dan ingin nyekar ke makam bapak." Reina meminta. Yogi mengangguk tentu saja ia menyetujui ide Reina. "Kita jalan-jalan tanpa beban pekerjaan." Reina tersenyum ia tau ia akan menang. Dan memang selalu menang dalam banyak hal. "Hmm, biarin anak-anak kita udah besar dan bisa ditinggal." Yogi merangkul sang istri kemudian keduanya bersandar pada kepala tempat tidur. "Hmm, saya juga kadang ngerasa capek banget. Untung kamu mau ngurus saya." Reina terkekeh. "Aku ngerasa baru kemarin kamu nanya gini, apa kamu mau jadi istri kontrak saya?" "Siapa yang nanya gitu?" tanya Yogi. "Kamu lah siapa lagi." jawab Reina seraya mencolek hidung sang suami. "Mana ada saya tanya kayak gitu. Bos Yogi kan jatuh cinta pada pandangan pertama sama sekretarisnya yang semok." Yogi mengelak ia selalu mengelak jika Reina mencoba menceritakan kisah lama mereka. Bahkan Yogi menceritakan kisah palsu pada Leon yang buat Leon ingin jatuh cinta pada wanita yang memiliki sikap lembut dan perhatian seperti reina yang menurutnya ia temukan pada diri Reres. "Dih, bisa-bisanya mengelak. Dulu mana mau kamu sama--" Cup, Yogi mengecup bibir Reina. tak ingin sang istri mengatakan hal yang lalu yang tak ingin ia dengar. Sejujurnya, ada rasa malu dan menyesal karena dulu telah bersikap dingin, angkuh dan menyebalkan. "Tidur, saya ngantuk." Yogi lalu merebahkan tubuhnya ke tempat tidur. "Ngantuk apa malu Mas?" ledek Reina lalu terkekeh. Tentu saja ia sudah hapal betul dengan kelakuan sang suami. *** Pagi ini Reres sudah berbelanja ke pasar karena banyak bahan makanan yang sudah habis. Langkahnya terhenti saat melihat seseorang yang berdiri di depan pagar rumah keluarga Majendra. Siapa lagi kalau bukan Bagus sang kakak yang berdiri dan ia tau kalau Bagus saat ini tengah menunggunya. Saat itu Reres memutuskan akan kembali ke dalam rumah sayangnya terlambat, Bagus telah melihat sang adik. "Heh!" Teriakan Bagus buat Reres terhenti. Ia kembali menoleh dan melangkahkan kaki mendekat. Hanya saja Reres tak berani keluar dari pagar dan membiarkan ia dan sang kakak berdiri dengan pagar sebagai sekat bagi keduanya. "Ke luar lo,' kesal Bagus meminta sang adik ke luar dari dalam rumah dan menghampirinya. reres menggeleng. "Enggak, Reres takut Mas jambak atau pukul Reres seperti tempo hari." "Kalau gitu sini uang lo." Bagus meminta seolah tanpa beban tak memikirkan bagaimana hidup sulit yang harus dilalui sang adik untuk memenuhi kehidupannya sendiri. "Mas aku tuh belum gajian, belum genap dua minggu dari terakhir kali Mas minta uang ke aku." Bagus menarik pakaian reres buat gadis itu memekik ketakutan. "Mas, lepasin," rengek Reres. "Lepasin Gus!" Juna yang baru saja datang segera turun dari mobilnya setelah melihat Bagus yang kini perlahan melepaskan cengkraman tangannya. Reres segera membuka pagar dan menghampiri Juna yang sudah berdiri seraya berkacak pinggang. Juna jelas kesal dengan pria yang juga menjadi teman bermainnya dulu saat mereka masih kecil. Kali ini mereka bukan anak kecil lagi dan seharusnya Bagus bisa lebih bertanggung jawab pada sang adik. Apalagi mereka kini sudah tak lagi memiliki kedua orang tua. Bukankah sebaiknya mereka bisa saling menjaga satu sama lain? "Jun masuk duluan," kata Reres coba buat Juna beranjak dari sana. "Gue cuma sapa reres," elak Bagus. "Gue kenal lo. lo narik Reres karena dia enggak kasih lo duit? makannya jangan mabok terus, judu terus. Betah lo masuk penjara? Enggak kesian sama almarhum dan almarhumah?" Bagus berdecak kesal lalu memalingkan wajahnya, setelahnya memilih meninggalkan tempat itu dengan setengah berlari. Ia rasanya malas sekali untuk meladeni Juna. Reres menahan Juna dengan memegangi tangan sahabatnya itu. "Udah Jun," pinta Reres. Juna menatap reres. "Mau ke pasar? Gue anterin siapa tau si Bagus masih ngintai. Masuk mobil sana." Reres segera berjalan ke mobil Juna ia tak mau cari gara-gara dengan melawan sahabatnya itu. Jelas akan sia-sia. Setelah sang sahabat masuk ke dalam mobil, Juna berjalan masuk dengan wajah yang terlihat benar-benar marah. "Muka lo jelek ya Juna kalau kesel gitu," ejek reres coba buka suara. Juna menatap Reres lalu menunjukkan senyum lebar yang menunjukkan susunan giginya dan sukses buat Reres terkekeh. "Sumpah makian jelek lo Juna." "Kata mami gue ganteng kok," sahut Juna ia juga tak ingin membuat Reres terlalu sedih karena kelakuan sang kakak. "BTW thanks," ucap Reres. Juna mengacak rambut Rers, "No need thank you gendut." Reres menepis tangan Juna. "Rambut gue berantakan ih," kesalnya kemudian. "Gue tuh niat mau minta sarapan di rumah mami. Mami bilang kemarin lo bikin nasi goreng teri enak banget. Eh malah nyarapin orang pagi-pagi gue. Kalau ada kakak lo, lo tuh ya teriak gitu." "Gue takut pada bangun." Juna mencubit pipi Reres, dengan gemas, "Ya kan emang buat nolongin lo." "Mas Bagus enggak mungkin ngapa-ngapain gue kok Juna." Juna hela napas kesal. "Dulu sejak dia mulai mabuk-mabukan dia pernah memukul lo Res, inget?" Juna menatap sang sahabat yang hanya terdiam. "Leon pasti nolongin lo, cieee." Reres memukul bahu jua beberapa kali. "Apaan sih lo ih." "Lo kenapa enggak terima aja sih Leon?'' tanya Juna sambil mengusap-usap bahunya. "Gue itu udah punya pacar. Dan gue udah anggap Leon itu kaya adik gue jUn,' jawab reres seraya melirik Juna yang menggerak-gerakkan mulut seolah-olah mengikuti ucapannya. Reres lagi-lagi memukul bahu Juna. "Sakit ya gendut ih." "Lagian gue udah punya pacar." Juna melirik Reres. "Gue dan yang lain belum pernah ketemu." "Kalau dia selesai kuliah dan balik ke Jakarta gue bakal kenalin." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN