“Hmm, tawaran yang sangat menarik. Baiklah, kutinggalkan adikmu dan aku terima lamaranmu,” jawab Rama lalu mengulurkan tangannya dengan senyuman penuh keyakinan.
“Bagus, terima kasih, Rama. Aku harap kamu memegang janjimu menjauh dari adikku.” Moza menyambut dengan mata berbinar menatap Rama yang mulai menatapnya nakal.
“Untuk surat kontrak dan perjanjian hitam di atas putih akan kita tanda tangani besok. Sekarang mari kita bersenang-senang saja,” ajak Rama sambil menarik tangan Moza ke dalam pelukannya.
“Aahh... “ Moza terkejut. Rama tiba-tiba bersikap agresif lagi. Moza lupa buaya tetaplah buaya. p****************g mana mungkin bisa tahan melihat wanita sedang berpakaian seksi didiamkan begitu saja didekatnya. “Bersenang-senang? Maaf, aku harus pulang, Rama. Aku tidak bisa pulang terlalu malam. Ibuku akan mencariku,” tolak Moza gugup.
Rama menyeringai. “Apa yang kau pikirkan, Moz? Kita harus merayakan kesepakatan kita ini dengan bersenang-senang malam ini. Ayo, kita habiskan malam ini dengan indah berdua saja. Bilang saja pada Ibumu kamu tidur di rumah teman. Atau besok aku antar sekaligus meminangmu sekalian.”
Jantung Moza berdebar makin kencang. Dia tahu apa yang dimaksud Rama. Pria yang sekarang memeluknya erat itu sedang berusaha memaksakan keinginannya. Sedangkan Moza terus meronta menggeliat ingin lepas dari pelukan itu.
“Kamu pikir Ibumu dan Namira akan setuju begitu saja dengan pernikahan kita? Jangan naif, Moza. Mereka akan menentang dengan keras.”
“Ya, aku tahu. Tapi jika aku bersikeras, aku yakin lama-lama mereka akan setuju. Atau jika mereka tetap tidak setuju, aku akan melarikan diri dan menikah denganmu. Gampang, ‘kan,” jawab Moza sangat yakin.
“Bagaimana jika mereka tetap menghalangimu dengan segala cara?” tanya Rama dengan sorot mata serius tetap memeluk pinggang gadis itu erat. “Aku punya cara yang membuat mereka tak akan sanggup mengahalangi kita,” ucap Rama.
Moza menyipitkan kedua matanya. “Apa itu? Cepat katakan!”
“Apa kau masih belum juga mengerti?”
Moza menggelengkan kepala pura-pura tidak mengerti.
“Kamu tau, Moz. Jawabanmu makin membuatku, gemas,” ungkap Rama mencubit salah satu pipi Moza.
“Sial, ngapain juga aku jawab demikian. Dia malah makin berhasrat begitu,” ucap Moza merutuki diri dalam hati.
“Berikan dirimu padaku, Moz. Tidurlah denganku malam ini, Moza. Dan jangan pulang sampai besok pagi. Maka siapa pun kecuali Tuhan tidak ada yang bisa menghalangi pernikahan kita,” ucap Rama dengan sorot mata penuh keyakinan.
“Apa? Tidak bisa! Jangan mimpi kamu bisa tidur denganku malam ini. Dengar, ya! Aku tidak akan tidur denganmu sampai kita menikah,” sahut Moza ketus dan kesal. “Dasar playboy. Otaknya selalu dipenuhi dengan ide ngeres,” gerutu Moza dalam hati.
“Kenapa kamu lihat aku begitu? Bukankah tadi kamu merayuku habis-habisan di pesta itu? Bara dalam diriku masih belum padam, jadi kamu harus bertanggungjawab,” ucap Rama makin mempererat pelukannya dengan Moza. Lalu pelan-pelan salah satu tangannya menyentuh pipi Moza. Sementara bola matanya menatapnya membara.
Moza bergetar. Lama-lama dia ingin menyerah juga. Pertahanannya hampir runtuh. Rasanya dia ingin bertekuk lutut dan menyerahkan dirinya pada Rama. Sungguh tiada alasan yang bisa dia gunakan untuk menolak pria setampan Rama.
“Tolong jangan begini, Rama. Aku mohon sabarlah sampai kita benar-benar menikah.” Moza menyatukan kedua tangan dengan raut muka memelas.
“Tidak bisa. Itu lama sekali. Aku tidak mau menunggu selama itu,” suara Rama semakin merendah di dekat telinga Moza. Hingga membuat gadis itu merinding. Karena selain suara dia bisa merasakan hembusan napas Rama. Dan wangi parfumnya sangat menggoda Moza.
“Ya, Tuhan... Tolong kuatkan imanku. Tolong selamatkan hamba dari rayuan maut buaya darat ini,” doa Moza dalam hati. “Harus bisa, Rama. Karena aku tidak menganut hubungan sebelum sah menikah,” tegas Moza.
“Jangan takut, Moza. Aku akan bertanggung jawab. Sebentar lagi kita akan menikah,” bujuk Rama tak mau menyerah.
Dengan sekuat tenaga tiba-tiba Moza mendorong Rama. “Oh ya. Apa jaminannya? Apa jaminannya setelah kamu meniduriku besok kamu akan benar-benar menikahiku? Heh... Aku bukan gadis bodoh Rama. Apa yang kita bicarakan tadi baru sebatas mulut saja. Andai kamu bilang akan berikan seluruh sahammu di Alrash Corp padaku, aku tidak akan percaya dan tidak sudi menuruti kemauanmu. Aku bukan gadis boddoh. Tidak ada bukti jaminan apa-apa yang bisa menguatkan jika aku telah berikan tubuhku padamu, kamu pasti akan menikahiku, kan? Karena kita takkan pernah tahu yang terjadi dengan hari esok.”
Rama ternganga tak percaya mendengar ucapan dan sikap berani Moza barusan. Sampai beberapa detik kemudian dia baru menyadari Moza ternyata telah berjalan menjauhinya. “Hei, mau kemana kamu?”
“Ke kamar mandi. Mau cari sabun untuk mencuci otakmu yang kotor?” sahut Moza ketus.
“Apa?” tanya Rama lalu menyeringai kesal mendengar jawaban itu. “Bagus juga jawabannya,” ucap Rama terus menatap kepergian Moza.
Setelah beberapa saat dia berdiri, Rama menjatuhkan dirinya ke sofa. Kemudian taruh kepalanya di atas sandaran sofa dengan memandang langit-langit. “Di dunia ini hanya ada dua wanita yang tidak mempercayaiku, pertama Ellea dan yang kedua kamu Moza. Kau pun tidak bisa percaya padaku.”
***
Begitu masuk ke dalam kamar mandi super mewah dan luas seluas kamarnya, Moza langsung mengunci pintunya. Lalu dia menyandarkan tubuhnya ke pintu. Moza benar-benar merasa lega sekarang. Akhirnya dia bisa menjauh dari Rama. Kamar mandi dirasa jauh lebih aman dibandingkan di kamar sana bersama Rama.
“Wow... Bagusnya,” ucap Moza begitu memperhatikan kamar mandi itu. Bibirnya tak henti-hentinya berdecak kagum. Sangat luas mewah elegan dan sangat modern. Moza berjalan ke sana kemari meraba dan mencoba semua fasilitas yang ada. Mulai dari shower, bathtub, toilet, cermin, dinding yang terbuat dari marmer sangat indah.
Moza naik ke atas bathup. “Rasanya lebih baik malam ini aku akan tidur di sini saja.” Moza berbaring dengan kedua kaki di taruh di atas ujung bathtub. Berlama-lama di situ seraya memejamkan kedua matanya. Sekedar menghilangkan rasa lelah yang sejak beberapa hari ini tak dirasanya. Setidaknya dia merasa sedikit lega. Satu misinya sembilan puluh sembilan persen hampir berhasil. Rama bersedia menjauhi Namira. Meskipun dia harus rela mengorbankan diri menikah dengan Rama. Yang penting bukan Namira yang jatuh dan jadi korban cinta Rama berikutnya. Tidak mengapa dia nanti akan dicaci merebut kekasih adiknya sendiri, tapi yang penting masa depan adiknya tidak hancur.
***
Sudah beberapa jam Moza di dalam kamar mandi. Rama jadi penasaran. Kira-kira apa yang dilakukan gadis itu di kamarnya. Dia yang sejak tadi menunggu gadis itu dengan gelisah. Tak terasa telah menghabiskan beberapa gelas minuman terlarang itu. Moza ternyata gadis berbeda. Gadis itu sengaja lari ke kamar mandi untuk menyelamatkan diri darinya, pikir Rama. Sangat menarik. Rama semakin penasaran ingin mengetahui latar belakang gadis itu lebih jauh. Di zaman sekarang ada gadis yang peduli dengan adiknya sebesar itu sangat langka menurut Rama.
Rama meletakkan gelas di atas meja. Dia menatap ke arah pintu kamar mandi berwarna putih itu. Kemudian dia bangkit melangkah menuju kamar mandi. Sampai di depan pintu dia berhenti. Tak didengarnya ada suara aktivitas di dalam sana.
“Moz... Moza.... Moz... Moza.... “ panggil Rama sambil mengetuk pintu. “Aneh, kenapa dia tak menjawabku? Pura-pura tak dengar atau ketiduran,” gumam Rama sambil berkacak pinggang. Tapi, dia masih penasaran. Rama ingin mencobanya sekali lagi. Nanti jika tidak ada jawaban baru dia kan ambil tindakan. Diketuk-ketuknya lagi pintu itu lebih keras sambil memanggil-manggil Moza. “Moz... Moza! Moz... Moza!” Masih tak ada jawaban. Rama terus mencobanya berkali-kali.
Sementara itu, Moza ternyata tertidur di dalam bathtub. Mendengar panggilan heboh Rama yang menggedor-gedor pintu, membuatnya terkejut dan panik sebelum menyadari sesuatu. “Oh, tidak. Ada apa ini? Iya... Iya... Siapa? Kenapa?”
Karena panik dan bingung tak sengaja Moza berpegangan pada kran untuk bangun dan turun dari bak mandi berbentuk bulat besar mewah itu.. Namun karena salah, dia justru menekannya ke samping. Keluarlah air yang bersuhu dari shower atas dan membasahi dirinya. Moza terkejut dan menjerit kaget. “Ah, tidak... Aduh, bagaimana ini?”
“Moza! Kamu kenapa? Kamu kenapa, Moz? Buka pintunya,” suara Rama terdengar makin panik dan masih disertai gedoran pintu berkali-kali.
Dalam keadaan bingung Moza bangun. Sementara kedua matanya terhalang rembesan air sehingga pandangannya kurang jelas. Moza meraba kran itu lagi untuk mematikannya. Namun dia malah terpeleset dan kepalanya terbentur pinggiran bathtub. “Aaaa..... Aaaaa.... Tolong.” Itu suara yang sempat diucapkan Moza sebelum gadis itu jatuh dan pingsan. Perlahan tubuhnya tenggelam ke bak mandi yang hampir penuh terisi air itu.
“Moza, kamu kenapa?” teriak Rama begitu mendengar jeritan terakhir Moza. Setelah tidak terdengar suaranya lagi. Perasaan Rama makin cemas. Kini dia mencoba membuka pintu dengan sekuat tenaga. Rama mendobraknya. Sudah tak sempat lagi meminta bantuan dia takut gadis yang baru dikenalnya itu dalam bahaya di dalam sana.
Setelah mencoba beberapa kali Rama akhirnya bisa membuka paksa pintu itu. Lalu dengan cepat dia masuk ke dalam.
“Ya, ampun, Moza. Apa yang terjadi denganmu?” Rama segera meraih tubuh Moza yang tenggelam di dalam bathtub dengan air berwarna agak kemerahan karena bercampur darah.
Rama membopong tubuh diam Moza dan menidurkannya di lantai. Kemudian memberikan pertolongan pertama pada korban tenggelam. Rama mendekatkan pipinya ke hidung Moza. Dia tak merasakan hembusan napasnya. Lalu dia periksa nadinya, Rama juga tidak merasakan detak nadi, Moza. Tidak ada pilihan lain. Rama segera melakukan CPR dengan menekan d**a tengah Moza dengan kedua tangannya dengan beberapa kali. Kebetulan Rama sudah mengetahui caranya secara detail dan pernah dia gunakan untuk menolong temannya yang tenggelam. Setelah mencobanya beberapa kali, akhirnya Moza memuntahkan air dari dalam mulutnya. Namun, setelah itu kepala Moza terkulai tak berdaya lagi.
“Aduh, dia pingsan lagi.” Rama segera meraih kepala dan badan Moza lagi mengangkat keluar kamar mandi.
Setelah membaringkannya di ranjang, Rama segera menelpon dokter pribadinya dan pak Danu sang asisten pribadinya untuk segera ke hotel ini.
“Tidak-tidak. Mereka akan lama untuk sampai kemari. Bagaimana kalau keburu terjadi sesuatu dengan Moza?” tanyanya pada diri sendiri. Kemudian dia mengurungkannya. “Lebih baik aku bawa dia ke rumah sakit saja,” ucapnya gelisah.
Rama Lalu memanggil layanan kamar ini. “Tolong, datanglah ke kamarku sekarang juga dan bawakan kursi roda kesini. Temanku sedang sakit.”
“Baik, Tuan. Saya akan segera datang.”
Setelah menutup telepon kabel di dekat ranjangnya itu, Rama segera mendekati Moza lagi. Saat baru mendekat, kedua mata Moza terbuka. Rama merasa sangat lega.
“Moza, kamu sudah sadar. Syukurlah.” Tanpa sadar dia telah memeluk tubuh Moza.
Moza terkejut. Tapi dia tak bisa berbuat apa-apa dan membiarkan Rama memeluknya. Lalu berusaha mengumpulkan ingatannya kembali. “Apa yang terjadi denganku tadi?”
“Itulah yang ingin aku tanyakan padamu. Apa yang terjadi denganmu tadi di dalam kamar mandi sana?” tanya Rama melepaskan pelukannya.
Perlahan-lahan ingatan Moza mulai kembali. “Aku--- Aku terpeleset di bathtub. Kepalaku terbentur. Setelah itu aku tidak ingat apa-apa lagi.”
Tiba-tiba bel berbunyi. Layanan kamar datang, Rama segera berjalan ke pintu untuk membukanya.
“Selamat malam, Tuan. Ini kursi yang Anda butuhkan. Apa ada yang bisa saya bantu? Bagaimana keadaan teman Anda yang sakit?”
“Oh, dia sudah lebih baik sekarang. Masuklah. Aku akan beritahu dia untuk bersiap.”
Karyawan hotel itu dan menunggu di ruang depan kamar yang dipesan oleh Rama.
“Moza, kita akan ke rumah sakit. Kamu harus diperiksa dokter dengan teliti. Aku akan menggendongmu sekarang," ucap Rama begitu sampai di ruang tempat tidur bermaksud menggendong Moza.
Baru Rama akan membungkuk Moza sudah menolaknya.
“Tidak, perlu. Aku tidak apa-apa.”
“Tapi, Moz, pelipismu berdarah tadi. Itu harus diobati.”
“Ini hanya lecet. Dikasih antiseptik dan plaster sudah cukup.”
Rama diam sejenak. Lalu menarik napas dalam-dalam. “Sungguh, kamu tidak merasakan apa pun?”
“Iya, sungguh.”
Rama lalu bergegas ke tempat karyawan tadi untuk membatalkan kursi roda yang dipesannya tadi.
Moza berusaha bangun. Dia pegangi kepalanya yang terasa pusing.
“Apa terasa pusing?” tanya Rama cemas sedikit mengagetkan Moza karena muncul tidak disadarinya.
“Hanya sedikit. Sebentar lagi akan baikan.”
Rama berjalan ke sebuah lemari dan mengambil satu stel piyama. “Pakailah, baju kamu basah, 'kan. Kamu bisa masuk angin.”
Moza menerima baju itu. Tapi baru dia beringsut akan turun ranjang.
“Biar kugendong kamu supaya lebih cepat,” ucap Rama dengan cepat.
“Aww, Rama," seru Moza spontan kaget. "Tidak perlu. Turunkan aku. Aku bisa jalan ke kamar mandi sendiri.”
“Diamlah, jangan ribut. Turuti saja aku. Semuanya akan lebih mudah. Kita juga tidak akan jatuh ke lantai,” ucap Rama tanpa terengah sedikit pun. Seakan tubuh Moza yang dia angkat seringan kapas ditangannya.
“Pasti kau suka memaksakan kehendakmu pada siapa pun,” ucap Moza kesal.
“Tentu saja. Aku biasa lakukan itu pada semua karyawanku.”
“Aku yakin mereka banyak yang berdoa buruk untukmu.”
“Aku tidak tahu. Aku memang pemaksa. Tapi untuk kebaikan mereka atau kebaikan besama.”
Rama menurunkan Moza dengan hati-hati. “Kau bisa berdiri sendiri, ‘kan?”
“Ya, bisa,” jawab Moza sedikit terhuyung.
Setelah memastikan Moza aman, Rama pun meninggalkannya keluar. Sebelum menutup pintu ia berpesan akan menggendongnya lagi.
***
“Aduh, sakit,” keluh Moza ketika Rama memberikan obat pada lukanya yang terasa perih. Saat ini keduanya hanya berjarak hanya berberapa sentimeter saja. Moza bisa merasakan hembusan napas Rama. Jantungnya tiba-tiba berdetak kencang kembali saat ia memperhatikan pria itu. “Ya, Tuhan... Andai dia bukan p****************g. Aku pasti memohon supaya Engkau jadikan dia jodohku,” bisiknya dalam hati.
“Nanti kamu tidur di sini, kan?” tanya Rama lagi usai menempelkan plester di pelipis Moza dengan suara lembut. Tatapannya beradu dengan tatapan Moza yang tiba-tiba jadi gugup dan sedikit canggung. Pelan-pelan Rama meraih tangan Moza dan menciumnya dengan lembut seraya terus menatapnya. Menunggu jawaban gadis itu.