Seorang pria yang tengah duduk sendirian di sebuah kafe, terganggu tatkala mendapat panggilan suara berkali-kali dari nomor yang sama. Nomor pengelola villanya di kota lain.
“Mengganggu saja,” kesal pria itu, tapi tetap mengangkatnya.
Terjadi basa-basi singkat, sebelum akhirnya orang di seberang sana menghela napas dan mengabarkan berita burùk. “Kami mohon maaf, Pak Respati. REST’s villa di kota ini sepi penyewa karena katanya berhantu.”
“Berita macam apa itu? Takhayul! Perbaiki lagi promosi kalian dan jangan hiraukan soal hantu. Tidak mungkin villa sebagus itu berhantu. Letaknya saja strategis, harganya sesuai dengan fasilitas yang disuguhkan, dekat dengan pantai pula! Pasti banyak yang tergiur menyewanya.”
Respati Ararya tidak percaya dengan hantu dan sebagainya. Bagi pria yang kerap disapa Respati itu, di dunia ini yang perlu ditakuti hanya Tuhan dan dulu..almarhum opanya.
Maka dari itu, darahnya mendidih seketika seusai mendengar berita takhayul yang disampaikan orang kepercayaannya barusan.
“Tapi REST’s Villa sudah tiga bulan ini sepi penyewa, Pak Respati..”
Respati mengurut keningnya. Perhatiannya pada laptop yang masih menyala di hadapannya, sudah beralih. Pikiran Respati berkelana, menduga bahwa villanya di kota lain tengah direcoki oleh pesaingnya dengan menyebarkan berita hantu.
“Baiklah. Sepertinya saya harus turun tangan sendiri,” putus Respati. Dengan tatapan tajam lurus ke depan, pria itu juga menyatakan, “Tunggu saja. Saya pastikan, hantu-hantu itu akan bertekuk lutut pada saya! Mereka yang akan takut dengan saya.”
Panggilan pun Respati akhiri sepihak. Kepalanya mendadak penuh dengan berita murahan yang membawa-bawa makhluk halus. Apa-apaan ini? 2023 orang-orang masih percaya akan adanya hantu? Mereka tidak tahu saja bahwa Respati jauh lebih menyeramkan daripada hantu!
Sementara di seberang kota, pria yang baru saja menghubungi Respati menatap ponselnya dengan tatapan ngeri.
Bukan ponsel itu yang mengerikan. Melainkan, seseorang yang baru saja dihubungi! Sang bos. Pemilik villa di beberapa kota besar yang di dalamnya kaya akan tempat wisata. Malang, Yogyakarta, Bandung, Bali, Jakarta, Batam.
Kini, tempat yang sedang bermasalah ada di Yogyakarta. Lebih tepatnya, villa yang dekat Pantai Parangtritis.
“Pak Respati mau ke sini?” tanya rekannya.
“Iya lah! Beliau ngamuk!”
“Habislah hantu-hantu itu di tangan Pak Respati.”
Begitulah Respati dikenal oleh bawahannya. Galak, tidak takut akan apapun, dan ambisius. Villa-villanya selalu ramai penyewa, strategi marketingnya bagus dan terpercaya, sesuai dengan ulasan memuaskan para penyewa. Maka ketika ada satu villa yang bermasalah, Respati langsung bertindak menyelesaikan masalah tersebut.
Meski harus melawan hantu dan anak-anaknya, Respati sanggup!
Sebenarnya, Yogyakarta merupakan kota yang sangat ingin Respati hindari. Dimana disana, empat tahun lalu Respati hancur karena sebuah pengkhianatan. Meski Respati telah membalas dendam pada seseorang yang pantas mendapatkannya, bukan berarti hati Respati lega sepenuhnya.
Nyatanya, rasa sakit itu tetap ada. Sialnya lagi, sejak saat itu Respati selalu memimpikan wanita yang ditidurinya secara paksa atas nama ‘balas dendam’.
Dia selalu hadir di malam-malam Respati. Semakin parah semenjak Respati kembali ke Indonesia setelah menemani hari-hari terakhir opanya di Amerika.
Tidak ada yang salah dengan Kota Gudeg itu, Respati menyukai berbagai tempat wisata yang disuguhkan kota tersebut dan lidahnya pun cocok dengan makanan di sana.
Hanya saja, terdapat masa lalu Respati yang menyakitkan. Pun, adiknya yang tidak pernah akur dengannya memutuskan tinggal di sana dan meneruskan bisnis rumah makan mendiang orang tua mereka.
Raiden Alsaki.
Pria yang sangat menyebalkan di mata Respati.
Mungkin, selisih umur satu tahun membuat keduanya tidak ada yang mau mengalah, masih sama-sama membesarkan ego masing-masing. Ditambah, tiada lagi penengah diantara keduanya.
Bisnis rumah makan Raiden semakin jaya. Hal itu diketahui Respati secara diam-diam karena meski tidak pernah akur dengan Raiden, Respati tetap berusaha mengawasi adiknya itu dari kejauhan. Bilamana adiknya kesulitan, Respati bisa langsung membantunya. Karena dua bisnis peninggalan orang tua mereka harus diteruskan, jangan sampai salah satunya mati total.
Respati masih mengingat betul pesan terakhir sang opa. Untuk menjaga adiknya sekaligus meneruskan bisnis yang ada.
Sayangnya, kondisi bisnis keduanya berbanding terbalik. Respati tidak bisa menetap lama di suatu kota karena harus berpindah-pindah dari kota A ke kota B, untuk mengurusi masalah villa-villanya. Mulai dari masalah yang besar sampai masalah takhayul barusan. Sama seperti bisnis rumah makan yang kini dimiliki Raiden, bisnis villa Respati ini juga peninggalan orang tua mereka.
Andai kakak-beradik itu akur, pasti rumah makan dan villa tersebut bisa bekerja sama dan meraup banyak keuntungan dari para wisatawan. Apalagi, bisnis rumah makan Raiden akan buka cabang baru di beberapa kota yang sama dengan villa-villa Respati berada.
Memikirkan peluang besar itu, sore ini Respati terpaksa langsung meluncur ke rumah makan adiknya setelah mendarat dengan selamat di Yogyakarta International Airport.
Setibanya di sana, rumah makan milik sang adik masih ramai pembeli. Padahal, hari mulai petang. Respati dengan menyeret kopernya, memutuskan duduk di salah satu kursi meja makan bernomor sebelas. Kehadirannya itu langsung mendapat perhatian dari seorang pelayan rumah makan.
Respati dihampiri oleh pria muda berpakaian seragam rumah makan ini yang dengan ramahnya menyapa dan langsung menyodorkan buku menu.
Sayangnya, buku menu itu langsung Respati abaikan. To the point, Respati mengutarakan maksud kedatangannya. “Saya belum ingin pesan. Tapi, bisa kamu panggilkan Raiden ke sini sekarang juga?”
“P–pak Raiden?” Pelayan pria itu tampak gugup. Menyadari bahwa yang sedang dilayanínya ini bukan orang sembarangan karena mengenal nama pemilik rumah makan ini. Dengan santun, pelayan pria bername tag BAGUS itu bertanya, “Mohon maaf sebelumnya, apa Bapak sudah membuat janji temu dengan Pak Raiden?”
“Apa saya memerlukan janji temu untuk menemui ADIK KANDUNG saya sendiri?” tanya balik Respati dengan menyunggingkan senyum miring, mengerikan, membuat Bagus seketika berkeringat dingin.
“Katakan padanya bahwa kakak kesayangannya mampir untuk makan bersama. Tidak perlu saya beritahukan nama saya ‘kan? Saya rasa, bosmu itu tidak lupa dengan kakaknya ini,” lanjut Respati seraya melipat kedua tangannya di depan.
Pria itu benar-benar tidak sabar ingin bertemu dengan adik kandungnya. Terhitung, sudah setengah tahun ini tidak berjumpa dengan keluarga satu-satunya yang ia miliki itu.
“Siapa lagi memang saudara sekandungnya selain saya,” celetuk Respati mengingat masa kecil indahnya bersama Raiden.
Saat dimana keduanya masih akur. Serta, masih ada kedua orang tua yang selalu menjaga dan menyayangi mereka sepenuh hati.
“B–baik, Pak. Mohon maaf atas ketidaktahuan saya. Saya termasuk pelayan baru di sini,” jelas Bagus meminta maaf atas ketidaktahuannya. “Mohon ditunggu, saya akan coba sampaikan pada Pak Raiden.” Bagus pun berlalu untuk menemui bosnya, menyampaikan bahwa bosnya kedatangan tamu agung petang ini! Kakak kandung tersayangnya.
Saking sayangnya, Raiden tidak pernah memperkenalkan sang kakak kandung pada karyawan-karyawan yang bekerja rumah makan miliknya ini. Hmm, berat-berat..
“Kenapa balik lagi, Gus? Orang yang baru datang itu bikin masalah? Mukamu pucat banget. Minum dulu, gih..”
Seorang wanita berpakaian seragam yang sama dengan Bagus, begitu baik menyodorkan segelas air putih. Bagus menerimanya dan langsung meneguknya hingga menyisakan sedikit.
Bagus menggeleng dan menjelaskan situasi yang baru saja dialaminya. “Enggak kok, Nir. Orang itu enggak bikin masalah. Justru aku yang hampir kena masalah!”
Kemudian, datang lagi seorang wanita yang juga berpakaian seragam pelayan. Ia menegur, “Kalian ngobrolin apa?” Sekaligus memberitahu keduanya yang tampak asyik mengobrol, “Ayo bersih-bersih meja. Itu, ada keluarga yang baru selesai makan. Di meja delapan belas.” Ada pekerjaan yang menanti dikerjakan
“Eh, tunggu May!”
Langkahnya yang hendak mengerjakan pekerjaan, dihentikan Bagus.
“Meja delapan belas biar dibersihin Nirina,” kata Bagus tanpa persetujuan yang bersangkutan, pelayan bername tag NIRINA.
Tentu saja hal itu membuat Nirina protes, “Loh kok aku!?”
“Iya, soalnya aku mau nemuin Pak Raiden! Beliau masih ada ‘kan, di ruangannya? Kakak kandungnya datang. Kok Pak Raiden enggak pernah cerita kalau punya kakak kandung? Haduhh..hampir aja aku kena masalah! Mana kakaknya Pak Raiden kelihatan galak banget.”
Mendapati rekannya begitu panik, Amaya pun langsung mengedarkan pandangan ke segala penjuru lantai satu rumah makan SANJUNG RASA ini. Sebuah rumah makan besar, bernuansa tradisional jawa, yang menyajikan menu khas daerah-daerah di negara kita tercinta, Indonesia.
Kebetulan, Amaya menjadi salah satu pelayan baru di sini. Ia baru bekerja sekitar satu mingguan ini..
“Yang mana sih, orangnya?”
Amaya penasaran dengan seseorang yang diceritakan Bagus dengan panik. Yang katanya, kakak kandung bos mereka, Pak Raiden.
“Itu! Yang duduk di meja sebelas, May. Nah, tugasmu kasih minum buat kakaknya Pak Raiden. Oke? Aku ke atas dulu.”
Seusai menunjuk meja tempat seorang pria berjas duduk manis membelakangi mereka bertiga, Bagus bergegas ke lantai dua. Lebih tepatnya, ke ruangan Raiden. Menyampaikan kabar baik yang diterimanya.
“Loh, Gus!? Kok jadi aku, sih?”
“Iya, May. Kamu aja. Permisi, aku mau bersih-bersih meja delapan belas.”
Nirina juga kabur. Menyisakan Amaya yang langsung mengembuskan napas kesal. “Giliran yang enggak enak aja, dikasih sama aku. Dasar kalian berdua! Kompak banget nyiksa aku,” dumel Amaya, tapi tetap melakukan tugasnya. Membuatkan minuman yang pas diminum petang-petang begini.
Pilihan Amaya pun jatuh pada teh manis hangat! Cocok ‘kan?
Berusaha berpikir positif, Amaya pun menghampiri meja sebelas sambil membawa nampan berisi minuman buatannya.
Setibanya di sana, Amaya langsung menyajikan minuman tersebut di atas meja tanpa melihat orang yang tampaknya berbahaya itu. Bagus saja sampai pucat!
“Permisi, Pak. Silahkan diminum sembari menunggu Pak Raiden. Teh hangat manis yang cocok dengan..s–suasana p–petang.”
Suara Amaya terbata-bata setelah penasaran dan melirik pria yang duduk menatap pergerakannya itu.
Seketika, jantung Amaya berdetak kencang. Ia tidak percaya dengan penglihatannya.
‘DIA!? A–aku pasti salah orang! Enggak mungkin dia..enggak mungkin!’
Dari lirikan, kemudian Amaya menatap pria itu secara terang-terangan.
Betapa terkejutnya Amaya saat itu. Takdir bùruknya empat tahun lalu, kembali! Dipertemukan dengannya lagi petang ini..
‘Tidak salah lagi. Dia..pria berengsek itu!’
“Saya tidak menyangka kamu sudi kembali menginjakkan kaki di kota ini. Hebatnya, kamu memberi saya kejutan dengan bekerja sebagai pelayan di sini. Wow! Haruskah saya mengucapkan ‘Selamat Datang’ untukmu, Amaya? Masih ingat malam indah yang pernah kita lalui? Berminat mengulang kembali, mungkin?”
DEG!
Ternyata pria itu masih mengingat jelas nama Amaya. Padahal, mereka hanya bertemu malam itu dan berakhir..ah sudahlah.
Intinya, segala kesialan Amaya berawal darinya!
‘Kamu enggak boleh kalah, Amaya! Jangan memperlihatkan sisi lemahmu! Bajíngan ini harus tau kalau kamu enggak selemah empat tahun yang lalu,’ peringat Amaya pada dirinya sendiri.
Menyembunyikan kegugupan dan ketakutannya, Amaya berusaha memperdengarkan kekehan kecilnya seolah sedang meremehkan pria menyeramkan ini.
“Wah, tawaran yang menarik. Tapi maaf, saya terlalu sibuk, Pak Respati. Sangat disayangkan, ya? Orang seperti Bapak ternyata diberi umur yang panjang. Saya kira, Bapak sudah tutup usia dari empat tahun yang lalu.”
Jangan tanya darimana keberanian Amaya berasal? Semua mengalir begitu saja, bersama amarah yang Amaya kemas rapi dalam candaan kuráng ajar.
Respati sempat terkejut, tapi tetap mampu membalas ucapan Amaya dengan sangat baik. “Kamu mengharap saya tutup usia? Wahh..empat tahun tidak bertemu, ternyata kamu semakin lucu. Menggemaskan.”
Itu bukan pujian!
Amaya tahu betul otak mesùm pria berengsek yang dulu merenggut mahkota berharganya. Empat tahun lalu, pria ini membuat Amaya berbadan dua. Tapi sayangnya, nasib malang menimpa calon anak mereka yang meninggal di usia lima bulan. Alhasil, tiada jejak hubungan satu malam itu. Selain hilangnya mahkota dalam diri seorang Amaya Saditha. Ia tidak lagi menyandang gelar ‘gadis’, padahal belum menikah.
Entah, bagaimana nanti nasib Amaya? Adakah pria yang bersedia menerimanya dengan segala kekurangan yang dimilikinya?
Ada. Arjun!
Sayangnya, Amaya malah menyia-nyiakan pria baik itu. Amaya tidak mau membuat tantenya berhasil menjalankan rencana licik untuk menguasai harta peninggalan orang tuanya. Itu sama sekali tidak dibenarkan karena tantenya telah mempunyai bagiannya sendiri.
“Apa di sekitar sini ada hotel? Sepertinya kita memerlukan ruangan khusus untuk melanjutkan pertemuan tak terduga ini,” ucap Respati semakin berani.
Hal itu membuat tangan Amaya gatal, ingin sekali menyiram teh hangat itu ke muka Respati. Namun Amaya masih bisa menahan amarahnya, karena Amaya sangat membutuhkan pekerjaan ini untuk menghidupi dirinya sendiri di kota ini. Mengingat mencari pekerjaan di zaman sekarang ini tidak mudah.
“Mimpi Bapak ketinggian. Saya sarankan Bapak segera bangun karena petang-petang begini banyak setán yang berusaha menyusup tatkala kita tidur.” Amaya mengulas senyum penuh kemenangan tatkala selalu berhasil membalas setiap ucapan Respati.
Meski Respati juga selalu menang. Kali ini, pria berengsek itu malah membeberkan sebuah fakta menggelikan. “Kamu baru saja mengatai dirimu sendiri ‘setán’, Amaya. Saya beritahu, saya selalu memimpikanmu. Memimpikan kita menghabiskan malam panas. Lagi dan lagi. Apa kamu benar-benar tidak mau mewujudkannya menjadi nyata, hm? Mumpung saya ada waktu..”
Cukup sudah!
Wajar bila kali ini Amaya marah dan kelepasan membentak Respati. “SAYA TIDAK SUDI!!”
“Ada apa ini? Apa yang kamu lakukan, Amaya?”
“P—pak Raiden..”
Rupanya Amaya melupakan fakta tentang siapa sosok yang dihadapinya. Selain iblís berwujud pria tampan, Respati juga merupakan adik kandung bosnya.
Sial!
Sepertinya, Amaya dalam masalah seusai membentak Respati.
***