Pria Luar Biasa

1684 Kata
“Maafkan sikap buruk Maya ya, Nak Arjun. Maya sebenarnya anak yang baik dan manis, kok. Hanya saja..mungkin Maya sedang lelah.” Di bibir Laksmi memang mengulas senyum lebar, tapi di hatinya mengumpatí Amaya habis-habisan. Andai Laksmi bisa merobek mulut Amaya. Maka sudah sejak tadi Laksmi lakukan. Anak kakaknya itu tidak tahu diuntung. Ketika masa depannya coba Laksmi pedulikan, malah bertingkah sombong. Padahal dia tak lebih dari seorang wanita yang dicap sebagai ‘wanita penghibur’. Pernah hamil diluar nikah. Keguguran beberapa hari kemudian setelah bapaknya meninggal dunia. Sungguh, empat tahun lalu yang penuh kesialan. Seolah kesialan merupakan teman sejatinya. Kala itu Laksmi sampai takut merengkuh Amaya karena kesialan-kesialan yang Amaya bawa. Maka dari itu, baru hari ini Laksmi menemui Amaya dengan membawakan sebuah masa depan yang cerah-gemilang. Tetapi Amaya malah tidak tahu terima kasih! “Saya mengerti, Bu Laksmi. Tidak apa-apa,” kata Arjun sungguh tidak masalah dengan sikap yang Amaya tunjukkan. Karena Arjun mengerti perasaan Amaya. Amaya pasti amat tersiksa mempunyai tante seperti Laksmi. “Nak Arjun pengertian sekali. Belum menjadi Suami Maya saja, sudah sepengertian ini. Apalagi nanti? Pokoknya kalian merupakan pasangan yang cocok! Iya ‘kan, Bu Nana, Pak Gunawan?” Kedua orang tua Arjun mengangguk, setuju dengan pernyataan Laksmi. Meski di mata mereka sikap Laksmi aneh untuk ukuran tante yang katanya amat menyayangi keponakannya. Terlanjur bahagia akan mempunyai menantu setelah sekian lama melihat putranya biasa saja tatkala memandang wanita, Nana merasa pandangan Arjun pada Amaya berbeda. Amaya berhasil membuat Arjun tertarik padanya. Maka dari itu Nana menanggapi pernyataan Laksmi dengan candaan yang merujuk pada pesta pernikahan. “Iya, Bu Laksmi. Mereka berdua cocok sekali! Duhh..sekarang saya sudah bingung hendak membawa Amaya ke butik mana untuk fitting kebaya pengantin.” “Bu Nana bisa aja. Saya ‘kan juga jadi kepikiran mau sewa gedung mewah yang mana.” Ibu-ibu itu sudah membayangkan betapa bahagianya mereka nanti dalam pesta pernikahan Arjun dan Amaya. Pasangan yang menurut mereka sangat serasi! “Jangan terlalu bersemangat, Laksmi. Yang hendak menikah itu Amaya, bukan kamu,” peringat lirih Setyono. Bibirnya memang turut menyunggingkan senyum. Namun tidak seheboh istrinya. Tapi, Laksmi mana peduli dengan peringatan itu? Yang ada Laksmi malah menjadi-jadi. Mengupayakan segala hal supaya Arjun dan Amaya bisa pendekatan. “Bagaimana kalau besok Nak Arjun menjemput Maya di tempat kerja? Yaa..hitung-hitung pendekatan plus biar Maya enggak kecapekan. Maya pasti senang sekali!” Kali ini Arjun langsung setuju. Pria itu mengangguk seraya mengulas senyum lebar. “Baik, Bu. Kebetulan besok sore saya free. Saya akan menjemput Maya.” Keesokan harinya, benar saja. Setelah diberitahu alamat toko baju tempat Amaya bekerja, Arjun datang lebih awal untuk menjemput Amaya. Pukul setengah empat mobil Arjun sudah terparkir di area sekitar toko baju itu. Namun Arjun sengaja berdiam diri di dalam mobilnya. Menunggu Amaya pulang dan akan ia ajak untuk pulang bersama. Itu rencana kecil Arjun dengan harapan semuanya lancar. Tidak ada penolakan dari Amaya. Kalaupun ada penolakan, Arjun lah pemenangnya, karena pria itu bersungguh-sungguh ingin dekat dan menjalin hubungan serius dengan Amaya. Setelah hampir setengah jam lamanya menunggu. Akhirnya toko baju itu tutup. Di sana Amaya tampak sedang berpisah dengan rekan-rekan kerjanya. Saat Amaya berjalan sendiri untuk pulang, disitulah Arjun segera menghampiri. Kemunculan Arjun mengejutkan Amaya. Kepala Amaya yang sebenarnya sedang pusing karena ulah tantenya kemarin sampai semalam Amaya kesulitan tidur, terasa semakin pusing atas kemunculan Arjun yang secara tiba-tiba ini. Ingin rasanya Amaya menjambak rambutnya sendiri, bila itu bisa mengurangi pusing di kepalanya saat ini. Mengabaikan sapaan Arjun, Amaya langsung bertanya pada intinya. “Ada keperluan apa, Mas?” Mas? Panggilan itu Amaya berikan sebagai tanda penghormatan pada Arjun yang Amaya rasa lebih tua darinya. Tidak ada maksud lain, karena hati Amaya rasanya telah mati sejak kesuciannya direnggut seorang pria berengsek empat tahun lalu. Hingga membuatnya dicap sebagai ‘wanita penghibur’ karena hamil diluar nikah sepulang dari merantau di kota besar. Arjun langsung mengutarakan keinginannya. “Saya ingin mengajakmu pulang bersama. Mari, Maya..” Sikap ramah Arjun sempat membuat Amaya segan. Walau pada akhirnya Amaya tetap menolak ajakan tersebut. “Maaf, Mas. Tapi saya bisa pulang sendiri.” Amaya melangkah pergi, tapi Arjun berhasil menghalangi langkahnya. Pria itu malah mengkhawatirkan Amaya saat melihat penampakan wajah Amaya. “Wajahmu pucat, Maya. Apa kamu sedang sakit?” “Lebih tepatnya beban pikiran sampai semalaman susah tidur,” jujur Amaya menahan kesal dalam dadánya. Seharusnya pria ini mengerti! Karena ia menjadi salah satu penyebab kekacauan Amaya. “Pasti karena kedatangan saya dan keluarga saya kemarin, ya? Maaf soal itu.” Syukurlah..pria itu langsung sadar dan meminta maaf. Jika sampai dia berpura-pura tidak tahu atau tidak merasa bersalah sedikitpun, Amaya akan menendang kakinya keras-keras. Biar saja! Biar Amaya puas! Karena mempunyai tempat untuk melampiaskan kekesalannya. “Apa benar Mas akan melamar saya?” tanya Amaya di luar dugaan. Padahal Arjun sedang harap-harap cemas, menunggu tanggapan dari Amaya perihal ungkapan maafnya barusan. Ditanya seperti itu, Arjun mengangguk dengan penuh keyakinan. “Iya, kalau perlu menikahimu dalam waktu dekat.” Meski Amaya lagi-lagi dibuatnya terkejut, kali ini Amaya masih bisa mengontrol keterkejutannya. “Kenapa?” Amaya tidak mengerti mengapa pria ini kukuh ingin menikahinya. “Kita berbicara di mobil saja, bagaimana? Saya mohon, kita harus berbicara. Jangan memandang saya burùk, Maya. Saya tulus denganmu,” bujuk Arjun yang kali ini berhasil karena akhirnya Amaya mengangguk kecil. “Baiklah. Saya rasa, saya memang harus menuntaskan segala rasa penasaran di kepala saya. Sebelum kepala saya meledak karena terus menerka-nerka.” Begitu keputusan Amaya yang diungkapkannya dengan nada ketus. Amaya mendahulukan menuntaskan rasa penasaran dalam dirinya daripada menghindari pria aneh ini. Ya, aneh. Karena dia tiba-tiba terkekeh kecil dan menyeletuk, “Kamu lucu sekali, May..” “Saya tidak sedang bercanda lho, Mas. Saya serius soal kepala saya.” Sambil berjalan menuju mobil, keduanya berbincang. “Memangnya kepala itu sama dengan gas elpiji yang bisa meledak? Kamu ini ada-ada saja..” Percakapan berlanjut saat keduanya sudah duduk manis di dalam mobil yang melaju. Amaya tentu duduk di samping kursi kemudi Arjun. Melanjutkan kembali pembahasan random sebelumnya. Tapi kali ini, Amaya merambah pada permasalahan seriusnya. “Kamu lebih ‘ada-ada saja’, Mas! Mau-maunya menikahi saya. Saya wanita—” “Wanita apa?” potong Arjun melirik tajam Amaya. Kemudian melanjutkan, “Saya sudah tau semuanya, Maya. Jangan merendahkan dirimu di depan saya. Saya tidak suka. Di mata saya, kamu wanita baik-baik dan pekerja keras. Titik.” Melirik Amaya tidak bereaksi sedikit pun. Arjun semakin menjadi, menghujani Amaya dengan kata-kata motivasinya. “Hanya karena semua orang menghakimimu di masa lalu, di masa kini dan masa depan nanti kamu masih membawa penghakiman orang-orang? Jangan, Maya. Berdamailah dengan luka-lukamu. Kamu berhak bahagia dan izinkan saya mengambil bagian dalam membuatmu bahagia.” Amaya menggeleng pelan seraya menatap sendu pria luar biasa di sampingnya. “Entahlah, Mas.. Kemunculanmu di hidup saya seperti mimpi. Tapi saya tidak bisa mengartikan, apakah ini mimpi burùk atau justru mimpi indah? Selain itu, kemunculanmu bak air mengalir di tandusnya hidup saya. Saya takut apabila air itu mengalir terlalu deras atau tiba-tiba berhenti mengalir. Banyak sekali hal yang saya pikirkan. Sebagian besar kemungkinan burùk. Tapi yang jelas, untuk bertahan hidup sendiri, saya merasa mampu.” Kalimat terakhir Amaya jelas merujuk pada penolakan. Amaya merasa mampu hidup sendiri dan mungkin merasa lebih baik dalam kesendirian. Padahal, Arjun datang mengajaknya bahagia. Arjun tak menyerah meski Amaya terus memberinya kalimat-kalimat penolakan. “Jika bersama saya, BISA. Mengapa harus bertahan sendiri? Bukankah lebih kuat bersama daripada sendiri, hm?” Pria itu terlanjur yakin pada Amaya. Meski keduanya baru bertemu kemarin. Hati memang tak bisa dibohongi dan sejak kemarin hati Arjun telah mengambil peran. “Kamu pandai berkata-kata,” kata Amaya antara memuji dan mencibír. Mendengar itu, Arjun malah merasa di atas awan. Dia mengerlingkan sebelah matanya dan berucap, “Ini daya tarik saya. Saya harap, kamu tertarik.” “Ada-ada saja.” Amaya geleng-geleng kepala untuk kesekian kalinya. Pria ini aneh, tapi luar biasa, dan sulit ditebak. “Akan selalu saya usahakan ADA, kalau itu untuk kamu, May..” Nah ‘kan, lagi. Kata-katanya manis sekali! Amaya bisa diabetes kalau begini. Terakhir, empat tahun yang lalu, ia bertemu dengan pria berengsek. Kini, siapa sangka sekalinya bertemu kembali dengan seorang pria, akan semanis ini? Jelas, diri Amaya perlu penyesuaian. Bisa kejang jika tidak bisa mengendalikan perasaan yang tiba-tiba membuncah dalam dadánya. “Saya semakin takut. Kamu terlalu sempurna untuk saya, Mas. Kamu lebih pantas bersanding dengan gadis lain di luaran sana. Daripada dengan saya yang—” “Yang tetap sempurna meski sayapmu penuh luka. Saya bantu terbang, Maya. Ayo kita bersama-sama melintasi langit biru..” Kali ini Amaya tak bisa menahan senyumnya. Ia bahkan terkekeh kecil karena ungkapan Arjun. “Cihh..sok puitis.” “Ayo kita menikah.” “Hah?” “Itu maksud dari kata-kata saya sebelumnya.” Amaya menepuk dahinya sendiri. “Ya ampun, Mas! Enggak gitu juga konsepnya..” Gemas-gemas-kesal pada Arjun. Ternyata, Arjun pria yang mengasyikkan. Walau sampai detik ini Amaya masih belum percaya bahwa ia sedang didekati oleh pria sebaik Arjun. Amaya mencoba mengingat-ingat kembali, hal baik apa yang sekiranya pernah Amaya lakukan sampai dipertemukan dengan Arjun. “Maka dari itu, jangan terus menolak saya, Maya. Apalagi menolak saya dengan membawa-bawa alasan ‘DIRIMU’. Tidak mempan. Karena menurut saya, tidak ada yang salah dengan ‘DIRIMU’. Masa lalu hanya ada di belakang kita. Selamanya di sana. Tidak akan pernah bersanding apalagi sampai melangkahi masa kini dan masa depan kita nanti. Paham?” Amaya terharu karena kata-kata Arjun. “P—paham, Mas. Terima kasih..” Baru kali ini, setelah empat tahun lamanya Amaya tidak mendengar lagi kata-kata yang menyejukkan hatinya. Semenjak kepergian Laksono—Bapak Amaya—memang tidak ada lagi yang memberi Amaya kata-kata menyejukkan, penuh semangat. Kini, tiba-tiba Arjun hadir. Menjelma sosok pria hebat yang dulu ada di hidup Amaya. Haruskah Amaya membuka hatinya untuk Arjun? “Terima kasih untuk apa?” Pertanyaan Arjun berhasil menyentak Amaya dari lamunannya memandangi Arjun. Amaya langsung menjawab jujur, “Untuk kata-kata motivasi hidupnya. Bak penerang di gelapnya jalan hidup saya, Mas.” Sedikit kecewa mendengar jawaban Amaya. Arjun secara terang-terangan mengungkapkan, “Saya kira kamu berterima kasih atas kesungguhan cinta saya.” “Mas Arjun mencintai saya!?” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN