“Pertanyaan macam apa itu? Kamu pikir, apa alasan saya bersikeras mengajakmu menikah huh? Jelas karena saya mencintaimu, Amaya Sadhita.”
Mendengar kata ‘cinta’ diungkap secara gamblang oleh Arjun, Amaya langsung dilanda gelenyar aneh dalam dirinya yang selama ini fakir kasih sayang.
“S—sejak kapan, Mas? Bukannya baru kemarin kita bertemu.”
“Untuk itu, saya tidak tau jawabannya. Yang jelas, semalam saya juga sulit tidur. Karenamu.” Arjun cemberut karena mengingat semalam ranjangnya berantakan akibat berpindah-pindah posisi guna mencari posisi tidur yang nyaman.
Eh, ternyata masalahnya ada di Amaya. Arjun terbayang-bayang wajah cantik Amaya dan sisi ketus wanita itu.
“Gombal,” cibir Amaya, akhirnya bisa lebih rileks. Bahkan Amaya sampai bisa menertawai Arjun. Lagi-lagi itu semua juga karena Arjun.
Arjun ini tipe pria serius tapi pandai mencairkan suasana.
“Serius, May..”
“Saya tidak percaya pada cinta pandangan pertama,” ujar Amaya tiba-tiba.
Arjun yang paham Amaya menangkap sinyal cintanya. Lantas membalas, “Saya pun juga. Sebelum bertemu kamu.”
Kali ini, tak ada lagi tanggapan dari Amaya. Wanita itu menyibukkan dirinya memandangi jalanan sore yang lumayan padat melalui kaca jendela di sampingnya.
Arjun tidak keberatan dengan hal itu, ia justru senang. Akhirnya Amaya bisa nyaman saat bersamanya. Bagaimana Arjun bisa menyimpulkan demikian? Ya kalau Amaya tidak nyaman dengannya, sudah dari tadi Amaya minta diturunkan di tengah jalan! Ini..Amaya malah menikmati perjalanan.
Merasakan sesuatu di perutnya, Arjun kemudian iseng menawari Amaya mampir. Kali saja jawaban Amaya di luar perkiraan. Mengharap hal yang baik merupakan suatu keharusan bukan?
“Mau mampir ke warung bakso dan mie ayam langgànan keluarga saya?”
“Mau!! Kebetulan saya sedang lapar, Mas..”
Harapan Arjun pun menjadi kenyataan. Amaya bersedia makan sore bersamanya.
“Sudah saya duga. Wanita tidak pernah menolak jika itu urusan memanjakan lidah.”
“Apa!? M–memanjakan l–lidah?”
Sialnya, pikiran Amaya justru bertraveling!
“Pikiranmu jangan kemana-mana. Makan-makan maksud saya. Bukan ciuman sampai perang lidah.”
“MAS!!” pekik Amaya menegur Arjun. Rupanya Arjun mulai berani padahal baru saja Amaya mulai nyaman dengannya.
“Saya suka menggodamu, May. Kamu lucu.”
“Mas Arjun mesùm!”
“Hanya denganmu, Calon Istriku.”
Sial, ada yang salah dengan perut Amaya! Yang tadinya terasa keroncongan karena lapar, kenapa tiba-tiba seperti dihinggapi ribuan kupu-kupu!?
“Memangnya saya setuju?” tanya Amaya sok ketus.
“Saya akan berjuang sampai kamu setuju.”
“Oh ya?”
Arjun mengangguk yakin. “Lihat saja! Saya tidak suka banyak omong, langsung pada tindakan saja.”
Mereka pun sampai di warung bakso dan mie ayam yang cukup besar. Tempat parkirnya saja lumayan luas dan ramai. Pantas menjadi tempat langgànan Keluarga Arjun yang notabenenya orang-orang berada. Tadinya Amaya hampir tidak percaya bahwa mereka suka makan di warung bakso dan mie ayam. Tapi kini Amaya mengerti alasannya.
Meski ramai pengunjung, pelayanannya memuaskan, makanan yang dipesan datang tidak terlalu lama, dan tempatnya nyaman karena bersih.
Tatkala menu pesanan mereka dihidangkan, Amaya langsung full senyum karena sudah lapar sekali. Amaya sempat tak bernafsu makan sampai melewatkan rutinitas makan siangnya tadi. Gara-gara siapa? Ya pria di sampingnya ini yang kemarin tiba-tiba datang bersama keluarganya ke rumah Amaya!
Berusaha melupakan kejadian menyebalkan kemarin, Amaya pun makan tanpa berbicara seusai merapalkan do’a.
Sesekali, Arjun memperhatikan cara makan Amaya. Biasa saja. Sama sekali tidak sok cantik. Seperti pada umumnya orang makan. Hal itu membuat Arjun semakin tertarik dengan Amaya. Amaya wanita yang tidak neko-neko. Terlepas dari bagaimana masa lalunya, Arjun tak peduli. Karena Arjun akan hidup bersama Amaya di masa depan nanti. Jika Tuhan merestui..
Selesai makan, mereka kembali melanjutkan perjalanan pulang menuju rumah peninggalan kedua orang tua Amaya yang selama ini menjadi hunian ternyaman Amaya. Meski tidak terlalu besar dan sederhana, Amaya selalu merawat rumah itu dengan rajin membersihkannya setiap hari.
Di depan rumahnya juga terdapat berbagai pot bunga. Amaya lah yang merawat bunga-bunga cantik itu hingga bermekaran. Sebagai temannya selain sepi.
“Ayo turun..” Arjun membukakan pintu untuk Amaya.
Selalu seperti ini, tadi saat mampir di tempat makan pun juga. Amaya tidak dibiarkan membuka pintunya sendiri. Benar-benar like a queen cara Arjun memperlakukan Amaya.
“Mas? Terima kasih sudah mengantar saya pulang sampai mentraktir saya makan. Saya jadi tidak enak. Kamu juga tidak bersedia saya ganti uangnya. Saya jadi bingung.”
“Tidak usah bingung. Sudah, jangan dipikirkan. Lagipula, dimana-mana pria yang membayar, Maya. Hanya mie ayam dan es jeruk saja, setiap hari saya bisa mentraktirmu!” Keduanya pun terkekeh kecil.
Iseng, Amaya berkata, “Bosen dong, kalau setiap hari!”
“Besok makan steak, mau?”
O ow, Arjun menanggapi perkataan Amaya dengan serius. Sampai langsung mengajak Amaya makan steak. Astaga!
“Enggak-enggak! Terima kasih, Mas. Yang barusan hanya bercanda.”
“Saya serius, ingin mengajakmu makan steak, May..”
Amaya tersenyum kikuk, menolak halus ajakan itu. “Lain kali saja, Mas.”
“Benar ya? Lain kali. Kalau begitu, saya pamit pulang.”
“Iya, Mas. Hati-hati di jalan. Sekali lagi, terima kasih banyak.”
Mobil Arjun pun melaju, meninggalkan Amaya yang jantungnya masih berdebar-debar. Lain kali, Amaya akan menyeleksi candaannya karena Arjun bisa menganggap serius dan mewujudkan candaan Amaya saat itu juga!
Pria kaya dan keinginannya, bisa menjadi salah satu alasan pusing kepala wanita.
Baru memasuki rumahnya, Amaya langsung disambut dengan suara lembut-menggoda tantenya. “Duhh..senangnya diantar Calon Suami pulang. Habis dari mana aja, May? Kok agak telat pulangnya.”
Jangan tanya bagaimana dan mengapa bisa wanita paruh baya yang tengah ngeteh sore itu masih di sini. Sejak kemarin Laksmi memang di sini. Entah..kapan akan pulang ke rumahnya sendiri? Karena waktu tempuh rumahnya ke rumah kedua orang tua Amaya cukup jauh. Sekitar empat puluh menit sampai satu jam lamanya.
Amaya berusaha tidak mempermasalahkan kehadiran Laksmi. Terserah tantenya lah. Mungkin sang tante sedang merindukan almarhum kakaknya—Bapak Amaya.
“Iya, Tante. Pulangnya telat karena tadi mampir makan dulu di warung,” jelas singkat Amaya setelah mencium tangan tantenya.
“Lohh, kok di warung!? Minta di restoran mewah dong, May! Gimana, sih?”
Tanggapan Laksmi memang selalu di luar angkasa!
Hal itu kerap membuat Amaya heran. Tidak menyangka jika almarhum bapaknya mempunyai saudara kandung yang sikapnya berbanding terbalik begini. Semakin dewasa Amaya, wanita itu dapat membuat kesimpulan bahwa sikap almarhum bapaknya dan tantenya ini memang bagaikan langit dan bumi. Jauh perbandingannya!
Sambil berlalu ke kamarnya, Amaya ngedumel, “Perut ya perutnya Maya. Kenapa Tante ribet ikut ngurusin, sih?”
“Kamu memang enggak tau caranya menikmati hidup!” teriak Laksmi kesal sekali.
Laksmi tak tinggal diam tatkala diabaikan, ia mengikuti sang keponakan sampai ambang pintu kamar. Laksmi bersandar di sana sambil melipat kedua tangannya di depan. Lalu, melanjutkan kicauannya. “Makanya kamu sial terus. Awas ya kalau kali ini kamu kasih kesialan lagi. Jangan melakukan tindakan bodóh! Arjun benar-benar serius sama kamu, Maya.”
Cukup sudah! Maya harus tegas.
“Ini hidup Maya, Tante. Maya lah yang berhak memutuskan.”
“Tapi Tante pastikan hanya Arjun lah yang bersedia menikahi kamu, Maya.”
Maya membisu, mulai memikirkan ucapan tantenya barusan. Benarkah begitu?
“Lihat diri kamu, masa lalu kamu, hadehhh..zaman sekarang susah cari yang bisa menerima kita apa adanya! Jangan sok jual mahal, Maya!” sentak Laksmi mengerahkan segala usahanya agar berhasil meracuni pikiran Amaya. Laksmi ingin Amaya fokus pada satu orang yakni, Arjun Guntara. Tidak ada yang lain!
Terakhir, Laksmi membeberkan fakta yang sialnya sejalan dengan pemikiran Amaya. “Arjun itu sempurna baik dari paras maupun hatinya. Kaya pula. Paket komplit buat kamu yang enggak seberapa ini. Mikirr!”
‘Tante Laksmi ada benarnya juga. Mas Arjun memang baik. Sangat baik malahan. Tapi..kenapa hatiku masih ragu? Tuhan, tunjukkanlah jalan yang benar. Aku lelah selalu salah jalan dan berujung kehilangan arah.’
***