4. Dasar Pemulung!

1051 Kata
"Harusnya ibu juga bilang sama Mas Haikal, apakah dia sudah jadi suami idaman bagi istrinya?" "Sekarang kamu sudah berani menjawab ya!" "Maaf ya, Bu. Saya permisi." Kutinggalkan ibu mertuaku yang masih mengomel sendiri. Kacau sekali. Berkali-kali dihina dan dicaci membuatku ingin melawan saja. Memangnya aku ini sampah? Selalu dipandang sebelah mata hanya karena aku tidak bekerja. Usai mengantarkan Daffa dan Daffi, aku kembali pulang. Banyak hal yang harus kulakukan dari pada merutuki nasibku sendiri. Aku kuat, aku pasti bisa keluar dari zona ini. "Mbak, mbak Mila! Teriak sebuah suara." Bu Wandi berjalan tergopoh-gopoh sembari membawa tentengan kresek di tangannya. "Iya Bu, ada apa?" "Tadi pagi saya lihat statusnya Mbak Mila, ternyata Mbak Mila bisa bikin aksesoris ya?" "Oh iya Bu, saya coba-coba pengen jualan online untuk karya handmade saya." "Alhamdulillah, kebetulan banget mbak. Mbak bisa bikin bros kan?" "Bisa, Bu." "Untuk seragaman bisa?" "Insyaallah, bisa." "Kalau begitu saya pesan bros seragaman ya untuk ibu-ibu anggota majelis taklim seratus pcs, bisa?" "Insyaallah bisa, Bu." "Ikut ke rumah saya dulu yuk, ambil bahannya. Soalnya biar matching sama gamisnya nanti." "Baik, Bu." Kami berjalan beriringan dengan Bu Wandi, dia memang aktif di pengajian-pengajian. Ah bodohnya aku, kenapa dari dulu gak promo ke ibu-ibu kompleks perumahan. Bukankah hasilnya lumayan? "Ini bahannya ya mbak, bikin yang cantik biar modelnya pas sama ibu-ibu." "Baik, Bu. Nanti saya buatkan samplenya dulu." "Siap. Makasih ya, pembayarannya gimana nih?" "Nanti saja ya Bu, kalau saya udah bikin samplenya dan ibu setuju kita sepakati masalah harga." "Oke. Nanti kabari saja lewat WA ya, biar saya yang datang ke rumahnya Mbak Mila." "Siap. Terima kasih banyak, Bu." "Oh iya tunggu. Ini ada cemilan buat dedek." "Alhamdulillah, terima kasih banyak ya Bu, saya permisi." Bu Wandi tersenyum ramah. Bersyukur hari ini aku bertemu Bu Wandi, bukan ibu-ibu yang doyan bergosip. *** "Mil, ngapain kamu pasang status jualan kayak gitu? Udah gak ada kerjaan lain ya!" ucap Mas Haikal dengan nada menyentak. Aku tertegun mendengarnya. Apa saja yang kulakukan selalu salah di matanya. "Memangnya kenapa, Mas? Gak ada larangan kan?" "Aku yang larang, Mil! Kamu malu-maluin aku jadi suami. Istri manager masih aja jualan. Malu aku Mil, dicibir saudara kalau aku gak bisa ngatur istri!" "Mas, yang penting kan halal. Aku juga pengin punya uang sendiri. Kalau kamu memberiku uang lebih, mungkin aku gak akan repot-repot seperti ini." "Halah kamu ini sekarang kalau dibilangin ngeyel! Mana jualannya gak bermutu blas! Jualan kok dari barang-barang bekas sampah seperti itu. Dasar pemulung! Gak malu kamu dikatain pemulung sama orang-orang?" "Gak mas, aku gak malu. Terserah penilaian orang seperti apa, yang penting aku tidak minta makan sama dia!" "Aku yang malu, Mil! Kamu seperti melempar kotoran ke wajahku! Kamu kayak gak ada kerjaan lain aja. Melamar kerja di kantor kek!" Ya, itulah yang kutakutkan selama ini. Suami pasti marah kalau aku ketahuan jualan. Dia malu, dia gengsi. Dipikirnya berjualan seperti ini adalah pekerjaan yang hina. Tapi apa boleh buat, terpaksa ini kulakukan demi menyambung harapan. Dia tidak tahu saja, selama ini uang yang digunakan untuk menyambung hidup kalau uang darinya habis adalah uang dari hasil kreasi barang bekas. "Kalau aku kerja di kantor, memangnya siapa yang mau menjaga anak-anak, Mas? Kamu mau nyewa ART?" "Hiliiih, enak aja sewa ART. Gajiku habis nanti! Belum buat bayar cicilan mobil dan juga rumah ini, masa harus bayar ART juga!" "Ya sudah, kenapa masih protes?" "Tapi jangan jualan seperti itu, Mil! Malu aku jadi suami! Kayak gak ada jualan yang lebih wah gitu! Biar gak malu-maluin banget jadi istri manager!" "Maksudmu jualan yang seperti apa, Mas?" "Tupperware kek atau perhiasan, baju dan tas-tas branded kayak yang dijual sama Mbak Indah, kan kelihatan lebih berkelas." "Memangnya kamu mau kasih modal buat aku, Mas?" Mas Haikal kembali terbungkam. Ia hanya menggaruk-garuk kepala yang tak gatal. "Kalau gak dikasih modal, mana bisa aku berjualan barang berkelas seperti yang kau maksud itu? Buat makan aja kurang!" "Pokoknya aku melarangmu untuk jualan kreasi murahanmu itu!" "Terserah, Mas. Aku gak peduli. Walaupun kau melarang, akan tetap kulakukan. Yang penting aku dapat hasil dari yang aku kerjakan." "Berani ya sekarang sama suami! Baru berjualan receh gitu aja belagu!! Dapat duit berapa sih kamu sampai belagu kayak gitu?!" "Banyak yang kudapatkan, Mas. Terutama kepuasan batin. Sebaiknya, jangan hina profesi seseorang, siapa tahu mereka bisa maju dan suatu saat mereka justru akan melampauimu yang pekerja kantor." "Hahaha, ngimpi kamu Mil! Sekali pemulung, tetap aja pemulung. Gak bakalan jadi kaya. Kalau mau kaya kerja di kantor jadi staff ataupun manager, punya gaji tetap, punya tunjangan dan bonus. Jualan kayak gitu? Mana ada?!" "Apa kamu berpikir selamanya akan jadi pekerja kantor? Siapa tahu suatu saat kena pecat?" "Kamu nyumpahin aku dipecat dari kantor?" "Tidak." "Terus kenapa bilang seperti tadi." "Kan kita harus antisipasi dengan segala kemungkinan terburuk yang terjadi! Perusahaan bangkrut misalnya, dan karyawan harus diberhentikan dari kantor." "Tidak mungkin! Perusahaan tempatku bekerja adalah perusahaan besar dan cabang-cabangnya ada di beberapa kota besar. Tidak mungkin bangkrut semudah itu." Aku terdiam. Bila ditanggapi, dia akan terus mendebat. Ingin menang sendiri, itulah sikap suamiku. Sudah banyak waktu kulakukan untuk mengalah darinya. Baik, kita lihat saja Mas. Karena penghinaanmu ini, membuat tekadku makin bulat. Aku ingin maju dengan barang-barang kreasiku yang kau hina. Barang-barang sampah yang bagi sebagian orang tak berguna, tapi itu sangat berguna bagiku. Dari barang sampah itu kusulap jadi kreasi yang cantik dan menghasilkan rupiah. Hatiku terlanjur sakit. Kali ini, aku akan mengumpulkan uang sendiri. Tak peduli bagaimana dengan kebutuhan rumah. Bila ada bahan yang dimasak, akan kumasak, bila tak ada ya biarkan saja. Aku dan anak-anak akan makan diluar. "Mil, ini kenapa makanannya yang tadi pagi? Kamu gak masak yang lain?" tanya Mas Haikal setelah puas berdebat denganku. "Makan aja yang ada. Tadi pagi kan cuma belanja itu. Kenapa masih protes!" "Ck!" Walaupun berdecak kesal, ia masih memakan masakanku dengan lahap. Mungkin kecapekan telah berdebat denganku tadi. "Mas, ini tagihan listrik sama air untuk bulan ini, belum kau bayar." "Berapa?" tanyanya sambil terus menatap layar handphone. "Listrik 300 ribu, Air 300 ribu." "Apa? Sebanyak itu? Kamu boros ya!" "Mas, listrik dan air kan pemakaian bersama, kenapa aku yang dibilang boros?" "Aku gak mau bayar!" "Aneh kamu, Mas! Memangnya kamu mau gak mandi terus baju-baju kotor dibiarkan numpuk gitu aja? Rumah gelap, gak ada hiburan apa-apa? Gak malu ya digosipi tetangga, kalau seorang manager gak mampu bayar tagihan listrik dan air?" "Ck!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN