7. Perdebatan Panjang

1041 Kata
"Kenapa wajah lu ditekuk gitu? Gak ada manis-manisnya!" celetuk Farhan, rekan kerjaku di kantor. "Ck! Pusing gue Han!" "Kenapa?" "Istri gue gak mau dikasih uang belanja. Katanya biar gue aja yang atur keuangan rumah." "Memangnya lu ngasih berapa sampe istri lu nolak gitu?" "Satu juta." "Satu juta untuk seminggu?" "Satu juta untuk sebulan lah! Boros amat seminggu sejuta!" Tiba-tiba dia menoyor kepalaku. "Gila lu! Satu juta sebulan? Mana cukup?!" "Biasanya dia gak pernah protes, Han! Bulan-bulan sebelumnya dia bisa mengatur keuangan dengan baik." "Gila lu ya! Satu juta sebulan itu jatah apa? Belanja sayur doang atau gimana?" "Ya semuanya lah, semua kebutuhan rumah. Makan, listrik, air. Pokoknya aku tahunya satu juta harus cukup!" "Astaghfirullah ... Parah lu, Kal! Tega banget jadi suami! Lu suami dzolim tau gak! Satu juta untuk semua kebutuhan rumah? Bayar air bayar listrik juga? Ckckck! Jahat banget lu jadi orang! sama istri sendiri pelit! Padahal istri itu pembawa rezeki buat kita!" "Lah gue yang kerja ya gue yang bawa rezeki lah!" "Dasar edan lu!" Farhan kembali menoyor kepalaku. "Ishh! Seneng banget noyor kepala gue!" "Iya biar lu sadar! Lu kan manager, masa kagak ngerti estimasi pengeluaran kebutuhan rumah?" Aku terdiam. Sebenarnya aku bukannya tidak mengerti. Tapi aku yang tak peduli. Berkali-kali Mila meminta jatah bulanan ditambah tapi aku tak menggubrisnya. Kuanggap sebagai angin lalu. Bulan-bulan sebelumnya dia bisa mengatur keuangan itu. Dan cukup untuk satu bulan, aku tak mau tahu dari mana dia dapatkan uang untuk menambal kekurangan. Tapi kenapa bulan ini dia protes? Sok-sokan gak mau uangku! Pletak! Farhan menyentil keningku hingga membuat lamunanku terbuyar. "Kenapa sih lu rese' banget!" gerutuku kesal. "Gila lu, Kal! Lu ngasih istri cuma satu juta satu bulan? Ya pantas saja dia gak mau! Semua apa-apa pada mahal, Kal! Lu punya anak tiga, satu juta sebulan dapat apa? Listrik, air istri lu juga yang bayar?" Aku mengangguk. "Bulan-bulan sebelumnya dia juga gak pernah protes kok! Makanya gue gak mau kehilangan Mila, dia kan istri penurut sama suami. Sekarang malah jadi ngeyelan! Suka berdebat juga sama gue! Pusing gue kalau di rumah dengar ocehannya!" "Hebat! Gue justru salut sama istri lu. Bisa sabar dan tahan ya hidup sama manusia pelit macam lu! Gaji lu gede, tapi ngasih istri cuma satu juta?" "Ish! Gue gak pelit, Han! Kan gajinya gue bagi-bagi buat cicilan rumah, cicilan mobil, buat jatah ibu, uang peganganku sendiri, terus dia kebagian satu juta untuk kebutuhan rumah." "Tunggu-tunggu, lu ngasih ibu lu berapa?" "Tiga juta." "What? Buat ibu lu tiga juta?" "Iya. Kan gue harus ngebiyayain adik gue yang masih kuliah." "Lu ngasih ibu lu tiga juta? Sedangkan istri lu satu juta? Ckckck!" Farhan menggelengkan kepalanya pelan seolah shock dengan penuturanku. "Hahaha, kenapa lu, Han? Heran?" "Astaga, mana ada perempuan yang betah sama lu! Ya pantes lah sekarang dia protes, dia udah jengah dengan sikap lu! Lu pernah mikir gak, dia dapat uang dari mana buat nambal kekurangan?" "Gue gak pernah mau tau! Dia kan di rumah aja, gak bakalan macem-macem kan!" "Eh jangan salah! Lu sendiri yang bilang kalau dia bisa mengatur keuangan, hingga satu juta cukup sebulan. Jangan-jangan ..." "Jangan-jangan apa?" "Logikanya nih, semua kebutuhan apa-apa serba mahal. Sedangkan lu cuma ngasih sejuta, ya dia pasti nyari tambahan di luar kan. Jangan-jangan ada laki-laki yang iba terus suka sama istri lu, terus ngasih uang terus mereka saling jatuh cinta, terus--" "Gak, gak mungkin! Mila bukan orang yang seperti itu. Dan lagi mana ada yang mau sama dia, udah punya anak tiga! Gak laku lah di pasaran!" "Gila lu! Jadi lu anggap istri lu barang dagangan? Sampai dibilang gak laku? Jangan salah, Kal! Sekarang justru banyak brondong bahkan om-om yang maunya sama istri orang." Kujitak kepala si Farhan, rekan kerja yang rese itu. Dia justru terkekeh. Gak, gak mungkin Mila seperti itu, dia wanita baik-baik. Itulah yang Kusuka darinya. Gak pernah neko-neko. Tuh kan, aku jadi kepikiran yang enggak-enggak. "Mana ada yang seperti itu?" "Eh bisa aja kan, ada pengagum rahasia istri lu! Istri lu tuh biar udah punya anak tiga tapi masih cantik, badannya juga bagus. Lu punya istri sebaik dia kenapa disia-siain?" "Gue gak nyia-nyiain dia! Gue kan gak pergi ninggalin dia. Gue masih butuh dia, gue masih butuh pelayanannya!" "Lah itu, gak ngasih uang selayaknya juga namanya nyia-nyiain, dodol! Harusnya punya istri itu dirawat dengan sepenuh hati, dibahagiain, disenangin, jangan malah dijadikan beban. Atau jangan-jangan lu di rumah anggap dia seperti babu ya? Babu gratisan? Aku terdiam. Apakah aku sejahat itu? "Terus sekarang kebutuhan anak lu gimana? Lu yang menjamin?" Aku menggeleng pelan. "Gila lu! Jadi satu juta buat kebutuhan anak lu juga?" "Iya lah, kan gue bilang semuanya! "Benar-benar edan lu! Lu suami dan ayah yang dzolim! Apa lu gak pernah mikir, anak lu butuh s**u, butuh pampers, butuh jajan. Terus bukannya yang kembar itu udah sekolah ya?" "Iya." "Terus uang sekolah siapa yang bayar? Istri lu juga?" "Iya. Aku selalu bilang sama Mila, pokoknya satu juta itu harus cukup untuk semuanya. Termasuk untuk kebutuhan anak." "Ckck! Benar-benar nih laki! Harusnya nih kepala lu jedotin ke tembok biar lu sadar! Edan, gila, suami macam apa lu?" "Kenapa lu ngumpat gue terus? Ngatain gue dzolim segala!" "Iyalah lu tuh dzolim banget! Nikahin anak orang harusnya dibuat bahagia justru dibuat sengsara! Lu pernah mikir gak perasaannya kayak apa? Bisa jadi dia masih bertahan sama lu karena terpaksa. Dia mungkin udah mati rasa sama lu." "Gak mungkin lah, dia bucin banget sama gue." "Siap-siap aja Kal, ditinggal sama istri sebaik Karmila. Bom itu suatu saat pasti akan meledak." "Kenapa lu ngomong gitu?" "Ya iya lah siapa yang bakalan tahan sama lelaki pelit macam lu. Kebangetan. Gue sih berharap Mila bisa pisah sama lu dan dapat pria yang lebih baik." "Kok lu ngomong gitu? Malah nyumpahin gue pisah." "Iya lah, kasihan Karmila kalau terus-terusan hidup sama lu. Bisa mati berdiri. Lu nikahin anak orang kok lu buat sengsara sama hidupnya? Bertahun-tahun lagi?! Apa gunanya lu sebagai suami yang harusnya lindungin! Ih gue kok jadi gedek sendiri sama lu ya! Apa lu lupa sama janji suci yang lu ucapkan saat ijab kabul dulu?" Sejenak aku terdiam. "Itu janji suci lu langsung sama Allah lho, tinggal tunggu saja balasan yang lu dapat dah menyengsarakan istri sebaik Karmila." Farhan kembali berkata. "Dah lu ah! Malah nyumpahin gue yang gak baik-baik sama gue!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN