"Wah, ayo masuk udah banyak makanan di dalam." Papa Ben mempersilahkan Aarav, Geya dan Diah untuk menuju ruang makan yang memang sudah dipersiapkan oleh maid keluarga Ben. Geya, Diah mendecak kagum ketika melihat lauk makanan yang mewah sekali di atas meja bundar itu.
Geya dan Diah tersenyum malu-malu, tidak menyangka akan disambut sangat meraih seperti ini sampai dipersiapkan makanan enak-enak.
Dalam pikiran Geya dan Diah kenapa keluarga Ben lebih memilih membuat rumah di desa berarti rumah Ben merupakan rumah paling besar yang ada di desa ini. Heran saja, karena biasanya orang kaya akan memilih hidup di perkotaan daripada di desa.
"Wah udah datang." Deli (Mama Ben) ikut menyapa mereka dan mempersilahkan masuk. Bibir Mama Ben terukir senyum ramah pada Diah, Aarav dan Geya. Mereka bertiga menyambutnya dengan tak kalah ramah. Diah, Aarav dan Geya satu persatu menyalami Mama Ben yang terkenal memang ramah dengan semua orang. Diah, Geya dan Aarav sudah mengenal baik Mama Ben dari sejak mereka SMA.
"Silahkan di nikmati." ujar Mama Ben. “Jangan ada yang bicara waktu makan ya." titah Mama Ben lagi dengan tutur kata yang lembut. Aarav, Diah dan Geya mulai mengangguk malu-malu dan menduduki kursi meja bundar besar itu. Mereka semua menikmati hidangan dalam keheningan, memakannya dengan nikmat. Memang sudah aturannya keluarga Ben kalau lagi makan tidak boleh bicara, apalagi berdebat di depan makanan.
Setelah mengamati yang berada di meja bersamanya, Dodi meletakkan sendoknya diatas meja. Dodi pun bertanya kepada sahabat Ben. ”Jadi kalian mau liburan?" tanya Dodi memastikan sekali lagi, takut jikalau anaknya sendiri membohonginya.
Aarav langsung menimpali, ia mengangguk pelan. "Iya ni Om." jawab Aarav dengan senyum sopannya.
Deli yang mendengar pertanyaan dari suaminya itu kembali mengingat keinginannya anaknya yang ingin berpergian lantas Deli juga bertanya, "Oh jadi kalian mau ke mana rencananya?"
Aarav terdiam sejenak, sebagai perwakilan menjawab pertanyaan dari orangtua Ben membuat cowok itu jadi ragu untuk. Namun mau bagaimana lagi, mereka sudah berjanji saat di mobil tadi. ”Kami mau ke Bali Om." Aarav berusaha menyembunyikan senyum kikuknya. Padahal ia tidak tahu mau diajak ke mana selain rumah itu oleh Ben. Hanya saja dari pada diam seperti orang seperti menutupi sesuatu mending menjawab asal. Lagipula Aarav juga ingin ke Bali, keinginannya sejak dulu saat remaja tapi belum kesampaian sampai sekarang.
Demi apapun, Ben yang bersebelahan dengan Geya ketar-ketir saat Dodi lebih melemparkan pertanyaan kearah Aarav, hampir saja Aarav membongkar kalau tidak bisa gawat. Ben yang berbohong dan juga hendak pergi ke rumah tua itu.
Dodi menatap anaknya sejenak kemudian tersenyum lega, nyatanya anaknya tidak berbohong. Dodi jadi mendengarnya. ”Wah, seru banget dong. Ben udah bilang kan kalau Om yang akan biayai semua keperluan kalian di sana," jelas Dodi dengan tenang.
Diah dan Geya langsung memamerkan senyum cerahnya. Bagaimana tidak senang, mereka dibiayai sepuasnya disana dan itu artinya mereka liburan gratis. Sungguh, ini impian ciwi-ciwi. Geya langsung membuka suara dengan bahagia. ”Kalau gitu kami langsung pergi ya Om." izin Diah dengan senyum sopannya.
Deli menggeleng tak setuju, melihat raut anak remaja itu satu persatu, Deli bisa membaca raut mereka betapa lelahnya mereka. ”Jangan kalian kan pasti capek baru nyampek." Deli menyanggah tak terima.
Diah tersenyum manis. "Tidak apa Tante kami juga nggak capek kok. Tadi di Bus juga nggak lama." jelas Diah panjang lebar.
Deli tetap kekeuh pada pendiriannya, wanita yang masih tampak awet itu masih menggeleng tak terima dengan alasan apapun. ”Nggak lama, tiga jam masa nggak lama." Deli memanyunkan bibirnya, cemberut. Deli hanya menginginkan mereka istirahat lebih dulu baru berangkat, pasalnya mereka akan berpergian jauh.
Ben menghela napas panjang mendengar ucapan Mamanya. ”Yaudah lah Ma, mereka nggak capek juga. Nanti bisa tidur di pesawat." Ben munafik, nyatanya Ben lebih dulu ke rumah angker itu baru setelah mendapat harta karung, Ben, Diah, Aarav dan Geya akan pergi liburan ke Bali. Dan mereka berempat bisa bersenang-senang sepuasnya nanti disana.
Dodi mengangguk setengah setuju mendengar saran sang anak. ”Iya mereka juga masih muda. Tapi yakin nggak mau nginap dulu?" tanya Dodi ulang, mungkin bisa saja mereka bertiga berubah pikiran untuk istirahat lebih dulu disini.
Aarav menggeleng kecil, tak enak. ”Tidak perlu Om."
Dodi akhirnya menyetujui. "Yaudah udah kalau gitu, hati-hati.” pinta Dodi dengan sungguh-sungguh.
Dodi dan Deli mengantar mereka ke depan rumah. Aarav, Ben, Geya dan Diah sudah siap dengan persiapan mereka masing-masing, ada yang membawa koper dan ada yang membawa tas besar untuk menampung kebutuhan mereka disana nanti.
"Dahhhh Dahhhh." Ben melambai ke arah Papa dan Mamanya begitu juga dengan teman-temannya. Geya dah Diah tersenyum paling cerah. Geya, Aarav, Ben dan Diah mulai berjalan keluar dari pintu pagar. Mereka berjalan kaki.
Deli masih menatap kepergian mereka. Wanita itu mengelus dadanya, tak nyaman. Deli menatap mata sang suami dan mengutarakan rasa aneh yang tiba-tiba hinggap dalam raganya. ”Kok perasaan Mama jadi nggak enak ya?" Entahlah, Deli malah berpikir mereka akan terperangkap kedalam bara bahaya. Sulit untuk dijabarkan, yang terpenting Deli rasanya ingin mencegah mereka untuk pergi tapi itu percuma. Mereka sudah menghilang dari pandangan Deli.
Dodi menatap tak suka, ia memperingati istrinya untuk tidak berpikir seperti itu. Jangan sampai ia menyesal menyetujui mereka pergi. Padahal sudah jelas-jelas mereka akan ke Bali, untuk apa dikhawatirkan. “Jangan pikir yang tidak tidak deh. Itu juga temannya udah bilang mau ke Bali bukan ke rumah tua itu.” Dodi menyakinkan istrinya dengan jelas.
Deli hanya bisa mengangguk saja tak menjawab ucapan suaminya lalu masuk ke dalam rumah di ikuti oleh Dodi dari belakangnya.
***
"Ngeri banget ni jalan." ujar Geya. Gadis itu bergidik, merinding sendiri tak jelas. Geya kesusahan sekali ketika berjalan diatas batu-batuan yang nyatanya kalau dilihat lebih detail memiliki struktur batu yang runcing. Bisa saja orang jatuh di atas batu ini mungkin sudah masuk rumah sakit dan mungkin bisa saja mati di tempat.
Sama hal dengan Diah, Diah juga semakin merasa risih dengan jalan mereka lewati, seperti tidak ada jalan lain aja, keluh Diah dalam hati. Diah juga memperhatikan sekitar, tak ada satupun rumah yang berada disini. Jalan yang mereka lewati hanya dikelilingi hutan yang menyeramkan. ”Ke rumah mana sih. Kok kayak sepi gitu." Diah bertanya heran. Diah bingung sekali, kalau tujuan mereka rumah makanya seharusnya disini ada tergeletak satu ramah saja tapi nihil tak ada rumah yang dibuat daerah sini.
Ben hanya terkekeh kecil. ”Jangan takut dong. kalau kalian lihat rumahnya pasti bakalan senang." Ben justru memberikan semangat untuk sahabatnya. Ben memang tak menjelaskan detail tentang rumah yang akan mereka datangi.
Ben memilih berjalan di tanah becek yang susah di tanjak namun masih bisa, tak membuat kakinya tersangkut di dalam tanah itu. Namun jalan ini tetap dipenuhi oleh batu-batu beruncing.
Aarav yang berada di samping Ben hanya asik sendiri dengan ponsel sambil mendengar musik, tak mengeluh, tak menggubris jalan yang ia injak dan juga tak merespon keluhan sahabatnya. Aarav memang dikenal cowok cuek dan tak banyak ngomong.
"Ada bawa rokok ga?" Ben bertanya kepada Aarav yang sedari tadi tak menimbrung obrolan.
Aarav tetap diam tidak berkutik, asik dengan dunianya sendiri.
Ben yang terlanjur sudah kesal dan langsung menarik headset dari telinga Aarav membuat Aarav tersentak kecil karena kaget. Aarav langsung menatap sang pelaku dengan tatapan dingin.
"Ada bawa rokok nggak?" tanya Ben ulang, sebal. Ben tak suka bertanya ulang-ulang sebenarnya.
Aarav mengangguk tipis. "Ada tenang aja lo." Aarav memberi kode kepada Ben bahwa stok rokok banyak Aarav bawa di dalam tas. Aarav dan Ben memang cowok yang candu sekali dengan rokok. Tidak merokok sehari, rasanya seperti ada yang hilang.
Geya dan Diah saling berpegang tangan, saat mereka masih melangkah di atas batu-batuan itu, saling menjaga keseimbangan tubuh agar tidak terjatuh. Jikalau dilihat dari suasana sekitarnya beda sekali saat mereka belum masok kedalam kawasan ini. Padahal ini masih sore tapi suara yang berasal dari luar seperti sudah malam, bahkan ada juga suara binatang buas yang bersahutan menggudara. Terasa begitu dekat suara itu, namun Geya dan Diah tak perlu takut ada Aarav dan Ben, para cowok yang bakal melindungi mereka.
Tidak lama dari itu mereka sampai juga. Geya, Aarav, Ben dan Diah akhirnya bisa bernapas lega. Bagaimana tidak, kaki mereka sudah sangat pegal-pegal padahal mereka hanya berjalan beberapa meter saja tapi rasanya seperti berjalan seharian tanpa henti.
"Wah." Mereka dengan kompak berdecak kagum. Aarav, Diah, Geya dan Ben membinarkan mata ketika melihat kondisi rumah yang menjadi tujuan mereka yaitu rumah angker. Nyatanya rumah ini beda jauh dengan perkiraan mereka. Kalau di sangkutkan dengan kata 'angker' yang pastinya rumahnya jelak, busuk, usang bahkan bisa hancur tak layak untuk dimasuki ternyata rumah ini sangat bagus. Rumah yang memiliki tiga tingkat, dengan model rumah kuno. Di lantai atas, di kelilingi balkon namun dipenuhi dengan rumput-rumput yang sepertinya mulai tumbuh. Pokoknya rumah itu layak sekali untuk ditinggali dan nyaman untuk berlama-lama disana.
"Nggak nyangka secantik ini, tapi kok nggak dan yang mau beli atau sewa ya?" tanya Diah bingung ketika melihat di depan pagar tertinggal tulisan yang sudah agak buram namun bisa untuk dibaca. Ternyata rumah ini juga disewa namun anehnya sepertinya tidak laku kalau di lihat dari kondisi rumah yang sudah lama tidak ditinggali.
Ben hanya melirik pertanyaan Diah tanpa mau menjawab. Ia tidak ingin mereka berubah pikiran dan tidak mau masuk bersamanya ke dalam. Ben jelas tahu sejarah rumah ini dari gosip-gosip yang beredar di kampungnya.
"Ben kenapa cuman ada rumah ini di hutan ini?" tanya Aarav lagi, sama dengan kebingungan yang dialami Geya. Geya awalnya juga ingin bertanya itu tapi sudah diawakili oleh Aarav. Diah, Aarav dan Diah menunggu jawaban dari Ben. Ben terdiam sedikit lama, bingung untuk menjawab. Ketika Ben melihat sahabatnya yang sudah memicingkan mata, Ben langsung menjawab tanpa berpikir lagi.
"Mana gue tau, lo kan tau sendiri kalau kampung itu biasa banyak hutan." balas Ben asal. ”Jangan banyak tanya deh kalian, yang penting rumahnya bagus buat kita masok!" perintah Ben tanpa melihat sahabatnya, Ben menatap gerbang itu, memikirkan caranya masuk.
"Gimana masuk?" ucap Aarav sambil melirik gembok, iya rumah ini di gembong dari luar. Auranya semakin terasa mencekam sebenarnya namun mereka memiliki nyali yang besar.
"Bentar." Ben tampak sedang memainkan ponselnya untuk menelepon Bapak penjaga dan ternyata tidak ada jaringan. Ben mendesis kesal karena hal itu kenapa harus tidak ada jaringan segala.
"Bentar lagi pasti, tadi udah gue telpon." Sebelum kesini Ben memang sudah menelpon bapak itu hanya saja Ben ingin menelepon ulang agar pertanda bahwa Ben butuh bantuan. Semoga saja Bapak jtu masih ingat ucapannya kala itu, untuk datang langsung saat mereka butuh pertolongan.
Benar saja, tidak ada lama kemudian Bapak tua tampak berjalan menuju mereka dengan aura hitamnya. Iya, Bapak tua itu memakai baju serba hitam.
Ben cukup terkejut dengan kedatangan Bapak itu yang sedikit tak masuk akal di otak Ben. Mereka saja harus berjalan berjam-jam bisa sampai kesini sedangkan Bapak tua itu hanya menghabiskan detik. ”Cepat banget Pak." Ben menatap kagum kearah Bapak itu, sulit untuk dipercaya sebenarnya namun Ben tak terlalu memikirkannya yang terpenting Bapak itu sudah berada dihadapan mereka.
"Karena Bapak udah nunggu." Bapak tua itu mulai mengeluarkan suara dinginnya. Bapak tua setengah menunduk dengan kepala yang ditutupin tudung yang nyaris hidung dan mata Bapak tua itu tidak terlihat dengan jelas, cukup misterius.
"Jadi mau diliat-liat aja?" Bapak tua sebagai penjaga rumah bertanya lagi, sesuai perkataan Ben kala itu ketika meminta izinnya untuk ke rumah ini.
Diah mengernyit bingung. Bagaimana bisa Bapak itu langsung bisa menebak jika mereka akan melihat-melihat aja, cukup mencurigakan bagi Diah dan Geya sedangkan Aarav tak terlalu mempedulikan obrolan mereka. Aarav masih asik mendengar musik.
"Maksud Bapak mau diliat-liat, di beli atau mau disewa?" Bapak itu tampak mencela lagi, seperti niat ingin menawarkan rumah ini.
Diah hanya bisa heran, kenapa Bapak itu seperti mendengar isi bathinnya. Dellia menggeleng, aneh-aneh aja pikirannya ini. Itu tidak mungkin kan? Sungguh, Diah merasa aura berbeda dari Bapak tua ini, sangat-sangat mencurigakan bagi Diah.