“Pa, sebenarnya apa-sih alasan papa menjodohkan Demian dengan anak almarhum pak Ahmad Malik?” Ziont menatap sang ayah dengan rasa penasaran sembari menyeruput teh sereh madu buatan sang istri untuk di konsumsi setiap pagi hari.
Hari itu cuaca cukup cerah, terlebih kehadiran tuan Swan ke rumah mereka pagi-pagi buta untuk pergi bersama Demian ke kantor karena ada rapat pemegang saham.
“Hmmm…” tarikan nafas berat dari wajah tua milik sang ayah membuat Ziont seolah memahami apa yang sedang dipikirkan sang ayah di masa depan. “Kamu tahu sendiri, Demian anak kamu itu wataknya keras dan egois. Dia tidak bisa berdampingan dengan wanita yang keras dan egois juga. Apalagi pacarnya itu, SAMPAH! Nah, wanita yang menurut papa paling tepat mendampingi Demian ya Farzana…”
“Masalahnya Demian sepertinya tidak mau meninggalkan Prilly, Pa. Dia pernah mengancam Ziont jika terus mendukung perjodohan ini.” Keluh Ziont yang langsung menghentikan kalimatnya karena melihat sang putera menuruni tangga dalam keadaan rapi.
Sudah-sudah. Jangan bahas dulu wanita seperti itu pagi ini, bisa-bisa buat hilang mood, bahaya.” Tegas sang ayah yang juga melihat sang cucu menuruni tangga sembari tersenyum memainkan ponselnya.
“Pagi, Opa…pagi, Pa…” Demian mendekat dan menyalam tangan keduanya, lalu duduk meraih gelas yang berisi jus tomat favoritenya.
“Pagi, Cucu Opa…”
“Pagi, Nak…”
Demian duduk sebentar dan menggigit potongan sandwich yang telah di sediakan untuknya, dia lalu bangkit berdiri. “Pah, Demian berangkat, ya? Mama mana?” Demian celingak-celinguk mencari sang ibu yang biasanya setiap pagi setia mendampingi sang ayah sarapan pagi sebelum sang ayah ke rumah sakit untuk praktek sebagai seorang dokter spesialis bedah thorax terbaik di Indonesia.
“Mama kamu pergi pagi-pagi untuk mengurus yayasan. Kabarnya pagi ini, yayasan kedatangan menteri pendidikan dan memberikan penghargaan kepada yayasan.”
“Wah! Mama keren banget.” Demian sumringah mendapat kabar dari sang ayah.
Ziont juga bangkit dan melangkah ber-iringan dengan sang ayah dan anak.
Drrtt…drrttt…
Demian melirik ponselnya, terlihat nama sang kekasih di layar ponselnya. Demian menjarak dari kedua pria yang sangat berarti dalam hidupnya.
“Sayang, aku lagi sama kakek. Nanti, ya?” Setelah berkata demikian Demian mematikan panggilan itu. Baginya, ketika bersama keluarga inti Demian tidak akan memaksakan diri harus bertelponan mesra dengan sang kekasih.
Demian tampak menaiki mobil mewah sang kakek dimana asisten pribadi sang kakek sudah menunggu di mobil. Setelah pintu di buka, dia duduk di samping sang kakek hingga mobil melaju ke jalanan.
“Opa, tumben banget opa mampir ke rumah?” Demian menoleh kearah sang kakek untuk mencari jawaban dari wajah sang kakek yang tiba-tiba tersenyum kepadanya.
“Emang gak boleh, kalai opa kerumah kamu trus kita ngantor bareng?” Balasan tatapan mata sang kakek yang mengetahui jika cucunya sedang menyelidiki maksud kedatangannya.
“Bukan tentang boleh gak boleh, sedikit mencurigakan aja buat Demian…”
Demian menatap sang kakek yang tengah menebarkan senyum misteri.
“Opa cuma pengen saja ngantor bareng kamu. Siapa tahu umur Opa ternyata sampai di sini. Meski belum melihat kamu menikah dengan wanita yang opa siapkan. Tapi opa ikhlas dan percaya bahwa cucu opa tidak akan pernah mengecewakan opa.” tegas sang kakek dengan sudut mata melirik kearah sang cucu dan menikmati reaksi wajah sang cucu kesayangannya yang akan dia percaya menjadi penerus Livingston Group.
“Hmm…sudah Demian duga. Pasti ada maksud tersembunyi. Swan Arthur Livingston!” Seru Demian di bubuhi tawa menggelegar mengejek sang kakek.
“Kamu bisa aja.”
“Demian udah kenal watak opa gimana.”
Karena maksudnya sudah tersampaikan pada sang cucu, tuan Swan memperbaiki duduknya dan menoleh kearah sang cucu.
“Trus, gimana tanggapan kamu?” Sorot mata tua yang penuh rasa penasaran itu ingin mengetahui isi hati sang cucu yang duduk di sampingnya pagi ini.
“Apanya yang gimana?” Demian pura-pura mengotak-atik ponselnya seolah sedang sibuk.
“Ya tentang pernikahan kamu dengan wanita pilihan opa?” Tuan Swan tampak sangat berhati-hati dalam membahas. “Rencananya opa ingin mempertemukan kalian terlebih dahulu. Selama ini kamu hanya melihat dia lewat foto yang opa berikan, bukan?”
‘Emang apa bedanya sama foto? Dasarnya p****t panci yang ribuan abad gakdi cuci ya tetep aja sama, item! Emang bisa dalam hitungan tahun trus berobah jadi putih bersih kaya kulit Prilly? Ya-gak mungkin lah! Si buruk rupa bakalan tetap jadi buruk rupa.’
Keluh Demian dalam hati, tapi pagi ini dia tidak ingin merusak suasana sehingga kalimat yang dia lontarkan tak menyakiti hati sang opa.
“Tidak perlu ketemu opa. Justru takutnya dengan ketemu makin buat Demian ilfil. Lagian kalau jodoh gak akan kemana. Siapa tahu justru jodoh yang sudah Allah ciptakan adalah Prilly.”
Baru saja mendengar sebuah nama di sebut, sang kakek langsung menarik nafas panjang dan menghembuskannya. “Terserah padamu saja mau bagaimana. Yang jelas salah satu cita-cita opa adalah melihatmu bersama gadis itu. Dan menikah dengannya adalah WAJIB HUKUMNYA. Mau pacar kamu seratus sekalipun tidak masalah. Selama wanta yang kamu halalkan adalah wanita pilihan opa.” Tegas sang kakek dan akhirnya membuat perjalanan menjadi hening. Hingga mereka tiba di kantor dan menyelesaikan rapatnya, mereka terkesan menghindar. Hingga Demian berpamitan untuk pulang.
“Demian pamit pulang, Opa…”
“Hmm.” Sang kakek menyahut tanpa melihat sang cucu dia fokus dengan tumpukan kertas di atas meja. “Besok pagi, kamu luangkan waktu untuk mengisi kuliah pagi di Wiyasa University. Begitu sampai kampus, kamu temui saja rektornya. Nanti Adrian akan mengirim nomornya ke kamu…” tidak ingin menunggu lama, tuan Swan yang sedang merajuk menoleh kearah Adrian yang berdiri tak jauh dari meja kebesaran tuan Swan “Adrian. Berikan Demian nomor kontak Rektor Wiyasa University.”
“Baik, Tuan.” Adrian dengan sigap meraih ponsel dari dalam saku celananya. “Sudah, Tuan.”
“Kamu lihat saja, dan kamu hubungi nomor itu.” Tanpa menoleh sedikitpun kearah sang cucu, membuat Demian menyadari jika sang kakek sedang sensitif.
“Baik, Opa. Demian pamit…” Demian mengulurkan tangannya dan ingin menyalam sang kakek, tapi sang kakek tak merespon dan masih terus menanda tangani berkas yang ada di mejanya.
“Hmm. Pergilah, opa sedang sibuk.”
“Baik, Opa.” Demian melangkah meninggalkan ruangan kantor yang mewah menuju lift yang menghubungkan lantai dimana mobilnya terparkir.
“Kamu dengar sendiri Adrian. Cucuku itu masih terpesona dengan wanita yang tidak bisa menjaga harga dirinya. Apa harus aku menunjukkan bagaimana sifat asli wanita binal itu?” Keluh tuan Swan yang telah menyelediki dengan menyeluruh identitas dan aktivitas kekasih cucunya.
Adrian hanya terdiam menunduk seperti biasa keika tuan Swan sedang kesal.
“Aku tidak melarang dia menikah dengan wanita level apapun. Yang terpenting adalah menjaga norma dan etika. Aku juga sudah menyerah untuk menjodohkan cucuku dengan Farzana. Melihat cucuku begitu menghina Farzana seperti p****t panci, membuatku terasa sakit. Tapi, dia cucuku. Cucu kandungku yang wataknya sama kerasnya denganku.”
“Informasi terbaru, Prilly memilih mengikuti audisi untuk brand ambasador sebuah pakaian dalam, Tuan.” Adrian melangkah maju dan memberikan ponselnya dan memberikan data perkembangan mengenai kekasih cucu yang akan menjadi pewaris perusahaan raksasa di Indonesia.
“Nah! Kamu lihat. Bagaimana jika hubungan mereka tercium media? Dimana harga diriku? Model murahan memacari cucuku?” Keluh sang tuan sembari menarik nafas berat. “Kamu pastikan tidak ada satupun pemberitaan atau apapun itu yang menyangkut pautkan antara Demian dengan model porno seperti itu. Jangan sampai lengah tentang ini. Aku tidak mau nama Livingston Group atau Demi TV yang selama ini mendapat citra baik akan hancur hanya gara-gara model seperti itu.”
“Baik, Tuan,”
***
“Sayang…kamu kenapa seharian gak ada kabar sih?” Rengek sebuah suara manja di pelukan Demian.
“Aku seharian bareng Opa, kami rapat pemegang saham, Sayang. Kenapa? Kamu kangen ya?” Demian menggeser tubuhnya lalu menatap wajah cantik di hadapannya.
“Kangen banget, sampai mau mati rasanya…” rengek Prilly lagi, dia mendaratkan sebuah kecupan di pipi sang kekasih.
“Bisa aja kamu…” Demian membalas ciuman sang kekasih. “Gimana kerjaan kamu hari ini? Katanya mau ada jadwal ketemu brand?”
“Ohh, itu. Iya, Sayang. Jadi aku bakalan ikut seleksi pemilihan brand ambasador untuk pakaian dalam, Yang…” wajah sumringah Prilly manakala menceritakan kemajuan pekerjaannya sebagai model.
“Pakaian dalam? Maksudnya kamu mau ikut itu?” Demian menegang sejenak menatap sang kekasih. “Janganlah!” Imbuhnya lagi.
“Sayang…ini cuma batu loncatan buat aku aja. Dengan aku bisa lolos seleksi ini, aku bisa go internasional, Sayang. Karena ini kan brand dari Amerika.” Prilly berapi-api menceritakan pekerjaannya, hingga membuat Demian merasa sesak.
“Tapi, itu pakaian dalam loh, Yang. Otomatis nanti mereka foto badan kamu dong? Gaklah, gak.” Tegas Demian lagi tidak setuju dengan pilihan pekerjaan yang di ambil sang kekasih.
“Kok enggak-sih, Yang? Ini untuk karier aku. Prestasi banget loh kalau aku bisa masuk. Dan ini impian aku. Apasih salahnya mereka melihat tubuh aku? Orang di pantai juga melihat tubuh aku. Tergantung bagaimana maindset orang itu saja. Kamu jangan ikutan kolot kaya mereka dong, Yang.” Tegas Prilly tidak terima sang kekasih menolak keinginanya.
“Iya, tapi masih banyak loh job pemotretan lain. Kalau perlu aku buat event di TV biar kamu bisa ikutann. Tapi jangan pakaian dalam lah. Mana pakai seleksi lagi.” Demian tetap pada pendiriannya.
“Kamu apa-apa gak boleh. Semua gak di izinin!” Protes Prilly lagi.
“Sayang…kalau kamu butuh uang, aku bisa kasih ke kamu. Berapa yang kamu butuhin. Kamu minta mobil? Aku sudah belikan bukan? Kamu minta keliling Eropa pakai kapal pesiar? Aku sudah kabulin bahkann sampai aku bertengkar dengan keluargaku. Kurang apalagi?” Demian merasa dia sudah memberikan semua yang di inginkan sang kekasih.
“Kamu aku ajakin tidur, kamu gak mau!”
“Kita sering tidur bareng, Yang. Dimana letakaku gagk mau?” Demian tidak mengerti arah pembicaraan sang kekasih.
“Bukan sekedar tidur. Tapi berhubungan intim! Aku pengen, Yang. Aku sangat-sangat pengen.”
Demian menarik nafasnya lalu mencoba kembali bersabar. “Yang, untuk yang satu itu adalah prinsip. Dan aku berprinsip tidak akan ada hubungan badan sampai kita halal. Dan itu tidak bisa di ganggu gugat. Yang lain aku bisa berikan tapi tidak dengan melakukan hubungan intim.” Tegas Demian lagi.
“Kalau gitu, izinkan aku ikut seleksi kali ini. Aku janji gak akan nuntut apapun lagi ke kamu, Yang?” Tatapan mata manja milik Prilly memang selalu menggoda, hingga akhirnya Demian luluh seperti biasa.
“Hmm…tapi sekali ini aja, ya? Nanti kalau kita menikah, kamu janji gak akan aktif model lagi. Kalau kamu mau, kamu bisa mengisi acara di Tv aku, Sayang. Aku akan meminta team buat acara kamu…” bujuk Demian karena merasa tidak terima jika tubuh sang kekasih di lihat banyak orang.
‘Aku bukan gak mau ngisi acara di tv kamu. Tapi nanti apa tanggapan keluarga kamu yang matre itu. Pasti mereka bilang aku nebeng popularitas ama keluarganya, dan jatuhlah harga diri aku. Mending aku berjuang sendiri aja dulu. Begitu aku terkenal, aku akan menghadap ke keluarganya. Setidaknya aku bisa menyombongkan diri sedikit.’
“Oke, Sayang. Aku janji…” Prilly memeluk sang kekasih dengan erat. “Terimakasih, Sayang. Kamu yang terbaik emang. Makin cinta ama kamu…” bisik Prilly melirik kearah Demian yang terlihat sedikit lesu.
“Sayang…kamu kok lesu?” Prilly meatap penuh selidik.
“Ahh, enggak sayang. Aku cuma kepikiran besok aja…” keluh Demian memandang jauh. Prilly memandang Demian lekat.
“Kenapa sayang?”
“Besok aku ngisi kuliah pagi, padahal aku ada jadwal nganterin kamu…” Mendengar itu Prilly tertawa. Padahal bukan itu yang di resahkan Demian, Demian hanya resah memikirkan perjodohan yang memang harus jika dirinya masih mau tergabung dalam keluarga besar Livingston. Di tambah lagi permasalahan Prilly yang barusan dia minta izin buat ikut seleksi model pakaian dalam. Tentu saja itu sangat meresahkan bagi Demian. Mengisi kuliah umum adalah alasan klise untuk menutupi kegundahan hatinya, tapi Prilly pasti percaya. Karena yang di butuhkan Prilly bukanlah perasaan Demian, tapi persetujuan sang kekasih. Dia merasa jika sang kekasih sudah setuju semua akan lancar untuknya. Karena dia tahu sang kekasih tidak akan tinggal diam melihat dirinya ikut seleksi. Begitulah kelicikan kekasih Demian ini yang pintar melihat peluang dan sitausi. Yang pertama dan paling utama adalah dia pintar menahlukan hati Demian.
“Ahh…cuma kuliah pagi. Aku kira apaan. Yaudah kamu lanjutin aja pekerjaan kamu, Sayang. Aku besok bisa pergi bareng Nirmala seperti biasa. Dengan adanya Nirmala itu emang sangat membantu aku banget. Jadi kamu gak perlu kawatir ya, Sayang?”
“Beneran kamu gak pa-pa?”
Prilly mengangguk perlahan. “Sayang, aku malam ini gak nginep di sini, ya? Aku mau hang out sama temen lama aku yang baru balik dari luar negeri…” Demian menggeser tubuhnya dan menatap ke arah sang kekasih.
“Kenapa kamu gak bilang, Sayang? Kalau kamu mau ketemu temen kamu. Kamu bisa langsung temuin dia gak perlu mampir dulu kesini…” Prilly menebarkan senyum manis dalam hati dia menggerutu.
‘Lagian ya, tidur di sini juga percuma banget, wong cuma numpang tidur doang. Emang sih ini apartement dia. Tapi ngapain coba kalau tidur bareng pacar trus numpang tidur doang? Gak lucu banget.’
“Aku udah janji mau kesini, bukan? Tentu aku prioritaskan kamu…”
“Yaudah, kalau emang kamu mau nemuin temen kamu, buruan gih siap-siap…” Prilly bangkit dan memperbaiki pakaiannya yang tadi sengaja dia lepas beberapa bagian demi memancing sang kekasih agar bisa meniduri dirinya, sayangnya Demian adalah orang yang tegas dan berprinsip. Dia tidak mau menikmati kebersamaan sebelum malam pertama. Dan ternyata hal itu membuat Prily merasa kesal.
Demian juga bangkit, dia mengancingkan kembali kemejanya yang tadi di buka oleh sang kekasih.
“Yudah, aku temuin temen dulu ya?” Pamit Demian sembari mengecup dahi Prilly. Hingga membuat Prilly menautkan dahinya melihat ekspresi wajah Demian.
“Kabari aku ya sayang. Aku mau tidur…” Prilly menguap seolah dia sedang ngantuk berat.
“Pasti, Sayang. Kamu mimpi indah, ya?” Demian merangkul pinggang mungil sang kelasih sembari berjalan menuju pintu apartement.
Sepeninggal Demian, Prilly tampak menghubungi seseorang. “Kamu dimana? Aku takutt…” isaknya membuat suara di seberang panik.
“Kamu dimana?”
“Aku di apartement. Tadi ketiduran, dan mimpi buruk. Aku di kejar-kejar tiga orang pria dan mereka mau membunuhku. Tolong dateng please, aku takutt…” rengek Prilly pada penelpon di seberang.