Apel

1284 Kata
Karena tubuh Ellie sedikit mungil, kedalaman air kolam mencapai leher Ellie. Namun hal itu bukan masalah. Ellie masih bisa melihat ke bawah dengan jelas karena air yang sangat jernih. Ellie memulai dengan pijatan pelan, dari lutut turun sampai ke ujung jari. Dengan lihai, jari jemari Ellie menjelajahi otot, menyentuh bagian telapak kaki mencari titik syaraf, dan menekannya perlahan. "That's.... nice," desah Raven. Tidak ada yang salah dengan syaraf Raven, jadi dia masih bisa merasakan sentuhan tangan Ellie. "Jangan bersuara!" Tanpa sadar Ellie, menegurnya dengan sedikit keras. Dia harus berkonsentrasi menemukan titik syaraf yang tepat. Konsentrasinya buyar, begitu Raven mendesah. Raven menegakkan tubuh, kaget dengan teguran Ellie. Tapi Ellie yang sudah kembali berkonsentrasi, tidak mempedulikan reaksi Raven. Ellie mengangkat kaki Raven sejajar dengan air, lalu menekuk telapaknya keluar beberapa saat. Dia mengulangnya berulang kali untuk membiasakan otot kaki Raven bergerak. Sesi kedua ini lebih damai, karena Raven sudah belajar untuk menutup mulut. Mungkin hanya hati Ellie yang jauh dari kata damai. Dengan posisi itu, dia 'terpaksa' harus memandang ke arah Raven, tidak mungkin menghindar." Ellie terus berusaha menatap ke bawah, tapi sekaligus dia tidak mungkin meraba kaki Raven sembarangan. Dia harus menekan titik syaraf tertentu dalam sesi ini. "HHhhh...." Ellie mengambil nafas panjang, untuk mengumpulkan akal sehat. Sesi ini tidak akan pernah berakhir jika dia terus terhanyut oleh kenangan yang menurutnya tidak indah itu. Setelah berjuang memerangi kegilaan, Ellie berhasil berkonsentrasi. Dengan pasti, Ellie mulai melakukan pijatan, dengan intensitas tekanan yang lebih kuat. Raven merasakannya, karena kakinya berdenyut menyakitkan akibat pijatan itu. Tapi dia hanya mengatupkan bibir rapat-rapat, tidak ingin mendapat bentakan lagi karena berisik. *** Setelah satu setengah jam berkutat dengan kaki Raven, Ellie mengakhiri sesi latihan. "Saya akan memanggil Marlow." Ellie yang sudah keluar dari kolam, dan menyeka air yang menetes dari tubuhnya. "Handuk!" Raven bergumam dengan gigi gemeletak. Meski tempat itu tertutup, tapi masih ada angin dingin yang bisa menerobos. "Sebentar." Ellie mengambil salah satu handuk besar yang telah disiapkan Sophie di meja sebelah pintu masuk, lalu menyelimutkannya ke tubuh Raven dari belakang ke depan. "Ah.." Ellie terkesiap, saat tiba-tiba Raven menyambar tangannya, mencengkramnya erat. Dengan gerak reflex, Ellie menyentaknya, berusaha melepaskan diri. Posisinya yang tadi berdiri membungkuk, kini berlutut, mengikuti tarikan Raven. "Tenanglah....Aku hanya ingin tahu apakah aroma menyenangkan ini benar-benar berasa dari tubuhmu," kata Raven, menghentikan usaha Ellie untuk menarik tangannya. Permintaan Raven otomatis terkabul. Karena saat kalimat itu mencapai telinga Ellie, tubuhnya meleleh. Suara berat Raven yang terdengar seperti bisikan, menghangatkan seluruh tubuh Ellie dalam waktu satu detik. Ellie hanya bisa melihat, saat perlahan Raven menarik tangannya ke mulut. Raven mengendus, menghirup aroma Ellie, dengan nafasnya yang hangat. "Ternyata benar-benar kau...Aroma ini.." Raven tidak meneruskan kalimatnya. Dia melepas tangan Ellie sambil memalingkan wajah. Ellie bergegas menarik tangannya, dengan nafas tertahan. Tubuh Ellie menggelenyar hangat, seolah bukan hanya tangannya saja yang disentuh oleh Raven. "Panggil Marlow," kata Raven. Nada memerintah yang tegas itu berhasil menarik kesadaran Ellie. Dia bergegas berlari masuk, sebelum otaknya ikut meleleh dan menjadi bodoh. Tak lama, Marlow datang diikuti oleh Ellie. Setelah kejadian tadi, Ellie sebenarnya ingin langsung kembali ke kamar, tapi ada beberapa hal yang harus dia sampaikan pada Raven. "Mr. Wycliff, untuk sekarang ini, saya mohon jangan mencoba untuk menggerakkan kaki, atau berusaha mengerahkan otot kaki anda untuk mengangkatnya," kata Ellie, sambil berusaha tidak memandang ke arah Raven, yang sedang merapikan diri di kursi roda, masih dengan bantuan Marlow. Tubuh Raven bagian depan tidak untuk dipandang dalam waktu lama pada jarak dekat. "Kenapa? Bukankah tujuan latihan ini agar kakiku bisa bergerak?" Raven mengerutkan kening. "Otot anda sangat lemah dan sensitif saat ini, karena saya ingin menguatkannya sedikit demi sedikit. Jika anda memaksakan gerakan, mungkin akan robekan otot yang justru membutuhkan perawatan lagi. Selama anda terus berada di kursi roda saya kira tidak akan masalah." Raven terlihat tidak puas. Bibirnya menipis dan dahinya berkerut. "Sejak awal saya sudah menegaskan jika latihan hydrotherapy akan berat, dan Anda sudah bersedia bekerjasama. Jadi saya mohon Anda menepati janji itu. Jika saatnya nanti, latihan kita akan berkonsentrasi pada latihan gerak. Saat itu anda boleh bergerak sesuka hati." "Marlow, aku tidak salah sengar bukan? Apa Hazel baru saja menegurku?" Pada saat seperti itu, Raven terdengar seperti anak kecil yang mengadu pada orang tuanya, karena ditegur oleh guru. "Benar Mr. Wycliff, tapi kali ini saya ada di pihak Hazel." Marlow terkekeh, sambil mendorong kursi roda masuk ke dalam rumah. "Dia baru sehari di sini dan kau berpihak padanya?" Ellie tidak mendengar sisa percakapan itu, karena kakinya tidak ikut bergerak mengikuti mereka. Dia masih dalam tahap memulihkan diri. Dan tentu saja Ellie memaki dalam hati, menyesal karena suara Raven begitu mudah mempengaruhi tubuhnya. *** "Kau terlihat lelah. Apa Mr. Wycliff menyusahkanmu?" tanya Sophie, sambil mengangkat piring makan malam Ellie yang telah kosong. Ellie lebih banyak diam selama makan. Dia hanya menanggapi seadanya lelucon yang dilontarkan Marlow. "Ah tidak. Aku hanya sedang menyusun jadwal latihan di sini." Ellie menunjuk kepalanya. "Apa harus sekarang? Kenapa kalian suka sekali berpikir soal pekerjaan saat makan malam? Orang lain akan berpikir kalian diperbudak, " kata Sophie, sambil menunjuk Ellie dan Jasper bergantian. Matanya melotot galak. Jasper hanya tersenyum, tapi dia menyingkirkan ponsel dari hadapannya untuk menghormati teguran Sophie. "Kau juga. Santailah sedikit. Kau sudah hebat. Aku belum pernah melihat ada wanita yang berani menegur Mr. Wycliff secara langsung." Marlow mengacungkan jempol pada Ellie. "Kau apa?" Jasper terlihat benar-benar kaget. Perhatiannya benar-benar teralihkan sekarang. Dia memandang Ellie dengan tertarik. "Kalian semua seharusnya melihat bagaimana serunya perdebatan itu. Hazel sama sekali mempedulikan wajah seram Mr. Wycliff dia terus menyuruhnya untuk patuh." Marlow terkekeh sambil menyesap minumannya. "Kau seharusnya merekamnya." Sophie yang sudah kembali ke meja makan membawa pencuci mulut, ikut bersemangat. "Jangan berlebihan. Aku hanya menerangkan apa yang seharusnya. Kondisi Mr. Wycliff sudah terlalu lama dibiarkan seperti itu. Aku harus memastikan latihannya berjalan sempurna atau kondisinya semakin memburuk." Ellie mencoba untuk meredakan suasana yang menurutnya berkembang di luar batas itu. Dia hanya melakukan pekerjaannya tadi. Pujian itu terdengar berlebihan, padahal dia sendiri sering kehabisan nafas saat bersama Raven. Tapi tanggapannnya terlalu serius. Suasana santai makan malam di bunuh oleh Ellie dengan sekali lemparan batu. "Kami hanya bercanda Hazel. Kau serius sekali. Sepertinya kau butuh liburan setelah ini," kata Sophie sambil menepuk punggung Ellie pelan. Sophie tersenyum geli, melihat Ellie kebingungan karena mendadak semua diam. "Maaf" Ellie tersenyum canggung. "Sophie, apa kau membuat pie apel?" Jasper yang baru saja memotong pie yang dihidangkan Sophie, kembali terlihat kaget. "Memang kenapa?" Ellie heran. Tidak ada yang salah dengan pie itu. Pie itu lezat sekali, tidak terlalu manis, dan kulit luarnya begitu lembut. Ellie menikmatinya. "Mr. Wycliff benci apel," kata Jasper. "Oh..."cEllie sekarang mengerti kenapa Raven begitu tertarik dengan aroma parfumnya. Dia membencinya. "Tapi dia menyebut aromaku menyenangkan!" Ellie membatin dengan tanda tanya besar di kepala. Ellie masih ingat saat Raven menyebut aromanya menyenangkan saat dia mengendus tangannya tadi siang. "Mungkin selera Mr. Wycliff kembali berubah. Tiba-tiba dia menginginkan pie apel tadi. Untung aku masih punya persediaan....." Pip..Pip..Pip! Mereka semua menoleh saat telepon yang menempel di sebelah kulkas berbunyi. Itu panggilan dari kamar Raven. Karena tangannya masih memegang nampan minuman, Sophie memencet tombol loudspeaker dengan sikutnya. "Mr. Wycliff?" "SURUH HAZEL KE SINI!" Bentakan itu membuat Ellie melonjak dari kursi. Raven tidak mengatakan hal lain. Setelah bentakan singkat itu, dia memutus panggilan begitu saja. Semua yang ada di meja makan, memandang Hazel dengan mata simpati. Seolah Hazel baru saja kehilangan anggota keluarga. "Tenanglah. Mungkin Mr. Wycliff hanya ingin menanyakan soal detail latihan" Jasper mencoba untuk menghibur Ellie, meski dia sendiri seratus persen yakin Raven memanggil Ellie bukan untuk beramah-tamah. "Lewat sini saja." Sophie menunjuk pintu lift yang terletak tidak jauh dari kulkas. Ellie bisa sampai lebih cepat ke lantai tiga. Mungkin dengan begitu amarah Raven sedikit berkurang. Sambil menundukkan lesu, Ellie memencet tombol lift.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN