Makan Siang

2354 Kata
"Jadi kenapa sih Je? Tumben banget gitu ngajak gue ngobrol berdua tanpa Lisa sama Suzy." Sherly bertanya sambil memakan udon yang baru diantar oleh ojek online. "Ng...jadi gini...." Sherly menyibakkan rambut yang menutup sisi wajahnya, lalu menyelipkan di telinga, agar dia bisa mendengar jelas apa yang Jennie katakan. "Tapi...lo jangan bilang ini ke Lisa sama Suzy ya?" "Lo kenapa sih, dari tadi, lo ngelarang gue bilang ini ke Lisa ama Suzy, lo mau ngegibahin mereka? Tumbenan banget lo Je, ngegibahin temen sendiri." "Enggak...bukan gitu...gue nggak mau ngomongin Lisa sama Suzy di belakang kok. Ini tuh masalah lain, ga ada hubungannya sama Lisa dan Suzy." "Nah terus? Kenapa lo mesenin gue mulu jangan sampai Lisa sama Suzy tahu?" "Soalnya ini soal Beha...." "Beha?!" Sherly mengulang kata-kata Jennie. "Maksudnya gimana?" Sherly bergerak, duduk lebih dekat pada Jennie. Jennie menghembuskan napas, seolah ada sesuatu yang menekan dirinya. "Gue ngerasa bersalah sama Beha, gara-gara gue nginep di kantor waktu itu, dia jadi kena skorsing. Tapi gue nggak bisa cerita ini sama Suzy sama Lisa, tahu sendiri kan mereka beranggapan ya udah sepantesnya Beha kena skorsing. Mereka beranggapan Beha yang nyebarin gosip itu, tapi gue ngerasa, Beha nggak kayak gitu." Sherly mengangguk-angguk paham. "Gue juga ngerasa itu nggak adil sih buat Beha, tapi ya gimana, gue nggak ada wewenang buat ngerubah keputusan skorsing Beha. Lisa udah mutusin buat skorsing Beha dan udah disetujui sama Bu Grace." "Padahal, sebenernya, Beha nggak perlu diskors. Gara-gara Chandra sih ini." "Pak Chandra tuh kayak sebel banget sama Beha kalau gue liat. Kenapa ya?" celetuk Sherly. Jennie mengedik. "Nggak tahu. Ya mungkin kayak yang Suzy bilang, Beha dianggep mengusik ketenangan divisi pimpinannya Chandra." "Terus, sekarang Beha gimana sih keadaannya?" "Kata Lay, Beha pulang kampung sementara diskors. Gue pengen sih ngasih dia kompensasi gitu, cuma takutnya dia tersinggung." "Gini aja deh Je, pas dia udah balik ke kantor, lo coba deh cari waktu buat ngomong sama dia. Lo bilang aja minta maaf dan merasa nggak enak sama kejadian ini, Beha jadi dapat skorsing. At least, gue pikir keadaan lebih membaik kalau lo ngomong sesuatu sama Beha ketimbang cuma diem. "Gitu ya Sher?" "Ya gue rasa sih gitu," bales Sherly sambil memakan udon-nya. "Tapi...gimana kalau Beha ngehindarin gue? Kan bisa aja dia sakit hati sama gue?" "Ya itu bisa juga sih, tapi yang penting dicoba dulu aja sih. Kan belum tau juga dia gimana reaksinya, yang penting kita ada niatan memperbaiki silaturahmi. Aseq!" Sherly tertawa kecil lalu kembali memakan udon sampai tandas. "Udah kenyang nih gue, makanan gue juga udah habis. Gue pulang deh ya?" "Nggak nginep sini aja Sher?" "Hgh...enggak deh. Lo masih mau curhat emang?" "Ya enggak sih...tapi kan seru kalau lo tidur di sini. Emang di apartemen lo ada siapa sih?" "Ada deh...cowok baru gue. Hehehe. Gue emang nggak bilang-bilang abis, tiap gue cerita punya pacar yang ada gue dibully mulu," curhat Sherly. Jennie menatap Sherly. "Sorry ya Sher, kalau gue juga sering nyerang lo soal hubungan lo sama pacar lo. Gue beneran nggak maksud ngolok lo atau bikin lo down, gue cuma nggak pengen lo sedih dan hancur gara-gara pacar lo kayak yang beberapa kali terjadi." "Santai aja lagi. Iya gue ngerti, gue entah deh kenapa selalu berakhir sama cowok blangsak tapi ya gitu...mungkin gue terlalu b**o apa gimana ya?" Sherly garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal. "Sher, pokoknya, apapun yang terjadi, lo harus cerita sama gue. Gue tahu mungkin tanggepan gue bakalan nyebelin bagi lo, tapi itu karena gue sayang sama lo. Lo sahabat gue dan gue nggak pengen lo sedih karena cowok-cowok nggak tahu diri itu." "Thanks, Je. Iya gue ngerti kok." "Well, udah malem nih, gue cabut sekarang ya? Kalau lo perlu cerita lagi, kasih tahu aja." Sherly beranjak dari tempatnya duduk dan mengambil tasnya. "Gue cabut dulu ya Je?" pamit Sherly yang ditanggapi anggukan oleh Jennie. Jennie menutup pintu apartemennya setelah Sherly pergi, ada sedikit rasa lega dirasakannya setelah bercerita tentang kegundahannya pada Sherly. Dia berharap, setelah dua minggu, dia bisa ketemu sama Beha dan mengatakan apa yang seharusnya dia katakan. Tapi...Jennie baru ingat, bagaimana dengan insiden ciuman itu? Jennie masih merasa tengsin berat, kalau inget kejadian itu, dia nggak yakin bisa nemuin Beha. Niatnya untuk nemuin Beha setelah Beha balik dari kampung terasa mentah lagi, karena dia nggak bisa nemuin Beha setelah dia nyium Beha duluan malam itu, dan paginya malah mencak-mencak sama Beha. Ah, bener-bener kacau. Jennie nggak bisa cerita tentang hal ini ke Sherly juga. Ini tuh, rahasia sekaligus aib. "Ah, udahlah, pura-pura nggak tahu aja!" Jennie menggumam sendiri, memutuskan tidak melakukan apapun saat Beha pulang dari kampung nanti. "Lagian, gue kan nggak wajib minta maaf. Yang bikin dia diskors kan bukan gue, tapi Chandra, sama Lisa yang bikin surat keputusan." Jennie kembali menggumam, membenarkan keputusannya. "Udahlah, pusing gue!" Jennie masuk ke kamar dan memilih melupakan segala sesuatu soal Beha meski nggak sepenuhnya bisa. *** Hari-hari berlalu, Jennie melaluinya dengan kesibukan di kantor, pekerjaan menumpuk dan kehadiran Chandra yang meski menyebalkan tidak bisa dihindarinya, karena Chandra pimpinan divisi tempatnya bergabung. Semuanya nampak baik-baik saja, meski tak jarang Jennie harus memendam dongkol karena Chandra, tapi so far, dia masih bisa mengendalikan diri dan tidak sampai nekat mengirim santet pada Chandra. Sesekali, dia masih kepikiran Beha, tapi berusaha mengabaikan pikirannya itu. Jennie beranggapan, yang sudah berlalu, biarlah berlalu, dan rencana yang dibicarakan sama Sherly buat ngomong dan minta maaf ke Beha, nggak jadi Jennie lakukan. Jennie pada akhirnya memutuskan buat pura-pura nggak tahu dan nggak peduli masalah Beha diskorsing itu. Saat Jennie tengah sibuk dengan data nasabah, telpon di mejanya berdering, tanpa mengalihkan tatapannya dari layar laptop, Jennie mengangkat telpon. "Je, lo udah makan belom?" Suara Suzy terdengar di seberang. "Belum sih, kenapa?" "Turun gih, kita makan. Gue, Sherly sama Lisa udah siap nih." "Emang, mau makan di mana sih?" tanya Jennie heran karena tidak biasanya Suzy mengajak makan siang secara khusus. "Kita mau makan steak." "Steak? Wih, ada angin apaan tetiba makan siang steak, biasa juga katering." "Ada deh. Buruan turun yok, keburu laper nih gue." "Ya udah, gue save dulu data yang lagi gue kerjain. Wait ya." "Buruan, jangan pake lama!" pesan Suzy sebelum dia menutup sambungan telpon. Jennie segera menyimpan file yang tengah digarapnya, mematikan laptop lalu melangkah turun ke lantai bawah di mana Suzy menunggu. Saat sampai di banking hall, Jennie hanya melihat Suzy. "Lisa sama Sherly mana?" Jennie menoleh kanan kiri mencari keberadaan Sherly dan Lisa. "Sherly nggak bisa keluar soalnya barusan head teller ijin pulang awal, anaknya jatuh di sekolah, jadi Sherly yang harus ngawasin teller. Lisa, lagi ada kerjaan, rekrutmen baru cleaning service," terang Suzy. "Lho kok...." Jennie agak heran, kenapa tadi Suzy bilang kalau Lisa sama Sherly ikutan makan siang, nyatanya kedua orang itu sibuk dan nggak bisa keluar makan siang bareng. "Ya udah yuk, buruan cabut." Suzy berdiri dan berjalan keluar banking hall menuju ke parkiran dan Jennie hanya bisa mengikuti Suzy meski dia sedikit bertanya-tanya mengapa Suzy mengatakan bahwa Lisa dan Sherly ikut makan siang tapi nyatanya enggak. Mobil yang dibawa Suzy melaju pelan meninggalkan gedung kantor NCB dan menuju sebuah mall. "Kita makannya di mana sih?" tanya Jennie saat mobil Suzy meninggalkan kantor. "Di mall aja sih, deket kok." "Tumben lo ngajak makan keluar berdua sama gue." "Ya lagi pengen aja. Suntuk tau di kantor mulu, mana target naik lagi. Target lo juga naik kan?" Jennie mengedik. "Nggak tahu, gue belum dapat pemberitahuan." "Kalau lo mungkin ga naik target deh secara lo dapat privilege dari Pak Chandra." "Privilege apaan sih? Sama aja kok." "Pak Chandra, kalau sama lo selalu longgar. Ga target juga nggak apa-apa, lo nggak masuk tanpa kabar juga nggak apa-apa, lo tuh dimanjain sama Pak Chandra, beda sama gue." Suara Suzy terdengar mengeluh. "Itu lo dapat kabar dari mana sih? Gue nggak ada lho dapat perlakuan khusus dari Pak Chandra." "Masa?" "Ya terserah kalau lo nggak percaya." Suasana jadi agak nggak nyaman sejak Suzy membahas soal privilege yang Jennie dapat. Jennie nggak ngerti kenapa Suzy bisa ngomong kayak gitu, mood makan siang juga seketika ambyar, ingin rasanya dia membatalkan makan siang sekarang. Tapi Jennie menahannya karena gimanapun juga Suzy teman baiknya, ya meski tuduhan Suzy bikin dongkol tapi Jennie berusaha memaklumi. Mereka berdua berjalan beriringan ke sebuah restoran western dan Jennie mengikuti Suzy tanpa minat masuk ke restoran. "Lo pilih deh menunya," ucap Suzy sambil melihat menu yang diberikan pelayan. "Beef steak medium rare," sebut Jennie tanpa melihat menu. Dia terlalu malas dengan kondisi sekarang, sejak tuduhan Suzy dan sebenarnya nggak mood lagi untuk makan. Selepas pelayan mencatat pesanan, Jennie memilih sibuk dengan ponselnya ketimbang bercakap dengan Suzy. Suzy sendiri juga terlihat sibuk dengan ponselnya, alih-alih merasa bersalah karena nuduh Jennie yang tidak-tidak soal perhatian khusus dari Chandra. Tidak lama, pelayan datang membawakan makanan yang dipesan, dan Jennie bermaksud makan secepat yang dia bisa agar bisa segera meninggalkan acara makan siang yang malah berakhir canggung ini. Ya...dia memang berteman cukup akrab dengan Suzy, tapi di antara Suzy, Lisa dan Sherly, Jennie paling nggak akrab sama Suzy, meski mereka berdua satu divisi. Mungkin, kepribadian mereka berbeda, dan juga zodiak yang nggak cocok—itu menurut pendapat Jennie. Kadang, Suzy juga suka ngomong sesuka hati dan sama sekali nggak ngerasa kalau omongannya bener-bener nylekit, tapi giliran orang ngomong soal dia, dan dia ngerasa nggak cocok wah, pasti langsung deh dia ngambeg. Jadi semacam kayak apa ya...kalau dia yang ngomong, orang nggak boleh sakit hati, tapi giliran orang ngomongin dia, harus hati-hati. Kan nggak fair, tapi ya namanya manusia, wataknya macem-macem, salah satunya ya kayak Suzy. Tengah mengunyah steak-nya, mendadak, Jennie kaget saat melihat seorang pria mendekati meja tempatnya duduk. Dia segera menelan steak yang ada di mulutnya dan meminum green juice untuk mendorong steak yang terasa agak nyangkut di kerongkongan. Gimana Jennie nggak kaget, pria yang datang menghampiri itu Archandra. Pertanyaannya, bisa-bisanya Chandra datang ke tempat ini? Kok bisa kebetulan banget gitu lho, dan pas Jennie menatap Suzy, anak itu sama sekali nggak terlihat kaget melihat kedatangan Chandra. Seketika, Jennie merasa bahwa ada suatu persekongkolan antara Suzy dan Chandra. "Hai, kalian sudah lama?" tanya Chandra, tanpa ragu mendaratkan tubuhnya di kursi di samping Jennie. "Kamu makan apa Je? Kayaknya enak?" Jennie mendengkus, tidak menjawab, dia tahu gesture itu tidak sopan dilakukan pada atasan, tapi Jennie kepalang jengkel. Pantas, Suzy mengatakan soal privilege, ternyata ini biang keroknya. Kemungkinan, Chandra mengatakan sesuatu, entah apa dan membuat Suzy menyimpulkan Chandra memberinya privilege. "Jawab dong Je. Pak Chandra nanya lho." Suara Suzy terdengar membuat Jennie semakin merasa kesal. "Gue kayaknya cabut duluan deh ya." Jennie meletakkan alat makannya dan mengambil tas. "Eh, Je, kamu mau kemana? Aku baru aja datang lho!" Chandra menahan lengan Jennie. "Iya, Pak, tapi aku ada urusan mendadak, mau ketemu nasabah." "Nasabah siapa sih? Biar nanti aku yang handle. Kita ngobrol dulu aja sini." Kalau nggak ada Suzy, Jennie pengen maki-maki Chandra, tapi nggak mungkin dia melakukan itu karena Suzy pasti akan bertanya-tanya kenapa dia sampai berani maki-maki Chandra yang notabene bos besar mereka. "Kayaknya, Pak Chandra lagi mau ngobrol sama Jennie ya? Kalau gitu, aku pamit duluan ya Pak." Suzy tiba-tiba berkata. "Oh iya...sorry jadi ganggu waktu makan siang kamu, Suzy. Saya janji, lain kali bakalan kirim makanan buat kamu." Suzy menyunggingkan senyum yang terlihat manis penuh kesopanan. "Iya, Pak Chandra, nggak apa-apa. Nikmatin waktunya ya, Pak." "Je, gue cabut duluan ya...selamat makan siang ya." Kali ini, Suzy melontarkan ucapan ke Jennie, yang justru bikin Jennie makin gedek. Dia hanya diam, terlalu malas menanggapi Suzy, jelas sudah bahwa Suzy dan Chandra bersekongkol, membawanya makan di resto ini, agar Chandra bisa mendekatinya karena sejak kejadian di X2, dia menghindar dari Chandra. Ya siapa juga yang nggak trauma dan risih setelah kelakuan Chandra yang menjijikkan itu? Jennie nggak peduli lagi, demi apapun dia harus segera melarikan diri dari Chandra sebelum pria itu melakukan hal parah seperti kemarin. "Jennie, kamu mau kemana?" Lagi-lagi, Chandra mencegah Jennie pergi. "Apa lagi sih?!" seru Jennie kesal. "Kalau lo macem-macem, gue teriak sekalian nih!" ancam Jennie. "Silahkan saja." Chandra justru menantang. "Aku cuma perlu waktu untuk bicara sebentar tentang kita. Jennie, sampai kapan kamu mau lari dari kenyataan dan menghindari aku?" "Siapa yang lari dari kenyataan? Harusnya lo yang sadar diri. Kita sudah nggak ada hubungan apa-apa lagi. Dulu lo bisa tuh pergi tanpa pamit begitu saja, kenapa sekarang jadi sok care gini?" Chandra menatap Jennie dengan air muka berubah. "Je, gue tahu itu salah gue, dan gue berharap bisa memperbaiki semuanya." "Lo bukan tukang reparasi, jadi nggak usah sok ngide!" ketus Jennie, sambil melangkah menjauh dari meja yang semula didudukinya. Chandra tentu saja tidak tinggal diam, dengan kaki panjangnya, lelaki itu dengan cepat menyusul Jennie dan menghentikan langkah Jennie menjauh. "Je, please, aku tahu perasaan kamu masih sama, kita masih punya hati yang sama. Kamu cuma masih terlalu marah sama aku karena kejadian di masa lalu." "Bisa nggak sih, lo nggak halu? Yang masih punya rasa sama lo tuh siapa? Enggak ada!" kesal Jennie. "Jangan mengelak Je, waktu di X2, kamu bales ciuman aku." Jennie hampir muntah saking muak dengan kepedean tingkat tinggi Chandra. Jennie di X2 membalas ciuman Chandra hanya agar lelaki itu terlena dan dia bisa membebaskan diri dari belitannya. Itu hanya sebuah taktik, bukan karena dia terjebak kembali oleh nostalgia. "Lo tau nggak kenapa gue bales ciuman lo waktu itu? Karena, gue nyari kesempatan buat lepasin diri dari jeratan lo! Jadi jangan gede kepala, lagian, heran sih, orang kayak lo bisa baper gara-gara ciuman? Enggak salah nih? Heart breaker selemah ini?" cibir Jennie sambil berjalan keluar restoran. "Je, aku nggak peduli kamu ngomong apapun, yang pasti, aku pengen kita kembali seperti dulu." "Kembali seperti dulu? Ngimpi!" ketus Jennie, sambil mempercepat langkahnya. "Je, aku pasti melakukan apapun agar kita kembali seperti dulu." "Chandra, stopped it. Kamu nggak perlu ngapa-ngapain. Perasaan gue udah nggak kayak dulu, gue juga bukan yang dulu, jadi, sebaiknya kita hidup masing-masing dengan tenang oke?" "Jangan ikutin gue, karena lo kayak penguntit." "Terserah apapun yang kamu bilang, aku akan tetap berjuang." "Whatever deh ya...." Jennie sedikit berlari kecil karena Chandra terus menempel mengikutinya. Dia berpikir keras bagaimana bisa melepaskan diri dari Chandra. Hingga dia melihat simbol cewek yang menandakan keberadaan toilet. Jennie mendadak memiliki ide untuk sejenak ke toilet, Chandra nggak mungkin ngikutin sampai toilet kan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN