Obrolan

2354 Kata
"Emangnya kenapa ya?" tanya Beha balik. "Nggak apa-apa sih, nanya aja." "Kamu nggak suka ya sama aku?" "Ehm...itu...." Beha gelagepan karena nggak nyangka bakalan dapat pertanyaan macem ini. "Kamu itu, mirip sama pacar aku," terang Jennie, membuat perasaan Beha anjlok seketika. Pacar? Meski kata-kata Jennie barusan lirih, tapi bagi Beha bagai petir menyambar. Meski begitu, Beha mencoba tersenyum walau pahit terasa di d**a. Ya...ini sudah bisa diprediksi. Harusnya, Beha tahu, wanita secantik Jennie nggak mungkin jomblo. Wanita secantik Jennie sudah pasti memiliki seseorang sebagai kekasih hati. Seseorang yang hebat, tampan, kaya, postur tubuh tinggi dan mempesona. Ya mungkin paling tidak seperti Pak Chandra, dan Beha juga harus sadar bahwa wanita kayak Jennie nggak bakalan membalas cintanya. Menghabiskan malam tidur di pantry, lalu saling mengecup hanyalah sebuah kesalahan dari efek berkurangnya kesadaran akibat mabuk, dan seharusnya Beha malu karena saat Jennie menciumnya, sebagai orang yang tidak berada dalam pengaruh alkohol, dia malah memanfaatkan situasi, jadi kalau soal siapa yang salah, tentu dirinya andil dalam kesalahan insiden itu. Sekarang, Beha juga jadi paham, Jennie yang mabuk malam itu, tidak benar-benar ingin menciumnya, tapi sangat mungkin Jennie pikir dirinya adalah pacarnya karena Jennie mengatakan Beha mirip dengan pacarnya. Jantung Beha mendadak terasa perih, dihunjam butiran jarum. Meski Beha tahu, dirinya dan Jennie adalah suatu kemustahilan, tapi tetap saja hatinya terasa sakit tanpa alasan. "Tapi ada bedanya sih." Jennie meneruskan kata-katanya. "Kamu masih ada di sini, sedangkan dia enggak." "Dia...udah nggak ada di dunia ini. Dia berjanji buat selalu ada nyatanya dia pergi, tepat setelah dia memberikan cincin pertunangan. Kejam sekali kan?" Air mata Jennie meluruh. Beha mendengarkan dengan seksama apapun yang Jennie ceritakan padanya. "Malam itu...aku mabuk dan ya...aku ngeliat kamu kayak dia. It was mistake. Aku salah karena itu aku melakukan sesuatu ke kamu." "Hem...." Beha berdehem dan menelan ludahnya kasar, gugup karena mengingat kejadian malam itu yang membekas di benaknya. "Sebenarnya itu bukan salah kamu. Aku harusnya bisa mencegah hal itu, karena aku nggak mabuk, tapi yang terjadi malah...." "We do it together." Jennie tertawa kecil. "Dan kita menikmatinya? Kamu gimana?" tanya Jennie yang ngebuat Beha tersedak salivanya sendiri. "Muka kamu merah banget Be!" Jennie meledek Beha dan kembali meminum strawberry milk di hadapannya. "Emang kamu baru sekali ciuman? Eh tapi kayaknya sih, kamu udah pernah ya?" tebak Jennie, membuat Beha semakin kelabakan karena pertanyaan-pertanyaan Jennie. "Bisa nggak jangan dibahas lagi...?" Beha memelas. Meski, dia cukup senang karena Jennie terlihat bisa ceria setelah melewati hari yang buruk. Jennie menatap Beha dengan tatapan geli. Dari segi umur lelaki itu lebih tua darinya tapi sepertinya dia terlihat sangat polos seperti anak SMA tahun sembilan puluhan, kalau anak SMA jaman sekarang sih ya...jangan ditanya, banyak yang udah ahli soal hal dewasa. "Sorry deh ya...tapi kamu tuh lucu sih, polos gimana gitu, jadi pengen nabok!" "Kok ditabok sih?" "Ya abis gemes!" seru Jennie sembari memakan lagi nasi gorengnya yang mulai dingin. "Mau dihangatin?" "Nggak usah, ngrepotin." "Nggak repot kok. Sini kalau mau dihangatin." "Nggak...nggak usah. Udah kamu makan aja!" suruh Jennie. "Ini nasi gorengnya beneran enak lho, kayak nasi goreng restoran terkenal. Kamu belajar masak di mana?" "Nggak belajar sih...cuma ya biasa masak sendiri sejak orangtua nggak ada." "Oh...orangtua kamu udah nggak ada?" Beha mengangguk. "Sorry, gue nggak tahu." "Nggak apa-apa kok." Suasana hening sejenak, Jennie dan Beha menekuri makanan yang ada di hadapan mereka masing-masing. "Be...aku berterima kasih banget karena kamu udah support aku. Kamu nganterin aku pulang, nemenin aku dan masakin aku makanan sepagi ini. Semua ini bener-bener ngebuat aku merasa lebih baik." Jennie membuka suara setelah suasana terlalu hening. "Kamu tahu ini sangat berarti banget buat aku, dan aku nggak tahu gimana caranya balas kebaikan kamu. Kamu, adalah orang baik yang aku temuin." "With all my heart, i say thankyou," ucap Jennie dan meski Beha selalu roaming saat Jennie ngomong pake bahasa Inggris tapi dia tahu pada intinya, Jennie mengatakan jika dia berterima kasih atas semua yang dilakukannya. "Aku rasa ini bukan hal yang besar. Sudah sepantasnya sebagai sesama manusia saling membantu kan?" "Tetep aja, aku harus bilang makasih." "Kalau gitu, sama-sama." "Eng...untuk kejadian itu, lebih baik kita simpen ya? Aku nggak mau kejadian itu bikin kamu susah, apalagi watak Chandra yang nggak bakalan mau ngaku salah." "Terus kamu ke depannya gimana?" Jennie mengedik, melemparkan pandangannya ke jendela dapur yang menampilkan gedung-gedung tinggi Jakarta. Dia nggak tahu bagaimana nasibnya dan bagaimana cara mempertahankan diri dari Chandra, tapi yang pasti dia tidak ingin menyerah. Jika ada yang harus pergi, itu adalah Chandra, bukan dirinya. Sikap Jennie membuat Beha merasa khawatir. Bagaimana kalau kejadian buruk itu kembali terulang? Dan bahkan lebih parah? Beha tidak bisa tenang memikirkan hal itu. "Je, kalau ada apa-apa jangan ragu bilang ke aku...." Jennie menoleh, menatap Beha. "Eng...maksud aku... kalau kamu ada kesulitan apapun, jangan ragu buat bilang ke aku. Aku bakalan bantu sebisa mungkin." Beha berusaha menyampaikan dengan kata-kata yang pas, karena pada kenyataannya, Beha juga nggak yakin bisa membantu Jennie apalagi kalau masalahnya berhubungan sama Chandra. "Thanks ya." "Kalau gitu, aku ke kantor dulu, udah hampir jam tujuh...kamu nggak ke kantor?" tanya Beha. "Nggak, aku mau rehat dulu. Makasih buat semuanya ya Be." Beha mengangguk, beranjak dari kursinya dan memakai jaketnya, berjalan ke pintu, sementara Jennie mengikuti. "Aku pergi dulu," pamit Beha. "Iya. Ati-ati." Jennie tersenyum dan melambaikan tangan, Beha berbalik dengan hati terasa sangat mekar. Otak halunya kembali membayangkan adegan ini sebagai adegan masa depan. Di mana dia, sebagai seorang suami berpamitan bekerja dan Jennie mengantarkannya semakin ke pintu saat dia mau berangkat kerja. Khayalan yang terlalu semu tapi Beha sudah cukup senang meski ini bukanlah hal yang nyata. Sepeninggal Beha, Jennie masuk ke kamar dan mengambil ponselnya, mengirimkan pesan pada Lisa untuk mengambil cuti selama satu minggu. Paling tidak, dia harus menenangkan diri, dia tidak bisa menghadapi Chandra sekarang. Usai mengirim pesan pada Lisa, Jennie berpikir hal apa yang bisa dia lakukan selama seminggu ini? Dia akan memiliki banyak waktu luang, sejenak menenangkan diri dan pikirannya. Dia berpikir untuk pergi berlibur, tapi, berlibur sendiri sepertinya tidak mengasyikan. Jennie jadi bingung, harus melakukan apa untuk mengisi satu minggu liburnya. Baru saja Jennie mau berleha-leha menonton serial favoritnya, ponselnya menjerit nyaring. Jennie tahu, siapa yang menelpon. Siapa lagi kalau bukan Lisa. Sobatnya itu selalu menelponnya jika Jennie mengirimkan pesan. "Je, lo sakit lagi?" tanya Lisa begitu Jennie mengangkat panggilan telpon. "Gue kurang enak badan aja sih. Mungkin stres, banyak kerjaan, perlu healing." "Lo beneran nggak apa-apa? Soalnya, kata Suzy, kemarin malam lo dipanggil sama Pak Chandra. Ada apa sih?" "Enggak ada apa-apa, cuma ya gitu deh gue dapat teguran karena performa kerja gue dianggep jelek dan juga gosip yang nyebar itu." "Wah, kan bukan salah lo juga kalau ada gosip itu. Jangan-jangan Pak Chandra jealous lagi sama lo. Kan dia naksir lo." Jennie hanya diam, terlalu malas menanggapi Lisa. Ya bukan salah Lisa juga sih, kan dia nggak tahu masa lalu seperti apa yang Jennie lalui dan kelakuan Chandra seperti apa kurang ajarnya. Wajar kalau Lisa masih memandang Chandra sebagai sosok sempurna. "Btw, lo sakit apa sih? Perasaan sering banget lo sakit. Lo nggak lagi ngehindarin Suzy kan?" "Ngehindarin Suzy? Ya enggak lah!" elak Jennie. Dia memang agak jengkel sama Suzy tapi nggak sampai yang pengen ngehindarin juga. "Soalnya, Suzy bilang ke Sherly, lo tuh ngambek sama dia, gara-gara Suzy mengkritik bahwa lo terlihat dianak emaskan sama Pak Chandra." "Ck, ya siapa yang nggak sewot dituduh kayak gitu. Anak emas, anak emas, emang gue jajanan penuh micin." "Cuma sih Je, jujur aja, Pak Chandra emang perhatian sih sama lo. Suzy bilang, dari semua AO yang targetnya nggak naik lo doang." "Wah, hoax, target gue naik coy, kata siapa nggak naik dan dapat keringanan." "Tapi, kata Suzy gitu. Pak Chandra sampai nyogok Suzy lho." "Nyogok gimana maksudnya?" "Ya dia sampai ngebantuin Suzy dapat target, asal Suzy bantuin dia buat deket sama lo. Kemarin, lo ketemuan kan sama Pak Chandra?" "Kok lo tahu?" tanya Jennie sekaligus akhirnya tahu kalau kemarin Suzy sama Chandra benar-benar bersekongkol untuk membuatnya bertemu Chandra. "Ya dari Suzy lah. Ecie...terus gimana? Udah deh Je, mending lo iyain aja, kurang apa lagi sih Pak Chandra, ganteng, mapan, udah sip banget lho." "Dia bukan tipe gue." "Hari gini, udahlah Je, nggak usah tipe-tipenan atau idealis, yang ada depan mata lo dulu aja, banyak lho yang pengen dapetin Pak Chandra, tapi dia naksir lo, kurang beruntung apa sih lo?" Jennie memijit keningnya pelan. Lisa nggak tahu bagaimana kelakuan Chandra yang sebenarnya dan kalau Lisa tahu, mungkin dia tidak akan mendukung Jennie dengan Chandra. Tapi, sampai kapanpun, Jennie bersumpah nggak akan pernah membuka rahasia apa yang pernah terjadi antara dirinya dan Chandra. "Jadi, lo nelpon gue sebenernya ngapain?" tanya Jennie mengalihkan pembicaraan. "Eh iya, lupa. Lo sakit beneran?" "Ya beneran lah, bentar lagi gue ke dokter, tar surat sakitnya gue kirim deh pake ojek online." "Bisa ke dokter sendiri? Atau gue kirim driver?" "Udah, nggak usah repot, gue masih bisa nyetir...eh...." Jennie baru inget mobilnya ada di kantor. "Kenapa?" "Nggak apa-apa, ini kaki gue gatel kayaknya digigit semut." Jennie beralasan tanpa mengatakan hal yang sebenarnya karena Lisa pasti akan terus bertanya kenapa mobilnya masih ada di kantor, dan bagaimana dia pulang semalam? Pokoknya apa yang terjadi semalam adalah rahasia, antara dia dan Beha. "Oh... ya udah deh Je lo istirahat dulu aja. Kalau ada apa-apa kabarin gue aja." "Oke sip, thanks." Sambungan telpon dari Lisa terputus dan Jennie meneruskan kegiatannya menonton serial favoritnya. *** "Eh Jennie sakit lagi tau!" ucap Lisa saat makan siang bersama Sherly dan Suzy. "Halah, Jennie mah biasa." Suzy menanggapi sambil memakan chicken drumstick. "Biasa gimana?" tanya Sherly nggak ngerti. "Ya biasa caper, udah berapa kali dia sakit bolak balik coba? Mentang-mentang Pak Chandra naksir dia." "Emang Pak Chandra beneran naksir Jennie?" Sherly berhenti makan. "Lo mah, berondong terus yang diurusin jadi kudet." "Ya kan gue nggak tahu, anak didik gue di frontline aja berapa biji, jadi gosip-gosip kelewat dong." "Iya, Pak Chandra naksir Jennie. Gue kemarin sampai dibantuin closing, asal gue bisa bawa Jennie makan siang bareng Pak Chandra." "Terus?" tanya Sherly yang belum tahu soal kejadian Suzy membawa Jennie makan di mall. "Jennie marah tau!" ucap Lisa. "Marah gimana?" "Dia marah sama gue, nggak tahu deh ya...gue kan nggak bermaksud jahat, tahu sendiri Pak Chandra tuh high quality gitu, gue pikir Jennie bakalan cocok dong sama Pak Chandra, taunya...malah dia marah ke gue. Aneh banget emang dia tuh." "Mungkin bagi kita Pak Chandra high quality, tapi bagi Jennie kagak kali, lagian masalah hati kan nggak bisa dipaksa. Dia marah sama lo, karna lo maksa dia kali?" Suzy mengedik. "Tau ah! Gue sebagai temen cuma mau yang terbaik aja buat dia, tapi dianya malah kayak gitu." "Terus sekarang alesan sakit-sakit. Gue yakin sih, kemarin dia ditegur Pak Chandra makanya sekarang bilang sakit. Apa dikit sakit, apa dikit sakit," gerutu Suzy. "Ya namanya badan orang kan beda-beda Suz, kali Jennie bener-bener kecapean." "Dahlah, belain aja terus!" ketus Suzy, mengambil air mineralnya dan pergi dari meja makan. "Eh lo mau kemana Suz?" "Ke nasabah!" balas Suzy tanpa menoleh. "Dia ngambek ga sih?" tanya Lisa. "Kayaknya...paling bentaran juga udah baikan. Mungkin banyak kerjaan jadi sensi." "Kenapa sih ya jadi kayak gini?" keluh Lisa. "Ya udah biarin aja. Ntar juga baikan kok. Lo, mau nengok Jennie entar?" "Kalau entar pulang kantor nggak bisa. Ada acara di rumah nyokap. Besok aja palingan." "Lo mau ke tempat Jennie?" "Nggak tahu sih...liat entar kalau transaksi banyak kan gue harus ngecek sampai malem tuh, jadi liat sikon aja," terang Sherly. "Sher, lo ngerasa nggak sih, belakangan Suzy kayak agak gimana gitu ke Jennie?" "Gimana maksudnya?" "Ya...kayak nggak cocok gitu...padahal mereka satu divisi." "Mungkin, Suzy lagi suntuk aja. Biasalah, AO kalau akhir tahun dikejar target, apalagi Pak Chandra kan orangnya tuh apa ya...kayak strict urusan kerjaan." "Gue liatnya, Suzy kayak sirik gitu sama Jennie." "Hush! Nggak boleh gitu loh. Fitnah." "Kan cuma menurut pandangan gue Sher. Apa jangan-jangan, Suzy naksir Pak Chandra? Tapi Pak Chandra naksir Jennie? Wah cinta segitiga yang rumit." Sherly tertawa. "Kebanyakan baca n****+ lo!" "Ya siapa tahu kan? Beneran sih gue liatnya Suzy agak gimana gitu sama Jennie. Jennie juga aneh sih, masa disukain ama Pak Chandra kagak mau? Jangan-jangan naksir Beha malahan. Kalau iya, bener-bener Jennie out of the box!" "Wah, Lis, lo jangan mulai ngarang kemana-mana, bahaya lho." Lisa yang diperingatkan Sherly meringis. "Tahu sendiri, kantor kita tuh, dinding punya telinga. Kejadian apa juga bisa jadi sampai kemana-mana, termasuk kemarin gosipnya Jennie sama Beha. Bisa rame." "Gue masih heran deh, sebenarnya siapa yang nyebarin gosip itu ya?" Sherly mengedik. "Siapapun dia, gue rasa, dia nggak sekedar iseng atau emang punya watak lambe turah. Gue rasa dia agak nggak suka sama Jennie atau Beha dan pas tahu ada celah buat jelekin Beha dan Jennie, dia langsung sebar gosip." "Tapi menurut lo...kalau bener Jennie naksir Beha gimana?" "Ya nggak gimana-gimana." "Lo setuju gitu?" "Apa hak gue melarang, Monalisa sayang. Orangtuanya Jennie bukan, sodara juga enggak, kasih makan Jennie juga enggak. Sebagai teman ya gue doain yang terbaik, kalau jodohnya emang Beha." "Bener sih kata lo, cuma, menurut gue bakalan jomplang nggak sih, Jennie sama Beha. Itu kayak apa ya? Langit sama bumi gitu." "Lha lo nonton Boys Before Flower, yang cowoknya kaya setengah mati, ceweknya kere setengah hidup, lo uwu-uwu aja, kenapa kalau dibalik ceweknya yang lebih tajir jadi masalah?" "Kan itu drakor doang." "Ya sama, ini kan juga cuma berandai-andai doang." "Tapi kalau cowok yang kaya tuh nggak masalah, kalau cewek yang kaya, masa cowok nebeng hidup ama cewek, kan kesannya gitu." "Tergantung juga, ada cowok yang miskin harta juga miskin attitude, nggak mau kerja, nebeng hidup, biarpun pasangannya nggak kaya. Tapi ada juga cowok miskin harta tapi kelakuannya bagus, meski istrinya kaya tapi tetep bekerja keras menghidupi keluarga, ya meski kadang kalau diitung duitnya lebih kecil dari duit istrinya, tapi rasa tanggung jawabnya itu ada lho, Lis." "Nah kalau Beha menurut lo gimana?" "Kok jadi Beha?" "Kan kita lagi ngomongin andai Beha sama Jennie." "Kalau menurut gue, Beha itu orang yang penuh tanggung jawab sih." "Lo yakin banget Sher?" "Lah, lo kan nanya?" "Udah ah, waktu istirahat gue udah habis nih," ucap Sherly sambil beranjak dari kursi keluar dari ruang makan. "Eh, tungguin dong!" Lisa menyusul Sherly yang sudah berjalan mendahuluinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN