Tatapan sedingin es itu masih tidak beralih dari tempatnya. Masih membeku memandangi tubuh Inges yang kini sudah membungkuk meraih tangan Malaika.
Kutub ini masih saja membeku, matahari sudah mulai memanas tapi ia belum mencair juga. Aku harus mencari akal agar penguntit itu tidak menemukanku, gerutu Inges dalam hati.
"Tuan apa boleh aku dan malaika ikut bersama di mobil tuan?" pinta Inges sedikit ragu tak lupa ia memasang wajah memelas nya. Kini ia berdiri tepat di hadapan tuannya seraya menggenggam tangan Malaika. Tidak ada reaksi dari lelaki itu.
Tumben sekali ini bocah minta di antar ke kampusnya. Biasanya juga mereka pergi pakai motor dan tidak pernah mau di antar. Apa yang ia maksud tikus tadi memang ada orang yang mengikutinya, Raden malah sibuk dengan pemikirannya.
"Tuan apa boleh saya menumpang ke kampus dengan mobil tuan?" tanya Inges sekali lagi mengulangi permintaannya. Malaika yang sedari tadi melihat sang Papa hanya mematung dengan tatapan tajam ke mama kecilnya langsung membantu.
"Papa kutub dengar tidak mama dan aku mau di antar sama Papa!" pinta Malaika dengan menarik celana sang Papa. Inges membelalakkan matanya mendengar ucapan Malaika tadi.
Ya Tuhan Malaika cobaan apa lagi yang kau berikan, kenapa malah kamu manggil Papa mu dengan sebutan itu sih, batin Inges.
Sekarang ia sudah merasa kakinya sudah tidak berpijak di tanah. Tidak bisa dia bayangkan reaksi lelaki di depannya seperti apa sekarang. Inges hanya berdiam seraya membulatkan matanya menatap Malaika, ia tak punya keberanian untuk melihat tuannya sekarang. Untuk reaksi Raden sudah pasti ia juga super-duper terkejut mendengar tuan putri kecilnya memanggilnya dengan sebutan PAPA KUTUB. Kalian tau sendiri lah siapa orang yang dengan lancang memanggil Raden seperti itu.
"Siapa yang mengajarkanmu memanggil papa dengan sebutan itu?" suara Raden yang tegas terasa seperti bongkahan es yang sedang runtuh. Namun dengan santai putrinya itu menjawab.
"Tidak ada yang mengajarkanku tapi memang realitanya seperti itu. Papa memang sedingin kutub utara hadapan mama kecil!" jawab Malika dengan polosnya seraya melangkah meninggalkan sang Papa menarik tangan mama kecilnya dan menuntunnya ke arah mobil hitam yang sudah terparkir di depan garasi. Inges hanya mengikuti langkah kecil itu dengan menundukkan pandangannya sambil menahan tawa.
Sementara Raden hanya bisa menatap tajam ke arah putri kecilnya yang berlalu pergi tanpa rasa bersalah telah mengatai dirinya yang bersikap sedingin kutub utara. Raden menghela nafasnya berat lalu melangkah pasrah mengikuti dua perempuan itu di belakang mereka. Setelah semua memasuki mobil. Pak Surya si sopir pribadi tuan Raden mulai fokus mengendarai mobil meninggalkan rumah megah itu menuju pemberhentian pertama yaitu kampus Inges.
Pasti gadis sialan ini yang mengajarkan putriku memanggilku dengan sebutan itu. Aku jadi penasaran obat apa yang dia berikan ke Malika sampai ini anak bisa patuh dan nempel seperti perangko padanya. Atau jangan-jangan dia pakai jasa dukun, ah tapi masak iya sih. Dari mana Malika juga bisa memanggilnya Mama Kecil. Sialan kenapa aku malah jadi berfikir tentang ini bocah ingusan, batin Raden yang sedari tadi hanya bisa mengumpat dalam hati.
Dia tidak bisa berbuat apa-apa juga kalau sudah di hadapkan dengan anak sematawayangnya. Raden memang pernah mengutus orang kepercayaannya untuk mencari informasi dan mengintai Inges tapi hasilnya nihil. Tak ada hal yang perlu di curigai dari gadis itu, semua informasi tentangnya tidak ada yang spesial. Membuat ia semakin tidak tertarik sedikit pun dengan wanita itu mengingat anaknya dengan sangat gencar menjodohkan ia dengan Inges.
***
Kampus
"Kami turun di sini saja tuan!" pinta Inges saat mobil tepat berada di gerbang masuk kampusnya.
"Antar mereka sampai ke depan fakultasnya pak Sur!" perintah Raden dengan suara dinginnya.
"Baik tuan," ucap pak Surya disertai dengan anggukan kepala.
Astaga ngeselin sekali sih orang. Bakalan heboh itu penghuni rutan kalau begini, pekik Inges kesal tapi dia hanya bisa protes dalam hati.
"Saya tidak mau Malaika sampai harus kecapekan hanya untuk menemanimu berjalan kaki!" tegas Raden tanpa menolehkan pandangannya ke Inges.
Mereka sebenarnya sudah terlihat seperti keluarga kecil tidak bahagia sekarang (Hahaha). Karena mereka bertiga duduk sejajar di kursi belakang supir dengan Malaika di berada ditengah-tengah mereka. Inges hanya memperlihatkan senyum kecutnya.
"Kalian orang dewasa kenapa sih tidak bisakah kalian bersikap manis sedikit di depan anak-anak!" celetuk Malaika yang sontak membuat dua orang dewasa itu hanya bisa membelalakkan matanya. Sudah seperti mau ke luar saja itu 4 bola mata. Sementara orang dewasa yang di depan sana hanya bisa menahan tawanya. Inges dan Raden hanya bisa mendengus kesal mendengar ucapan anak kecil di tengah mereka itu.
"Nah gitu dong kompak!" lanjut Malaika lagi ketika mendengar dua orang dewasa di sampingannya yang bersamaan menghela nafas mereka dengan kasar. Pak Surya semakin tidak bisa menahan tawanya membuat ia mengeluarkan senyuman di ujung bibirnya.
"Sudah sampai tuan!" ucap pak Surya mencairkan suasana yang sepertinya mulai membeku di belakangnya itu. Raden sudah siap berancang-ancang membuka tuas pintu mobil namun terhenti karena suara lantang dari sisi kirinya.
"Tuan mau ngapain turun. Diam saja di dalam mobil!" perintah suara itu yang membuat Raden langsung berbalik menatapnya dengan tatapan emosi.
Matanya kini melotot yang terlihat menyeramkan sudah seperti mata boneka chucky. Sangat menyeramkan, wajah tampan paripurna nya menghilang seketika lenyap di telan bumi.
"Berani sekali kamu memerintah ku?" ucapnya dengan volume sedikit dinaikkan 1 oktaf. Untung saja itu mobil sudah di pasangkan peredam suara.
"Maaf tuan bukan begitu maksud saya," Inges langsung mengajukan permohonan maaf sebelum kutub es itu mengalami guncangan bumi.
Malaika hanya menatap mama kecilnya dengan cemas dan tidak perlu di minta ia dengan inisiatif sendiri membantuku meredam emosi papanya yang sudah seperti gunung berapi mau memuntahkan lahar panasnya.
"Sudah papa sayang jangan marah ya, mama kecil sedang tidak sadar dengan ucapannya. Ayok temani putri kecilmu ini turun" rayu sang anak sambil mengelus lengan berotot papanya yang di tutup oleh jas dan kemeja kerjanya dan hal itu berhasil membuat gunung berapi itu tenang kembali.
Mereka pun turun bersamaan. Inges hanya bisa berjalan lemas menghampiri Raden yang sudah menggendong Malika dengan lengan kekarnya berdiri di pintu samping kanan mobil hitam itu. Inges berjalan memutar di belakang mobil menuju mereka. Masih dengan raut wajah lemas ia mengambil Malika dari gendongan lelaki itu. Iya hanya menunduk tak berani menatap tuannya. Sekarang ada sekian banyak pasang mata yang memperhatikan mereka yang sedang berdrama di depan fakultas psikologi itu, para wanita sibuk mengagumi ketampanan Raden Widjaya sang duda itu sementara Inges hanya tertunduk merutuki dirinya sendiri atas kesalahan yang ia ucapkan tadi.
"Ingat tuan putri tidak boleh nakal dan jangan menyusahkan orang lain. Jangan lupa hubungi aku ketika kalian pulang!" pesan Raden seraya mencium pipi sang anak, dan untuk pesan terakhir itu di tunjukkan untuk Inges. Iya siapa lagi kalau bukan dia, karena hanya dia yang bisa memainkan ponsel bukan.
Malaika pun sudah beralih gendongan ke tubuh lurus Inges, itu penilaian Raden yang melihat tubuh wanita muda yang lurus seperti penggaris tanpa ada lekukan seksi bahkan penampilannya juga sangat kuno selalu menggunakan baju dan celana kebesaran sehingga membuat tubuhnya nampak terlihat kecil dari luar.
Inges membalikkan badan tanpa memberikan ucapan apapun ke tuannya. Hanya Malaika yang melambaikan tangan serta mengedipkan mata ke arah papanya dengan gaya centilnya yang khas setelah di balas sang Papa ia kembali memutar tubuhnya mengarah ke depan dan berlalu pergi dengan mama kecilnya dalam gendongan.
"Tuan apa tidak masalah membiarkan mereka di sini?" tanya pak Surya yang sudah berdiri di hadapan bos besarnya.
"Di sini keramaian, banyak orang di sekeliling mereka jadi dia tidak akan berani macam-macam," jawab Raden seraya memasuki mobil di ikuti oleh pak Surya sekarang Raden sudah duduk di samping kursi pengemudi.
Sedari tadi dalam perjalanan menuju kampus Raden dan pak Surya memang melihat ada sebuah motor yang mengikuti mereka. Tepatnya pak Surya lah yang melihat orang tersebut mengenakan motor ninja dengan helem full face serta jaket kulit tebal. Wajahnya tertutup sempurna. Hanya badannya yang terlihat besar dari kaca spion mobil. Menyadari ada yang membuntuti mereka pak Surya dengan tenang memberikan kode ke tuannya. Tapi di luar dugaan mereka Inges juga mengetahui hal itu. Bersyukur dia diantarkan bosnya ke kampus. Bagaimana jadinya kalau ia hanya berdua mengendarai motor lalu dikejar oleh penguntit itu. Inges yakin yang sedari tadi mengikutinya itu tidak lain adalah Ayah brengseknya itu.