1. Kiat Sukses Move On dalam Tiga Pekan
"Na, balik!" Ujung heels Raline seketika berdecit ketika gadis itu mengerem langkahnya secara mendadak. Matanya menatap horor ke arah sosok pria yang kini berjarak sekitar 20 langkah di depan. Noe Camaro, atasan sekaligus mentor bagi para *junior designer di IDEA, saat ini menjadi sosok yang harus paling dihindari oleh Raline sejak tiga hari lalu.
"Hah?" Diana mendelik heran saat Raline meraih bahunya dan memutar paksa, berjalan tergesa menuju arah lain.
"Balik arah! Jangan ke sana!" bisik Raline panik. Ia harus menghindar sebelum Noe menyadari kehadirannya.
"Katanya mau cari referensi ke showroom?" protes Diana.
Raline menunjuk sembarang arah. "Showroom di sana."
Kening Diana mengernyit sempurna. "Ngaco! Sejak kapan showroom pindah ke parkiran?"
"Memang showroom di mana?" balas Raline tidak fokus. Pikirannya saat ini hanya satu. Pergi sejauh mungkin dari jangkauan mata Noe.
"Di Center Tower, Ral!"
"Masa? Sejak kapan pindah?"
"Sejak dulu juga adanya di sana!" sahut Diana jengkel.
"Oh, oke!" sahut Raline tidak peduli.
"Terus kenapa lo masih jalan ke sini?"
"Lewat sini aja."
"Jadi jauh dong, Ral!" omel Diana. Saking kesalnya, ia sampai tidak menyadari keanehan sikap Raline yang sejak tadi bertingkah bak pelarian.
"Nggak apa, olahraga sedikit."
"Ini bukan olahraga dikit, Ral! Ini jauh banget!"
"Sekali-sekali turuti maunya gue, Na!" bujuk Raline dengan nada memohon sekaligus memaksa.
"Aneh-aneh aja lo!" Diana menggeleng kesal. "Kalo gue kecapean, tanggung jawab lo!"
"Tenang, nanti gue beli es kopi kesukaan lo. Segentong."
"Nggak segentong juga kali!"
"Satu liter buat gue kayak gentong, Na."
"Raline …," sapa Noe yang tiba-tiba saja sudah berdiri menghadang di depan.
"Hiya!" jerit Raline tertahan dan refleks kakinya kembali mengerem. Bagaimana caranya pria ini bisa ada di depannya? Sia-sia saja Raline memutar arah untuk menghindar kalau akhirnya kepergok juga.
"Bisa ikut saya sebentar?" tanya Noe sopan dengan senyum canggung.
"Maaf, Pak!” Raline menggeleng kencang. “Saya lagi buru-buru, dipanggil sama Pak Jani."
"Kapan lo dipanggil sama Pak Jani?" tanya Diana polos.
"Sst!" Raline mendelik kesal pada temannya yang tidak paham situasi ini. Cepat-cepat ia mengambil ancang-ancang untuk pergi ke arah lain lagi. Ke mana saja tidak masalah, asal tidak perlu bicara dengan Noe. "Permisi, Pak!"
"Lo aneh amat, sih!" gerutu Diana saat Raline menyeretnya lagi.
Raline segera mengelak. "Nggak tuh, gue biasa aja."
"Sejak kapan lo panggil Mas Noe jadi Pak Noe?"
"Sejak hari ini."
Diana menatap penuh curiga. "Ada sesuatu yang nggak lo ceritain sama gue, Ral?"
"Nggak ada. Curigaan amat!"
Untuk beberapa waktu, Raline berhasil menghindar dari cecaran interogasi Diana, temannya sesama *junior designer di IDEA. Kebetulan mereka berasal dari almamater yang sama, hanya berbeda angkatan saja. Diana sudah lebih dulu bergabung dengan IDEA sejak tahun lalu. IDEA sendiri merupakan furniture retail company bentukan anak negeri. Itulah yang membuat kedekatan mereka terjalin akrab meski baru mengenal sekitar empat bulan sejak Raline bergabung.
Namun, kelegaan Raline hanya bertahan sebentar saja. Hanya dua jam berselang, gangguan kembali datang.
"Guys, sudah siang! Let's eat first and refresh our mind!" Seperti biasa, setiap jam makan siang Noe akan mendatangi ruang kerja para desainer dan mengingatkan mereka untuk mengambil jeda. Bagi Noe, bekerja dalam bidang desain butuh istirahat cukup agar ide selalu mengalir lancar. Percuma bekerja dalam kondisi lelah, yang ada hasilnya tidak akan maksimal. Apalagi merancang detail-detail furniture, bukan hanya membutuhkan ide cemerlang, tetapi juga ketelitian tinggi.
"Mau makan di mana hari ini, Mas?" sahut Josh yang memang paling semangat jika sudah urusan makan.
"Any idea? Everyone join, right?" ujar Noe memastikan. Di antara sekian banyak divisi dalam IDEA, desain memang yang terkenal paling solid, hampir setiap hari mereka selalu makan siang bersama.
"Saya sama Diana skip, Pak!" celetuk Raline tiba-tiba.
Sontak belasan pasang mata yang ada di ruangan itu menatap heran ke arah dua rekan *junior yang berani-beraninya mangkir dari tradisi.
"Skip? Kalian ada deadline mendesak?" Noe terlihat menanggapi dengan santai.
"Bukan, tapi kami sudah pesan makanan," jawab Raline tanpa berani melihat ke arah Noe. Setiap kali melihat sosok pria itu, Raline selalu terbayang Sabtu pagi penuh kekacauan yang ia alami.
"Well, okay!" Noe mengangguk paham tanpa bertanya lebih lanjut. "Pastikan saja kalian makan dan istirahat sebentar."
Ketika mereka hanya tinggal berdua saja, Diana segera menggeser kursinya ke meja Raline dan bertanya, "lo pesen apa buat makan kita?"
"Nggak tau. Lo mau apa?"
"Lo gimana, sih?!” Refleks Diana memukul meja dengan jengkel. Sudah dirinya lapar, tidak ikut pergi makan bersama yang lain, ternyata malah tertipu oleh Raline. “Katanya udah pesen makanan tadi!"
"Tinggal pesan aja, Na! Ribet amat sih, lo!" balas Raline heran.
"Ral, mending jujur, deh! Lo kenapa sih hari ini? Aneh banget tau."
"Aneh apanya, sih?" Raline masih coba menghindar. Berpura-pura sibuk menekuni desain di layar komputernya agar tidak perlu bertatapan dengan Diana.
"Lo kayak lagi menghindari Mas Noe," ujar Diana blak-blakan.
Ditembak langsung sedemikian tepat, Raline mati kutu.
"Gue bener, kan?" desak Diana.
Merasa terpojok, Raline menyerah. "Ini semua gara-gara lo, Na!"
"Kok, gue?" Wajah Diana terlihat sangat heran. Jelas! Dia tidak tahu-menahu tetapi disalahkan.
"Gara-gara saran sesat lo gue jadi mati gaya gini," ujar Raline lesu.
"Saran sesat yang mana?"
"Lo ingat kasih pinjam gue buku bacaan buat menghalau kegalauan gue?"
"Buku tentang tips bangkit setelah putus cinta itu?"
"Iya tapi nggak usah diperjelas juga."
"Terus kenapa?" tanya Diana heran.
"Buku lo sesat! Tips macam apa coba?! Yang ada bikin gue ketambahan masalah baru!" sungut Raline.
"Bagian mananya yang salah?"
"Nggak tau, gue lupa! Pokoknya dari awal juga sesat semua!"
"Sesat apanya, sih?" Diana tidak terima kalau buku bacaannya dikatai sesat, padahal untuknya sendiri kiat-kiat dalam buku itu malah berhasil.
"Buat apa orang putus cinta disuruh jalan ke sana sini, belok ke kiri, belok ke kanan, naik, turun, masuk ke pintu pertama, dan lain-lain dan lain-lain. Gunanya apa coba?"
Mendengar penjelasan Raline, Diana kebingungan. "Lo baca buku apa, sih?"
"Ya, buku yang lo kasih pinjam itu!"
Diana memicingkan mata curiga. "Lo yakin nggak salah ambil buku?"
"Yakinlah!" ujar Raline ngotot.
"Wait!" Diana memundurkan kursi menuju meja kerjanya sendiri, mencari-cari sesuatu kemudian berdecak geli. "Raline Carina Blanchard, buku yang gue maksud masih ada di sini."
"Nggak mungkin! Gue belum balikin kok, masih ada di kamar gue."
"Cantik, ini bukunya di sini." Diana mengacungkan buku di tangannya tinggi-tinggi.
"Sini gue lihat!" Raline bergegas mendekat dan merampas buku Diana. Dipandanginya buku bertajuk ‘Kiat Sukses Move On dalam Tiga Pekan’. Dibukanya halaman pertama kemudian membaca keras-keras. "Hal terbaik untuk beranjak dari ruang lama yang membuat kita sesak …."
"Sesat? Bagian mananya?" tantang Diana.
Raline mengernyit. Rasa-rasanya ada yang salah. "Na, buku yang gue baca nggak gini."
"Ral, gue rasa lo ambil buku yang salah. Di laci gue kemarin ada dua buku. Satu yang ini, satu lagi buku petualangan cari harta karun gitu."
"Hah?"
"Itu buku iseng-iseng, Na. Buat orang yang malas olahraga kayak gue, buku itu ngebantu banget. Dengan ikutin langkah-langkah di buku, gue terpaksa harus gerak."
"Bacaan lo nggak guna banget, sih!" rutuk Raline tidak percaya.
"Eh! Nggak guna buat lo belum tentu nggak guna buat gue kali!"
"Apa yang lo dapat dari ikutin buku itu?"
Diana mengedik angkuh. "Kadang gue mendarat di pantry, dapet makan gratis, kadang berakhir di sport center, lihat cowok ganteng, kadang di taman, lihat pemandangan cantik."
Raline dan Diana sama-sama tinggal di kompleks IDEA. Di atas lahan seluas dua hektar, dibangunlah kawasan terpadu yang terdiri atas tiga tower. Center Tower yang memakai lahan terluas, difungsikan sebagai showroom, tempat pengunjung dapat datang dan melihat semua produk furniture buatan IDEA. Di sisi kiri dan kanan berdiri West Tower yang berfungsi sebagai office, lalu ada East Tower yang berfungsi sebagai tempat tinggal. Unit residence di East Tower mirip seperti apartemen, dengan pilihan tipe studio dan 1-3 kamar tidur, disewakan khusus bagi para karyawan IDEA saja.
"Tau apa yang gue dapat dari ikutin buku sesat lo itu?" tanya Raline sinis.
"Hm?"
"Gue berakhir di kamarnya Pak Noe, Na!"
"Berakhir dalam artian?"
"Tidur di kamarnya sampai pagi, Na!"
"What?!" Kalau tadi Diana masih bisa cuek, sekarang dia terkejut. "Jangan bercanda lo!"
"Gue nggak lagi bercanda, Na!"
"Tapi gimana ceritanya?"
"Mana gue tau!"
"Kok, bisa nggak tau?" desak Diana tidak habis pikir. "Lagian udah tau ngaco, ngapain lo masuk juga?"
"Gue nggak ingat apa-apa, Na!" sahut Raline putus asa.
"Lo mabok?" tebak Diana. Dia tahu kebiasaan Raline yang suka mabuk sendirian. Tidak ke kelab malam, tidak berkumpul dengan orang lain, hanya merenung sendiri di kamar ditemani minuman beralkohol.
Raline tertunduk.
"Ral, Ral!” Diana menggeleng tidak percaya. “ Lo ceroboh banget, sih!"
"Nggak usah bikin gue tambah nyesek, Na!" keluh Raline. Dia saja tidak habis pikir dengan dirinya sendiri.
"Terus lo nggak cari tau kalian ngapain aja semalaman itu?"
"Boro-boro niat cari tau, Na. Yang ada gue langsung minggat." Ketika terbangun Sabtu pagi itu dan menyadari ada sosok pria memeluk tubuhnya, Raline langsung melompat turun dari tempat tidur dan mengambil langkah seribu. Tanpa bertanya, tanpa meminta penjelasan, tanpa berpamitan, bahkan mengucapkan satu patah kata saja tidak.
"Lo tinggalin Mas Noe gitu aja?" Diana mendelik ngeri. Tidak percaya dengan kegilaan Raline.
Raline mengangguk.
"Tanpa bilang apa-apa?"
Kembali Raline mengangguk.
"Dan kalian baru ketemu lagi hari ini?"
Raline terus saja mengangguk.
"Dan lo terus menghindar?"
"Abis gue mesti gimana?" tanya Raline frustasi.
"Ya, obrolinlah soal apa yang terjadi sama kalian!" omel Diana.
"Nggak bisa, Na! Begitu lihat dia gue langsung malu banget!" Jangan menantang mata Noe, melihat bahunya yang tegap saja Raline langsung bergidik. Teringat bagaimana kepalanya bersandar di bahu itu sepanjang malam.
"Ral, apa lo sama Mas Noe … tidur bareng?" tanya Diana hati-hati.
Raline menggeleng panik. "Gue nggak tau, Na!"
"Emang lo nggak ngerasain apa-apa?" pancing Diana.
"Maksud lo?" balas Raline lugu. Lima tahun berpacaran dengan Kamal tidak membuat Raline pintar dalam urusan semacam ini. Otak keduanya hanya terisi pelajaran dan tugas, tidak ada niatan mencoba hal-hal nakal dalam kepala mereka.
"Sebelumnya lo udah pernah?"
Raline langsung menggeleng. Jangankan berhubungan intim, berciuman saja baru mereka lakukan setelah wisuda kelulusan. Jangan dikira Raline ini penganut hubungan bebas seperti kebanyakan orang barat lainnya. Darahnya boleh impor, tetapi jiwanya seperti lokal.
Sejak kecil, Raline dan adiknya dididik dengan kultur timur. Meski Evrard berdarah Prancis, dan Aubrey berdarah campuran Prancis-Rusia, tetapi keduanya sangat mencintai Indonesia. Tidak terlintas dalam pikiran mereka untuk kembali ke negara asal suatu saat nanti. Mereka ingin menutup usia di Indonesia, karena itu Evrard dan Aubrey membesarkan putri mereka untuk bisa menyesuaikan diri dengan kultur lokal. Bahkan mereka semua fasih berbahasa Indonesia. Apalagi Raline dan Seraphine yang memang lahir dan besar di sini.
Diana berdeham kemudian menunjuk canggung ke arah bagian tubuh Raline yang spesial. "Ada yang aneh nggak sama itu lo?"
Raline mengingat-ingat sensasi yang ia rasakan setelah meninggalkan tempat Noe. "Agak perih, sih."
"Ada darah?" tanya Diana lagi.
"Na!” jerit Raline putus asa. “Gue nggak mau bahas itu!"
"Oke yang lain,” ujar Diana cepat. “Waktu bangun pagi, baju-baju lo apa kabar?"
"Semua masih di tempatnya." Meski jika diingat-ingat, sebenarnya tidak banyak pakaian yang melekat di tubuhnya pagi itu.
Diana mengerucutkan bibir sambil berpikir dalam. "Tapi itu nggak bisa jadi jaminan kalo dia nggak sentuh lo, Ral."
"Terus gimana cara mastiinnya, dong?"
"Ada tiga cara," ujar Diana dengan wajah serius.
"Apa?"
"Pertama tanya langsung sama dia."
"Nggak mau!" Raline langsung menolak.
Diana mengangguk. "Dua. Tunggu aja lo bakal hamil apa nggak."
"Astaga, Na! Amit-amit!" jerit Raline ngeri. "Eh, tapi emang gue pasti hamil?"
"Belum tentu."
"Jadi kalo gue nggak hamil, tetap nggak menjamin dia nggak macam-macam, gitu?" tanya Raline penuh harap.
"Makanya ada cara ketiga,” ujar Diana sok misterius.
“Apa?” tanya Raline tegang.
“Lo ajak dia tidur bareng dan lihat lo berdarah apa nggak."
"DIANA!" jerita Raline jengkel. Percuma saja menaruh harap pada kegilaan Diana.