Bab 1. Mertua Jahat

1410 Kata
“Ceraikan dia!” “Mah, bagaimana bisa Mamah menyuruhku untuk bercerai dengan Bella. Dia istriku dan aku mencintainya, Mah?” “Mamah enggak mau tahu, pokoknya kamu harus menceraikan istrimu. Lagi pula istrimu itu mandul, enggak becus ngurus rumah. Mamah enggak suka sama istrimu itu, jadi ceraikan dia karena Mamah sudah punya wanita yang pantas buat kamu jadikan istri, bukan dia!”. *** Bella terdiam menatap langit biru, perlahan ia menghela napasnya mencoba menghilangkan rasa sesak di dadanya. Ya, 20 menit yang lalu ia baru saja mendengar pembicaraan mertua dengan sang suami. “Cerai, haruskah aku bercerai dengan suamiku?” gumam Bella, menundukkan kepalanya. “Permisi, kalau Apartemen Letus di mana ya?” Bella menoleh ke sumber suara ketika seorang pria bertanya kepadanya. “Ini Apartemen Letus, Anda ke depan saja itu pintu masuknya,” jawab Bella menunjukkan arah. “Terima kasih, ya.” Bella hanya mengangguk tanpa menjawab. Pria itu pun berlalu meninggalkan Bella. "Apa itu yang jatuh?" Bella yang masih melihat kepergian pria itu pun berlari. Mengambil sesuatu yang ternyata adalah sebuah kartu nama. "Angga Prasetyo ... apa itu namanya?" Bella kembali melihat ke arah pria itu pergi. Namun sayangnya, pria yang ia tahu bernama Angga itu, kini sudah tak lagi terlihat oleh pandangannya. "Lagi pula kartu nama ini sepertinya nggak penting-penting banget buat dia. Orang kaya dia pasti masih punya banyak." Merasa lebih tenang dari sebelumnya, Bella pun memutuskan kembali ke apartemennya. Ia juga membuang kartu nama itu ke tempat sampah yang tadi baru saja dilewatinya. “Sayang,” ucap Bella, masuk ke ruang kerja Dimas. “Di mana Mamah, Mas bilang mau ke sini? Maaf aku telat pulang karena tadi di jalan macet.” Dimas menatap wajah Bella, sorot matanya yang hangat mengalihkan kegundahannya. Perlahan ia berjalan mendekati Bella lalu memeluknya. Dimas mengeratkan pelukannya ketika ia ingat dengan ucapan Ami yang terus menyuruhnya untuk bercerai dengan Bella Anindya Putri, wanita yang ia nikahi satu tahun yang lalu. “Kamu kenapa Mas, ada yang lagi di pikirin?” Dimas melepaskan pelukannya lalu menangkup kedua pipi Bella yang begitu kurus menurutnya. “Apa kamu bahagia menikah sama aku?” “Aku bahagia, Mas. Aku sangat bahagia menikah dengan Dimas Adiwijaya.” Dimas menyunggingkan senyum, kembali memeluk tubuh Bella dengan erat. “Jangan pernah tinggalin aku ya, Mas.” Dimas tersentak mendengar ucapan Bella, seolah dia tahu tentang apa yang sedang ia pikirkan saat ini. “Aku enggak akan pernah meninggalkan kamu, Sayang.” *** Menjalani hidup sebagai ibu rumah tangga sepertinya menjadi pekerjaan baru bagi Bella setelah ia resign dari pekerjaan. Bella sengaja resign, meninggalkan karirnya yang sedang berada di puncak hanya karena ingin program hamil. “Sarapan sudah siap, bekal sudah, tinggal bangunin Mas Dimas,” gumam Bella bersemangat membangunkan suaminya. Namun, saat ia akan pergi ke kamar, suara bel menghentikan langkahnya. Bella berjalan ke pintu, seketika raut wajah berubah masam melihat tamu yang datang melalui interkom. “Lama banget si buka pintunya, masih tidur yah!” Ami menerobos masuk saat Bella membuka pintu. Meski sudah terbiasa dengan sikap ketus Ami, tapi Bella masih sering merasakan sakit hati karena omelan dan hinaan yang terlontar dari mulut mertuanya itu. Bella menghela napas dan mencoba mendekati Ami. “Mamah udah sarapan, aku baru aja selesai bikin sarapan. Aku ambilin, ya?” Tak bergeming, tanda jika Ami tidak menolak apa yang ia tawarkan. Bella lalu ke dapur dan mengambil nasi goreng, tak lupa membuatkan teh untuk ibu mertuanya itu. “Ini Mah. Aku mau bangunin mas Dimas dulu.” “Hm ….” Hanya gumaman yang terdengar dari mulut Ami. Ya meski hanya gumaman cukup membuat Bella senang. Bella lalu pergi ke kamar untuk membangunkan Dimas. “Mas bangun, udah siang.” Bella mencium pipi Dimas agar suaminya bangun. Namun, apa yang dia lakukan tidak membuahkan hasil. Hal itu pun membuat Bella gemas dan kembali mencium seluruh wajah Dimas agar dia merasa terganggu dan bangun dari tidurnya. “Sayang, aku masih ngantuk. Lima menit lagi, ya,” ujar Dimas dengan suara parau khas bangun tidur. Tak tinggal diam, Bella menarik tubuh Dimas yang membelakanginya, lalu duduk di atas tubuh Dimas. “Sayang bangun, nanti kamu telat.” Perlahan Dimas membuka mata, dengan gerakan cepat ia menarik tangan Bella hingga ia berada di atas tubuhnya. “Sayang, main dulu yuk!” “Ih, udah siang. Lagian semalamkan udah!” protes Bella. Dimas mencebikkan bibirnya, terlihat jelas jika suaminya itu kecewa dengan apa yang dikatakan oleh Bella. “Mas.” “Iya.” Sudut bibir Bella terangkat lalu menggelitik perut Dimas agar dia segera bangun. Tak tinggal diam Dimas membalikan posisi dan kini Bella berada di bawahnya dan menjadi kesempatan untuk menyalurkan hasratnya yang sudah memenuhi kepalanya. “Dimas, bangun udah siang!” Keduanya kompak melihat ke arah pintu kamar. “Apa Mamah di sini?” Bella mengangguk mengiyakan apa yang ditanyakan oleh Dimas. “Sial,” gumam Dimas berlalu meninggalkan Bella yang masih berbaring di atas ranjang untuk pergi ke kamar mandi. Sedangkan Bella bergegas merapikan ranjangnya, lalu menyiapkan pakaian kerja yang akan digunakan oleh Dimas. “Ngapain sih di kamar mulu, enggak suka ya kalau Mamah ke sini?” tanya Ami ketika Bella keluar dari kamar. “Aku habis bangunin mas Dimas terus beresin kamar Mah. Mamah udah selesai makannya?” “Udah Mamah buang, nasi goreng apaan enggak ada rasanya. Jadi istri tuh harus pinter masak, biar suaminya betah di rumah. Ini, ngurus rumah aja enggak bisa apa lagi ngurus suami!” Mulut Bella terasa kelu mendengar hinaan Ami. Ia tak bisa menimpali ucapan Ami, karena dia tahu jika wanita paru baya yang ada di depan mata itu ibu dari suaminya dan ia harus menghormati seperti orang tua sendiri. Tak ingin memperpanjang masalah, Bella memilih untuk pergi ke dapur membersihkan wajan bekas ia masak. “Anak Mamah udah ganteng. Ayo, sarapan dulu. Mamah udah buat roti panggang kesukaan kamu.” Ami merangkul tangan Dimas, membawanya ke meja makan. Mendengar suara Dimas, Bella lalu menghampiri suaminya. Dilihatnya Dimas yang sedang memakan roti buatan Ami dan mengabaikan nasi goreng yang sudah ia buat. Jika ada Ami, Bella tak bisa mendekati suaminya karena dia terus menempel dan seolah menganggapnya tidak ada. “Dimas, hari ini kamu gajian, kan? Mamah pengen beli gelang buat ngehadirin ulang tahun sepupu kamu.” Dimas menyimpan roti ke atas piring lalu menjawab, “Bulan lalu Mamah beli gelang dan mana gelang itu, udah dijual, kan? Lagi pula Dimas udah punya istri Mah, kebutuhan kami juga banyak. Mamah bisa minta sama ayah, kan kewajiban suami juga memenuhi kebutuhan istrinya.” Ami mendengus kesal, ia meminum s**u yang tadinya ia suguhkan untuk Dimas hingga tandas. “Semenjak menikah kamu lebih mentingin istrimu. Padahal kamu bisa seperti ini juga karena Mamah.” Suara Ami yang terus berbicara tentang apa yang sudah ia lakukan membuat Dimas kesal. “Cukup, Mah. Nanti aku transfer buat jajan Mamah. Kalau untuk beli gelang dan pamer ke sodara Mamah, aku enggak bisa menuhin.” Dimas beranjak dari kursi lalu mengambil tasnya yang berada di dalam kamar. Perdebatan itu sering dilihat oleh Bella, mertuanya yang egois selalu menuntut anak dan menantu untuk mengikuti semua keinginan serta aturan yang dia buat. Sial memang, tapi itulah yang harus Bella terima karena itu pilihannya menikah dengan putra kesayangan sang mertua. “Mas, ini bekalnya,” ucap Bella ketika melihat Dimas keluar dari kamar menenteng tas kerjanya. “Makasih, Sayang. Kamu baik-baik ya di rumah, aku kerja dulu.” Tak lupa Dimas mengecup dahi Bella, lalu keluar dari apartemen mereka. Hanya tinggal Bella dan juga Ami, seketika suasana pun menjadi canggung dan membuat Bella tidak nyaman. “Nih, bayar belanjaan Mamah!” ucap Ami melewati menantunya begitu saja. “Sepuluh juta,” batin Bella. “I-ini apa Mah?” “Matamu buta, ya! Itu struk belanjaan, kamu harus ganti uang yang udah aku keluarin untuk keperluan di rumahku selama sebulan.” Bella hanya menunduk melihat struk belanjaan yang ada di tangannya. Gaji Dimas saja hanya dua belas juta, jika ia membayar belanjaan mertuanya tersisa dua juta belum untuk beli keperluan di rumah, listrik, air yang tidak bisa di pending pembayarannya. “Kenapa, kamu enggak mau bayar belanjaan ini? Dengar, ya. Kamu itu hanya numpang hidup ke anakku. Kamu juga enggak punya hak ngurus keuangan Dimas, karena kamu itu cuma babu di sini!” Bella mengepalkan tangannya, ucapan Ami cukup menghujam jantungnya dan membuatnya sadar jika mertuanya itu tidak pernah menganggap ia sebagai menantu. “Cukup, Mah!” teriak Bella yang menghentikan langkah kaki Ami lalu menatapnya dengan tajam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN