2
"Ibu ingin menjodohkan kamu dengan putra sahabat almarhum bapakmu, dia anak baik, kalau tidak salah dulu pernah mondok di Prenduan juga." Lirih suara Supiyah berusaha menjelaskan pada Nurul.
"Bu, sudah tidak jamannya lagi anak jaman sekarang dijodohkan, lagian Nurul juga belum tahu wajahnya kayak apa."
"Makanya kamu bertemu dulu biar tahu wajahnya kayak apa? Memang kamu minta yang wajahnya kayak apa Rul?"
"Yang kayak kakak kelas Nurul, Mas Dul."
"Bada apa e robana senyamana Dul mak ba'na ce' terrona ka kanak jeriya? (Ada apa di wajah Dul, kamu kok suka betul sama orang itu?)
Nurul terkekeh geli.
"Ibu ini nanya aneh-aneh ya tidak ada apa-apa di wajah Mas Dul, hanya dia keren, meski kulitnya kecoklatan malah kelihatan eksotisnya, orangnya tegas dan jujur."
"Istighfar Rul, ba'na enga' ka robana lalake' se ekaterroe ba'na jeriya la ekocak zina pekkeran, kan la bakna e ajari bakto monduk, mangkana mara duli alake, Olle ta' nambai dusa." (Istighfar Rul, kamu ingat terus pada wajah laki-laki yang kamu yang kamu suka itu sudah zina pikiran, dulu diajari kan waktu mondok, makanya ayo cepet nikah biar tidak nambah dosa).
"Iya Ibu iya, tapi nggak semudah itu, udahlah Bu kapan-kapan kita bicara lagi, yang penting Ibu sehat dulu, di minum ya obatnya setelah makan, Nurul suapi ya Bu?"
"Iya, Ibu memang ingin kamu yang nyuapi Ibu Rul."
Nurul bangkit dari ranjang berukir kayu jati berukuran besar yang menjadi tempat tidur ibunya, ranjang peninggalan kakek dan neneknya yang tetap di pertahankan oleh keluarga Nurul. Langkah Nurul menuju ruang makan, di sana dia mengambil piring dan sendok lalu mulai mengambil nasi yang teksturnya memang sengaja dibuat lebih lembek, juga lauk semur ayam dan tahu. Setelah siap semua Nurul bergegas menuju kamar ibunya membawa piring yang telah lengkap isinya dan segelas air.
"Naaah kayak gitu baru Nurul."
Lik Sutinah datang lagi untuk membantu Nurul jika ada apa-apa. Lik Sutinah ini adalah adik dari ibunya Nurul yang rumahnya berada di sebelah rumah orang tua Nurul.
"Iya Lik, ini baru juga sampai eh disuru nikah ya Allah."
"Itu sudah jadi pembahasan yang kapan hari, kamu akan dijodohkan sama anaknya Haji Abdullah Arifin Djailani, kami biasa manggil beliau Ji Dul Ripin."
"Ck, aku ini bukan orang jaman kuno Bi, nggak usah dijodohkan."
"Nggak gitu Rul, mumpung ibumu masih sehat, Akhmad sudah tahu tapi kami mewanti-wanti dia agar jangan bilang sama kamu dulu."
"Oh makanya Mas Akhmad kayak gimana gitu Bi waktu aku pamit mau pulang ke sini."
"Ruuuuul." Tiba-tiba terdengar panggilan pelan dari arah kamar depan.
"Iya Ibuuuuu, tunggu dulu ya Bi ada panggilan surga."
Lik Sutinah tertawa sambil geleng-geleng kepala.
.
.
.
Assalamualaikum
Wa Alaikum salam, ada apa Mas, tumben nelepon?
Kamu gimana sih aku telepon gak diangkat, mbakmu ipar nelepon gak diangkat
Lah masak sih Mas?
Alah kamu ini
Lah gak nyambung paling aku Mas, ada apa Mas?
Ada apa, ada apa, gimana perkembangan kesehatan ibu?
Alhamdulillah semakin baik
Ibu itu sebenarnya mikir kamu Rul, kan selama di sini juga gak pernah pulang, trus ibu juga ngurus sawah sama sewa perahu sendiri, ada sih Lik Sutinah tapi kan ya Lik Sutinah punya keluarga sendiri, pasti ibu nggak mau merepotkan adiknya yang masih punya anak kecil-kecil
Ngapain juga aku dipikir Mas, aku baik-baik saja meski gak punya pasangan, jomblo tapi bahagia aku ini Mas
Itu kan pikiran kamu, kita nggak tahu apa yang dipikirkan oleh orang tua
Iya sih tapi kan jodoh nggak bisa dipaksa, masa ia aku mau nikah sama laki-laki yang nggak aku kenal?
Ya kenalan dulu Rul
Alah biasanya kalo dijodohkan ujung-ujungnya nggak cocok, Mas juga loh nikah kan milih sendiri, kalo aku kok dijodohkan, gak adil namanya
Ruuul bukan gitu, ceritanya sahabat bapak itu ke rumah jenguk ibu jadi kok ya nggak tau ceritanya jadi sampai ke masalah perjodohan itu, lagian kata siapa kalo dijodohkan pasti nggak cocok, lihat aja dulu Rul, ta'aruf
Enak aja Mas bilang ta'aruf, kenapa juga Mas dulu kok nggak ta'aruf juga
Ruuul jalan jodoh kita mana tahu, aku ketemu mbakmu ipar juga karena dikenalkan teman, cocok ya nikah
Ya sudah aku juga mau cari sendiri
Ruuul, Ruuul, kasihan ibu, iyakan dulu, misal gak cocok ya utarakan apa alasan gak cocoknya
Sulit biasanya Mas kalo sudah dipertemukan, harus nikah nanti jadinya
Ya nggak juga
Udah ah Mas, mau mandikan ibu
Loh ibu harus dimandikan ta?
Maksudnya mau antar ibu ke kamar mandiiii
Duh kamu ini bikin kaget aja
Nurul meletakkan ponselnya dan menuju kamar ibunya.
"Ngomong sama siapa tadi Rul?" Supiyah bertanya sambil berusaha bangun. Nurul membantu mendudukkan ibunya.
"Mas Akhmad Bu."
"Ngomong apa saja kalian?"
"Nggak ada Bu."
"Nggak ada? Tapi ibu dengar kok lama kamu ngomong, masa kamu ngomong sendiri?"
"Ya biasa Bu ngomong-ngomong gak penting."
"Kalo gak penting kok lama?"
"Ya karena gak penting jadi lama."
"Oh sekarang jadi kebalik ya Rul?"
"Iya Bu, tergantung kepercayaan dan keyakinan."
"Ibu nggak ngerti kamu ngomong apa Rul."
"Nah dari pada Ibu bingung ayo Nurul tuntun ke kamar mandi." Nurul bernapas lega, paling tidak ia bisa menghindar dari masalah perjodohan itu.
.
.
.
Seminggu lebih Nurul mengurus ibunya Alhamdulillah kesehatan ibunya berangsur pulih, meski ke mana-mana tetap harus dipapah. Hanya yang membuat Nurul pusing karena masalah perjodohan yang terus menganggunya hingga Nurul iseng-iseng mencoba mendaftar menjadi pengajar di sebuah bimbel yang ada di kecamatan kota Sumenep, meski agak jauh dari rumahnya tak masalah bagi Nurul yang penting ia bisa menghindar dari desakan perjodohan.
Setelah melalui tes yang panjang akhirnya Nurul diterima menjadi salah satu pengajar matematika di bimbel tersebut. Berbekal ijin dari ibunya, Nurul bolak-balik Sumenep-Pasongsongan jika ada jadwal bimbel. Paling tidak seminggu tiga kali ia harus bolak-balik menikmati perjalanan selama kurang lebih 45 menit, tidak melelahkan bagi Nurul karena justru ia ingin menghindari pertanyaan tentang dirinya dan laki-laki yang tidak ingin ia kenal karena entah kenapa bayangan wajah kakak kelas yang telah menjerat hatinya makin lekat saja dalam ingatan Nurul.
Sore itu Nurul baru saja selesai memberi materi di tempat ia mengajar, entah mengapa ia ingin sekali mengunjungi Maryam sahabatnya dulu saat mondok, meski tak yakin akan bertemu tapi tak ada salahnya mencoba. Ia kendarai motornya menuju jalan Pendekar di depan rumah dinas Bupati Sumenep. Sesampai di halaman rumah Maryam rasanya terasa sepi karena taka da aktivitas tanda-tanda kehidupan dan suara-suara.
"Kalo May nggak ada yang nggak papa paling tidak aku bisa silaturahim ke ibu dan bapaknya Maryam."
Nurul memarkir motornya dan terus ke teras ia mengucapkan salam berulang dan muncullah Hasanah ibunda Maryam.
"Ya Allah Ruuul kamu ke mana saja Nak." Dan Nurul mencium punggung tangan Hasanah dengan takzim sambil tersenyum.
"Ikut kakak Bu di Sidoarjo, ngajar di sana trus ibu sakit ya saya pulang tapi Alhamdulillah sudah berangsur sembuh."
"Ya Allaaaah Ruuuul." Dan Maryam sahabatnya langsung berlari memeluk Nurul yang membuat Nurul kaget karena Maryam menangis tersedu hingga Nurul penuh tanya karena tangis Maryam bukan tangis bahagia tapi tangis sedih seolah merintih.
"Maryam baru melahirkan Rul."
"Oh iya Ibu, selamat ya Maryam, maaf ya aku nggak tahu kalo kamu nikah bahkan sudah punya anak, ngomong-ngomong mana suamimu?"
"Kami baru saja bercerai Rul."
"Ya Allah." Dan jawaban Maryam sungguh mengagetkan Nurul, membuat Nurul kembali berpikir untuk tidak terburu-buru menikah.