Permintaan Felora

1927 Kata
Felora menahan Halim tetap di sana setelah makan malam, gadis kecil itu membawa buku cerita favoritnya. Awalnya Kikan berpikir Felora akan menghampirinya, tapi, gadis manis itu memberikan pada Halim. “Bubu!” Nama panggilan buku khas Felora. Kikan dan Oma saling tatap, “iya nanti ya, Fel. Bunda bacakan.” Felora menggeleng, “Uncle dokter, Fel mau sama Uncle!” “Uncle mau pulang—” “Ndak! Uncle bobo sama Fel, sama Bunda!” Kikan langsung canggung mendengar permintaan polos putrinya, “Felo—” “Felo mau dibacakan Bubu sama Uncle, iya?” Oma menyela Kikan. Buat Kikan melebarkan matanya. Kikan sudah hampir bicara lagi, namun Oma kembali mendahului, “Felo punya kebiasaan di bacakan buku-buku sebelum tidur. Bubu salah satu buku kesayangannya. Entah berapa kali minta dibacakan.” Halim meraih buku itu, dan juga meletakan Felora di pangkuannya. “Sini Uncle bacakan, mau?” “Mau… mau!” kata Felora langsung menempel dengan Halim. Kikan menarik napas dalam-dalam melihat pemandangan depannya, “aku permisi.” Kikan berdiri. Oma tidak lama menyusul, meninggalkan Felora dan Halim yang membaca setiap halaman di buku itu. Felora tampak tidak bosan, karena baginya cara Kikan dan Halim bercerita jelas berbeda. Dapat suasana baru. “Ini hewan apa, Fel?” tanya Halim. Felo menguap, tangan kecilnya menutup, “Jeapah!” “Jerapah,” Halim membenarkan. Felo kemudian mendongak, membuat Halim bisa menyelami netra indah Felora dengan bulu matanya yang lentik. Tangan kecil Felora terulur menyentuh pipi Halim. Demi alam semesta dan seisinya, Halim merasakan sesuatu yang menyejukkan dihatinya saat merasakan tangan kecil itu menyentuh pipinya. “Jeapah kecil itu ada Bunda dan ayahnya…” "Bunda dan ayahnya?" "Iya yang ini, Uncle dokter." Felo kembali menunjuk buku, menunjukkan pada Halim yang ia maksud jerapah kecil dengan dua jerapah besar. Halim ikut menatap gambar yang di tunjuk oleh jemari kecil Felo, “Felo punya Bunda, tapi ayah ndak ada.” Halim mengeratkan pelukannya, merasa sedih mendengar ucapan Felora walau anak itu mengatakannya dengan ekspresi polos. Felo menunjuk Halim, dan ayah jerapah itu. “Uncle jadi Ayah Felo, ya?” Misi Oma mencuci pikiran Felora sepertinya berhasil. “Ya?” Halim sampai mengerjap dengan permintaan itu. Felora tersenyum manis, tidak mengulang kalimatnya selain kembali bersandar pada dadanya. Halim termenung sejenak, merasa jika ia tidak salah dengar. “Felo?” panggilnya. Anak itu mulai memejamkan mata, Halim pilih melanjutkan ceritanya sampai Felora benar-benar tertidur pulas. Oma kembali lebih dulu, “lho cepat sekali tidurnya?” “Sudah mengantuk, Oma.” “Biar Oma panggil Kikan, untuk dipindahkan ke kamarnya.” “Biar saya saja, Oma.” Cegah Halim sembari meletakan buku, lalu dengan hati-hati mengeratkan pelukannya dan berdiri. Oma memerhatikannya. “Sssstth!” Felora membuka mata sebentar, menatap wajah Halim, “jangan pulang ya Uncle,” gumamnya dan tertidur lagi. Oma tersenyum mendengarnya, lalu mengarahkan Halim hingga ke kamar Kikan dan Felora. Oma berdiri di sana, menyaksikan saat Halim meletakan Felora di ranjang, membenarkan letak selimut dan mengusap pipinya. Saat akan menjauh, pegangan tangan Felora masih di sisi depan kemeja yang Halim gunakan. Perlahan-lahan ia melerai jemari kecil itu. “Sudah di tinggal saja, Felora sudah nyenyak.” Ujar Oma. Halim berdiri, melangkah ke sisi Oma sembari kembali menatap Felora yang tertidur. “Maaf ya kalau Felora jadi manja sama kamu,” “Felora anak yang manis, Oma. Saya juga senang bisa dekat dengan Felora.” Oma menarik napas dalam-dalam, “Felora pasti mendapatkan kedekatan yang baru saat sama kamu, sesuatu yang tidak ia dapatkan dalam hidupnya. Yaitu seorang Ayah.” Halim sampai menoleh menatap Oma, yang tampak menyeka air mata di sudut matanya. Halim tidak mengatakan apa pun lagi, ia pilih mendengarkannya. “Kikan juga, terlihat kuat tetapi rapuh dalam dirinya. Ada ketakutan dalam hati Oma, bagaimana bila suatu waktu Oma tiada. Kikan dan Felo hanya memiliki satu sama lainnya, di tambah keadaan Felora. Kamu tahu kan?” Halim mengangguk, “ya, Oma.” Oma tersenyum, tidak mengatakan apa-apa lagi selain tangannya terulur mengusap bahu Halim. Tepat Kikan menyusul, “pantas aku cari-cari, ternyata Felo di sini… Lho sudah tidur?” “Iya, sudah biarkan Felo tidur.” Oma berbalik, berjalan lebih dulu. Kikan dan Halim saling tatap, sebelum akhirnya menyusul Oma. “Saya langsung pamit pulang saja,” Pamit Halim. Sudah larut juga, pasti Oma dan Kikan mau beristirahat. Oma mengangguk, “jangan hanya datang hari ini ya, pintu rumah ini selalu terbuka untuk kamu.” Halim tersenyum walau tipis, “terima kasih untuk makanannya.” “Oh sebentar,” Oma lalu memberi kode pada Kikan yang langsung pergi ke dapur, kembali membawakan sebuah tas berisi beberapa kotak dengan makanan. Halim langsung tidak enak, “Oma, ini tidak perlu.” “Jangan menolak, Kikan masaknya sengaja banyak biar bisa dibawa pulang sama dokter.” Kikan kembali menatap Oma, karena bukan ide dia. Tapi, Oma yang meminta masaknya banyak. ‘Aish, Oma! Apa sih tujuannya, dari tadi namaku terus yang digunakan!’ Batin Kikan. “Terima ya, dokter. Nanti bisa dihangatkan. Buat besok sarapan dan makan siang.” Kikan menyerahkan, Halim meraihnya dan tangan mereka bersentuhan membuat Kikan dan Halim saling tatap. Oma tersenyum senang saja menyaksikan hal sederhana, receh itu tapi pasti jadi awalan yang baik. “Terima kasih Oma, ini sangat banyak.” Halim lalu memeluk Oma, baru pertama bertemu, ia sudah merasa tak asing. Justru mengingatkan Halim pada rumahnya. Perhatian Oma juga natural, tidak dibuat-buat hanya demi mencari perhatiannya. Semuanya terasa pas dan nyaman. “Jaga kesehatan Oma,” pesan Halim, lalu pamit diantar Kikan sampai depan. Mereka berjalan bersama, hening sampai Kikan berbicara, “Halim,” Halim sampai berhenti melangkah, buat Kikan juga berhenti. Mereka berhadapan. Kikan mulai membiasakan langsung memanggil nama. “Saya harap Oma tidak sampai buat kamu tak nyaman.” Kening Halim mengernyit, “kenapa saya harus tidak nyaman?” “Hmm, ya takutnya ada kalimat-kalimat Oma yang kurang enak didengar.” Kikan sampai mengusap lengannya. “Oma justru teramat baik pada saya,” kata Halim. Kikan menghela napas dalam-dalam, “selain Oma, sebenarnya ada rasa khawatir dalam hati saya.” Ungkap Kikan. “Tentang Felora yang dekat dengan saya?” tebak Halim dengan tepat. Mata Kikan sempat membulat, “hm, ya.” Kikan akhirnya pilih mengatakannya. “Kamu keberatan kalau Felora dekat dengan saya?” Kikan menggeleng cepat, “bukan begitu!” “Lalu apa?” “Saya hanya takut membuat kamu tidak nyaman, terganggu atas sikap Felora yang terlihat manja sekali padamu.” Halim mendekat, membuat Kikan jadi gugup terutama karena menatap matanya, “jika saya merasa tidak nyaman, terganggu, saya tidak akan berada di sini.” Ujarnya ambigu. Kikan mengerjap, “tapi—hm sebentar!” Kening Halim mengernyit, lalu bergantian dia ikut berdebar saat Kikan mendekat. Perlahan tapi pasti hingga hanya berjarak satu jengkal tangan, Kikan bahkan berjinjit hingga mereka sejajar. Pikiran Halim sudah mulai tak rasional, masa sih Kikan ingin menciumnya? Pikirnya. “Kikan-“ PLAK! Pukulan kecil di pipi yang cukup mengejutkan, “kena!” ujar Kikan. Halim membulatkan mata sambil memegangi pipinya. Kikan membuka kepalan tangannya, menunjukkan nyamuk. “Maaf, Halim. Ada nyamuk!” Halim sampai tercengang, Kikan tersenyum dan kembali mundur. Namun, kemudian matanya memicing curiga. “Kenapa?” Halim menarik napas dalam-dalam, tak habis pikir dengan yang Kikan lakukan apalagi pikirannya. ‘s**t, apa-apaan pikiran ini yang mengira Kikan akan menciumku?!’ Batin Halim. Mengutuk diri sendiri. Halim menggeleng pelan, tidak membahas apa pun selain segera masuk mobil. Kikan tetap di sana, sampai mobil Halim melaju. Meninggalkan rumahnya. “Terpenting aku sudah berusaha bicara tentang Felora,” kata Kikan. Berbalik pergi. *** Hari ini Kikan mengantar Felora sekolah. Dia sendiri pergi bekerja. Kikan tidak selalu ke kantor, terkadang bisa bekerja dari rumah. Ada tim khusus yang terjun ke lapangan juga. Kikan menyelesaikan meetingnya, baru bersiap pulang ketika ponselnya dapat panggilan dari nomor tidak dikenalinya. Ia mengernyit, mempertimbangkan untuk tidak menjawab saja telepon tersebut. Namun, lama-lama Kikan terganggu karena nomor tersebut terus saja meneleponnya. Kikan terpaksa menjawab, “Hallo—” “Kikan, apa kabar?” Kikan sampai urung menghidupkan mobilnya, membuat punggungnya tegak dengan ketegangan luar biasa. “Ka Hanan—” “Rupanya kamu masih sangat mengenali suara mantan suamimu, ya?” Kikan menjauhkan ponselnya, lalu melihat sederet nomor yang sedang tersambung dengannya. Bukan nomor Indonesia, melainkan nomor Jerman. “Kikan,” “Ka Hanan di Jerman?” “Ya, aku datang untuk menemuimu dan putriku.” Lidah Kikan kian kelu mendengarnya, saking paniknya Kikan sudah hampir mengakhiri telepon tersebut sampai Hanan kembali bicara, “mau sampai kapan kamu menghindar, Kikan?” “Aku tidak menghindar!” Bantah Kikan, “Setelah yang Ka Hanan lakukan, mengapa baru sekarang, secara tiba-tiba ingin menemuiku dan Felora?!” tangan Kikan mulai gemetar. “Kikan—” “Tidak! Sebaiknya Ka Hanan pulang! Aku tidak akan biarkan Ka Hanan mendekati Felora!” Tut! Kikan mengakhiri telepon tersebut, ia gemetar. Panggilan kembali masuk dari nomor yang sama. Kikan berulang menolak panggilan tersebut, tapi Hanan serius ada di Jerman. “Felora!” Kikan seperti tidak bisa berpikir jernih, satu-satunya yang terlintas adalah menjemput Felora. “Ya Tuhan, bagaimana jika Ka Hanan tahu sekolah Felora?!” semakin panik ketika pikiran negatif memenuhi kepala dan rasa cemas mengimpit dadanya. Kikan mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Alih-alih merasa empat roda mobil melaju di atas aspal, ia sampai merasa melayang saking mengendarainya dengan cepat. Menyusul mobil-mobil di depannya, masih waras untuk tidak menerobos lampu lalu lintas. Kikan juga menelepon Miss yang menjadi wali kelas Felora, memintanya untuk tidak membiarkan orang asing menemui putrinya. Dulu ada suster Felora, tetapi seminggu lalu berhenti. Kikan juga merasa sudah bisa atur waktu. Kikan menghentikan mobilnya depan sekolah Felora, terburu-buru keluar, langkahnya terlalu cepat sampai ia terjatuh. “Akh!” Dia merasakan lecet di telapak tangannya. Tetapi, tidak ada waktu untuk mengeluh. Kikan segera bangun dan baru lega ketika akhirnya bisa melihat Felora di kelasnya. Dia duduk menunggu, tangannya masih gemetar. Ponsel kembali berdering. Panggilan dari nomor Hanan. Kikan kembali menjawabnya, “akhirnya kamu menjawab lagi—” “Apa yang kamu inginkan, Ka?” tanya Kikan dengan suara nyaris gemetar. “Kita bertemu, bawa Felora.” “Aku bukan Kikan yang dulu, Ka! Aku tidak akan menurut sama semua yang kamu inginkan! Apalagi jika menyangkut putriku!” tegas Kikan. “Aku datang secara baik-baik Kikan,” Kikan memilih diam. “Datang temui aku, besok. Atau aku yang akan datang menemuimu dan Felora. Aku tahu alamat rumah Oma.” Kikan memejamkan mata, dengan tangan mengepal kuat dan menekan luka yang baru ia dapatkan. Tidak peduli rasa perihnya. “Bunda!” seruan Felora dengan suara kencang, saat Kikan masih tersambung dengan Hanan. “Itu suara Felora, iya kan Kikan?” desak Hanan. Kikan menatap Felora yang berlari ke arahnya, “Kikan—” Kikan kembali mematikan ponsel, mengatur nada deringnya dan menyimpan ponsel ke tasnya. Kemudian menyambut Felora, memeluknya erat-erat sampai Felora protes. “Bunda, aku tidak bisa napas nanti!” Kikan tersenyum di tengah air mata yang jatuh, langsung menyekanya agar Felora tidak banyak bertanya. Dia tatap wajah putrinya, kekuatannya. “Kita pulang.” Felora mengangguk, saking takutnya, Kikan sampai pilih mengendong Felora. Sepanjang jalan itu, Kikan mencari cara untuk menghindari pertemuan Hanan dan Felora. Mantan suaminya, tidak bisa bertindak sesukanya lagi. Setelah semua yang ia lakukan, bahkan tidak peduli pada Felora. Kikan jelas tidak akan membuat Hanan dengan gampang menemui Felora. Apa pun akan Kikan lakukan agar Hanan kembali pergi dari hidupnya dan Felora seperti yang sudah Hanan pilih sejak berhenti berkomunikasi serta peduli pada Felora. Kikan bukannya kejam, memisahkan Ayah dan putrinya. Kikan hanya menjalankan apa yang Hanan pilih untuk tidak ada dalam kehidupan Felora sejak awal. Harusnya terus begitu, kan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN