Halim menghentikan mobilnya di sebuah rumah, cukup besar dengan halaman yang luas. Taman-taman terawat. Dia tersenyum melihat ada sekotak pasir dengan beberapa mainan di sana. Ada mainan lain seperti mobil-mobilan kecil dan sepeda dengan empat roda berwarna merah muda. Semua pasti punya Felora.
Halim segera turun, baru menutup pintu tepat Kikan keluar bersama Felora.
Hatinya langsung menghitung mundur, yakin Felora akan memanggilnya seperti biasa. “Uncle dokter!” seruannya dengan semangat.
Dia menuruni beberapa anak tangga di teras, Halim meraup tubuhnya yang beraroma manis. “Sebentar!” Halim berjongkok, menjauhkan wajah dan menatap wajah Felora. “Wah, wajah baru?!”
Semula rambut Felora panjang sepunggung, kini sebahu lebih sedikit. Rambut anak itu memang tebal. Berponi yang semakin membentuk wajah manis dan cantiknya.
“Cantik sekali!”
Felora tersenyum manis, kemudian memeluk Halim lagi.
“Eh, sebentar lagi.”
Felora mengerjapkan mata saat Halim menjauhkan diri, Kikan berdiri di belakang putrinya. Menyaksikan semuanya. Terutama saat Halim berdiri, memintanya menunggu, ia beralih ke mobil, membuka pintu sisi penumpang depan, mengambil sebuah boneka berukuran sedang. Boneka kelinci berwarna putih.
“Buat aku?” Pekik Felora memeluknya. Merasakan kelembutan boneka itu.
“Iya buat Felora,”
“Bilang apa, Fel ke Uncle dokter?” tegur Kikan. Putrinya langsung memeluk Halim yang menyamakan tinggi dengannya, mencium pipi Halim.
“Thank you, Uncle dokter yang baik!”
Halim dan Kikan tertawa mendengar pujian anak manis itu.
“Fel, bisa tunjukkan ke Oma…”
“Oh iya!” dia berbalik dengan semangat dan mencari keberadaan Oma.
Sementara Kikan menghadap kembali pada Halim, “terima kasih sudah meluangkan waktu untuk memenuhi undangan Oma, dan hadiah untuk Felora.”
Sejujurnya Halim teringat ucapan Bunda, saat mengunjungi rumah seseorang pertama kali, kenalan baru, sebaiknya datang tidak dengan tangan kosong. Halim bingung mau bawakan apa, akhirnya di jalan tadi ia pilih mampir ke sebuah toko boneka. Lebih memilih boneka untuk Felora. Benar saja, Felora menyukai sekali pilihannya.
“Masuk yuk, Oma sudah menunggu.”
Halim mengangguk, nilai pertamanya memasuki rumah itu, seperti pulang ke rumah pada umumnya. Suasana rumah, keluarga terasa. Nyaman dan rapi. Ada bagian perapian digital, untuk menghangatkan ketik musim dingin tiba. Foto-foto yang terpasang justru sedikit ada Kikan dan Felora.
“Tadinya ini rumah Oma, di tempati bersama suaminya dan anak semata wayangnya. Oma ini adik dari mendiang nenekku, usianya terpaut jauh. Hampir berdekatan dengan mendiang ayahku. Anak Oma sudah menikah, ikut suaminya. Oma tinggal sendirian setelah Opa tiada. Begitu mendengar kematian kedua orang tuaku, lalu tidak lama perceraianku, Oma menelepon, menangis-nangis dan minta aku pindah bersamanya ke sini.” Kata Kikan sempat berhenti menatap potret keluarga Oma. “Oma dan anaknya adalah keluarga terakhir yang aku miliki. Tidak ada lagi.”
Halim yang punya keluarga besar, merasa menjadi Kikan kian tidak mudah ketika harus kehilangan kedua orang tuanya secara bersamaan. Hamish pernah bercerita padanya sedikit tentang kecelakaan yang menimpa orang tua Kikan, sampai ia kehilangan secara bersamaan.
“Lho yang di tunggu, malah di sini.” Sebuah suara lembut, ramah. Buat Halim maupun Kikan berbalik.
Oma berjalan, membawa tongkatnya. Kikan langsung mendekat, bantu Oma mendekat pada Halim.
“Jadi ini Uncle dokternya Felora? Yang selalu di bicarakan?” sapa Oma.
“Oma,” panggil Kikan. Kesannya seperti ia dan Felora selalu membahas dokter Halim. Nanti jadi salah sangka, Kikan yang tidak enak.
Oma terkekeh, mengulurkan tangan, “Oma Chaesa, Oma dari Kikan dan Felora. Gadis manis kesayangan Oma.”
Halim menyambut uluran tangan Oma, salim, “Halim Benjamin Lais, Oma. Senang bisa datang ke sini, terima kasih atas undangan dinnernya.”
“Oma yang harusnya berterima kasih, sudah baik pada Felora dan Kikan.” Sekali lihat, Oma yakin pada Halim jika ia memang pria baik. Oma melirik Kikan lalu Halim.
“Ayo masuk,” ajak Oma.
Baru akan melangkah Felora kembali muncul, membawa boneka yang Halim berikan. “Uncle dokter, ayo!”
“Felo, Uncle dokternya ajak duduk ya.”
Felora mengangguk, dengan pintar mengajak Halim ke ruang keluarga. Dengan tenang dia duduk bersama Halim. Oma juga duduk di sana, menatap keduanya seperti Ayah dan putri. Terlihat cocok sekali.
Sedangkan Kikan mengambilkan minum dan camilan, Kikan menggelengkan kepalanya melihat sang putri duduk di sisi Halim dengan tenang.
“Sudah lama tinggal di Hamburg?”
Halim mengangguk, “ini tahun ke lima.” ‘
“Wah sudah lama sekali ya,”
“Lebih lama Oma, pastinya kan?” tanya balik Halim. Oma mengangguk, “saya menyelesaikan pendidikan.”
“Lalu dapat tawaran langsung kerja di Norbert Hospital? Masuk sana sulit lho kalau bukan karena nilai yang sempurna dan kompeten.”
Halim hanya tersenyum dapat sanjungan tersebut, tidak membuatnya jadi jumawa.
“Hari ini lagi libur?”
“Iya, Oma.”
“Bisa begitu ya, awalnya Kikan jual rumah ke kembaran kamu dan istrinya. Siapa sangka sekarang jadi dekat.”
Kikan memberi lirikan pada omanya, sejak awal Oma memberi kalimat-kalimat yang buat jantung Kikan waspada. ‘ya ampun, bagaimana kalau dokter Halim tidak nyaman sama kalimat Oma?!’ Batin Kikan.
Halim menanggapi masih dengan senyum tipis, “ayo di minum dokter, di cicipi kuenya.”
Halim mengambil minum, sirup jeruk yang segar. Oma masih terus bertanya-tanya, seperti sudah menyiapkan banyak pertanyaan yang siap ditanyakan saat bertemu dokter Halim. Ya, sekiranya begitu dalam pikiran Kikan.
“Orang tuamu kerja apa, Halim?”
“Bunda saya ibu rumah tangga setelah berhenti jadi penulis, lalu Ayah sekarang kerja di RMC Hospital.”
“Hm, sudah Oma duga. Pasti jadi dokter karena orang tuamu salah satu ada yang jadi.”
“Ya, saya langsung tertarik mengikuti jejak Ayah.”
“Selain Hamish, ada saudara lain?”
Halim mengangguk, pertanyaan yang ringan dan ia tahu Oma ingin tahu tentang dirinya lebih dalam lagi. Halim tidak keberatan. “Ada, kakak perempuan. Aurora.”
“Artis terkenal di Indonesia, Oma.” Saut Kikan.
“Oh ya?” Oma maupun Halim menatapnya.
Kikan mengangguk, “aku suka semua film yang dibintangi Ka Aurora.” Setelah pindah ke Jerman, Kikan tidak lagi mengikuti film di Indonesia. Tapi, masih sangat mengingat artis idolanya itu, Aurora Kyomi Lais. Sebab itu saat agen property yang bantunya menjual rumah, menelepon untuk mengabari rumahnya ada yang minat, menyebutkan nama yang tidak asing karena nama belakangnya, Kikan langsung berpikir masih ada kerabat dengan artis idolanya. Benar saja, ternyata mereka adik-kakak.
Oma tersenyum tertarik, hanya Felora yang sibuk dengan dunianya sendiri. bermain boneka sambil bersandar pada Halim.
“Sudah menikah juga?”
Halim mengangguk, “sudah,”
“Tinggal dokter Halim ya berarti?”
“Oma.” Tegur Kikan lagi. Oma ini memang nenek-nenek yang penasaran. “Sorry ya dokter,”
Halim tersenyum, “tidak apa-apa, pertanyaan umum.”
“Nah, dokter Halim saja santai. Kamu kok yang tegang!” Sindir Oma, buat wajah Kikan memerah. Lalu ia memutuskan berdiri, “mau ke mana?”
“Dapur, Oma temani dokter Halim saja.”
Kikan sebaiknya menyingkir, Oma terlalu berbahaya sekali membuatnya malu.
Beberapa saat kemudian, Kikan mendengar suara obrolan Oma dan Halim. Semakin banyak dan akrab, Halim juga menanyakan kesehatan Oma dengan perhatian. Celoteh Felora tidak luput terdengar. Jarang-jarang rumah mereka terasa hangat, selain karena Felora.
Dia pikir hanya Felora yang mudah menyukai dokter Halim, dari yang terjadi sekarang, tampaknya Oma pun jadi tim Uncle dokter. Pria asing yang jadi favorit semua orang. Kecuali Kikan.
***
Felora begitu senang bisa bersama Halim, menunjukkan mainannya, bahkan belajar bersama. Halim tampak takjub ketika Felora sudah hafal semua warna baik dalam bahasa Indonesia, inggris bahkan Jerman. Bisa mengenal angka dari satu sampai dua puluh. Bahkan tahu berbagai jenis hewan. Tadi juga Felora membagi ice kream bagian yang sengaja Felo belikan untuk Halim, ternyata Halim juga suka rasa cokelat seperti gadis manis itu.
“Felora baru jalan empat tahun, kan?” tanya Halim
Kikan sedang merapikan mainan putrinya.
“Iya,”
Mendapati Halim terdiam, Kikan menatap dokter itu.
“Kenapa?”
“Saya teringat keponakan,”
“Baby twin? Hansika dan Izz?” Kikan hafal nama si kembar, putra dan putri dari Hamish dan Lea.
“Ya, mereka juga. Ada keponakan lain. Saya punya Kakak sepupu, dia sudah ada tiga anak. Sky, Sagara dan Fayra. Waktu Sky seusia Felora, ia pun sama-sama sudah hafal banyak hal.” Cerita singkat Halim.
“Lais itu keluarga besar, ya?”
“Semula Ayah saya hanya dua bersaudara, Daddy Kaivan, yang menjalankan perusahaan Lais setelah mendiang Kakek pensiun untuk mengurus nenek saya. Lalu dari pernikahan masing-masing Ayah dan Daddy kami hadir, sekarang semakin banyak saudara.”
“Pasti menyenangkan,” kata Kikan, menatap Felora yang sedang merangkai mainan baloknya. “Saya tidak punya banyak saudara, saya bahkan anak semata wayang, ah begitu juga Felora.”
Halim tidak tahu harus menanggapinya dengan apa, jadi ia hanya tersenyum tipis. Menatap Kikan.
“Hm, Kikan… saya bisa pakai kamar mandi?”
“Oh tentu, Felora…”
“Ya, Bunda?” putrinya mendongak.
“Tunjukkan kamar mandi ke uncle dokter ya, tolong.” Minta Kikan.
Felora langsung berdiri, bertaut dengan tangan Halim untuk menunjukkan kamar mandinya. Kikan memilih ke dapur, menata makan malam mereka, Oma muncul dengan senyum penuh makna.
“Oma, tolonglah jangan buat aku malu.”
“Lho, Oma memang buat apa? Perasaan tidak melakukan yang buat kamu malu.” Oma menggeleng pelan.
Kikan hanya menghela napas, Oma mencicipi semua masakan Kikan. “Banyak kemajuan kamu, masakanmu makin enak.”
Bagi Oma yang tahu Kikan, anak semata wayang buatnya manja dan agak tomboy. Kikan baru belajar masak setelah Felora mulai makan. Lalu Oma membantunya belajar memasak.
“Panggil dokter Halim dan Felora, kita makan makan sekarang.” Sudah hampir jam tujuh malam. Halim datang bahkan dari jam tiga.
Kikan muncul bersama Halim dan Felora. Halim memerhatikan banyak menu khas Indonesia yang tersaji. Ada semur daging kesukaannya. Halim duduk dekat Felora yang naik ke kursinya sendiri, “Biar saya saja,” tolak halus Halim ketika Kikan hendak mengambilkan nasi untuknya.
“Oma dan Kikan berpikir pasti dokter Halim merindukan makanan Indonesia, kami memilih menu ini. Semoga dokter Halim menyukainya.”
Seperti kebetulan, Halim memang sedang merindukan sekali masakan Indonesia. Ada resto Indonesia, di sana, tetapi rasanya tetap berbeda.
“Felora, ayo pimpin doa.” Ujar Kikan. Putri kecilnya itu mulai berdoa sebelum makan. Satu lagi yang buat Halim kian kagum pada Felora.
“Selamat makan semua,” Oma mempersilakan.
Halim mulai makan, terasa hangat dengan celoteh Felora dan Oma yang ramah sekali. Kikan memerhatikan putrinya, seperti saat mereka pernah lunch bersama, Kikan akan prioritaskan putrinya lebih dulu, baru dirinya.
“Bagaimana dokter? Masakannya?”
Halim minum lebih dulu, mengelap bibirnya barulah menjawab, “semua enak, Oma. Buat saya mengingat rumah.”
"Wah dokter Halim bilang enak, semua ini Kikan lho yang masak." Ujar Oma dengan senyum penuh makna. Menatap Kikan yang membulatkan mata padanya, sementara Halim tersenyum tipis.
“Oh, saya kira Oma yang masak.”
“Oma hanya memastikan resep dan step by step, terus jadi juri. Semua jeripaya tangan Kikan.”
“Masakan kamu enak,” Halim menatap Kikan, lalu berpikir selain nyaris sempurna menjadi Ibu bagi Felora, Kikan juga pandai memasak dan mengurus rumah. Padahal mengingat latar keluarga yang berada, Kikan lebih memilih hidup sederhana dan apa adanya.
‘Hm, tunggu… apa aku baru memuji wanita ini?’ batin Halim.
Ketika keduanya saling mengunci tatap, senyum Oma semakin lebar. Hatinya berdoa. 'Semoga Halim jawaban yang Tuhan kirimkan untuk menjadi teman hidup terakhir Kikan, serta yang bantu menjaga Felora sepenuh hati. Amin.' Batin Oma.
Mata Oma juga beralih pada Felora yang berada di tengah-tengah mereka. Masih belum ada ikatan antara mereka, tetapi Oma bisa membayangkan seperti apa bila nanti mereka jadi keluarga kecil. Tatapan Halim pada Felora, terlihat begitu tulus dan penuh kasih sayang.
Oma beralih pada Kikan, tatapan mata mereka bertaut. Kikan memberi kode, bertanya karena Oma terus memandangi. Oma hanya tersenyum, lagi-lagi makna senyum Oma yang tahu hanya ia seorang dan Semesta.