Terlibat lebih dalam

2031 Kata
Kikan yang pulang dengan wajah cemas, juga mengobati luka di telapak tangannya jadi menimbulkan satu pertanyaan besar dari Oma. “Kamu membuat Oma takut, bahkan Felora juga bisa takut kalau kamu seperti ini, nak.” Kata Oma, duduk mengambil alih tisu dari tangan Kikan, ia mengobati luka di telapak tangan Kikan. "Sebenarnya ada apa? Kenapa bisa seperti ini, Kikan?” tanya Oma. Kikan menatap Oma, dari matanya yang berkaca-kaca Oma tahu sesuatu yang tak diharapkan baru terjadi. Sedangkan Kikan sendiri takut Oma pun jadi ikut terbebani pikirannya bila tahu alasan yang terjadi, “Hanan menghubungimu lagi?” “Ya, terparahnya dia di Jerman. Sudah di Berlin, menuju Hamburg. Besok ia minta aku menemuinya.” “Astaga! Apa yang dia mau dari kamu?!” Oma sampai terkejut dapat informasi itu. Kemudian mengalirlah cerita dari bibir Kikan, awal mula ia dapat telepon hingga terburu-buru menjemput Felora. Lukanya yang di dapat pun karena terburu-buru dan terjatuh. “Oma, apa yang harus aku lakukan? Aku tidak mau Ka Hanan bertemu Felora?” bisik Kikan dengan nyaris putus asa. Tak pernah menduga jika Hanan akan muncul dalam hidupnya lagi. Secara tiba-tiba menghubunginya, ingin bertemu ia dan Felora. Kikan merasa firasat tak baik. Ia cukup mengenal mantan suaminya tersebut. “Jangan membiarkannya mendekati Felora!” Oma turut setuju. “Enak saja dia! Tidak punya pikiran dan hati! Setelah semua perbuatannya padamu dan Felora, datang begitu saja?!” Kikan menghela napas dalam, Felora sedang tidur siang. “Ka Hanan pasti akan segera datang ke sini, Oma. Kalau aku tidak segera datang menemuinya.” “Oma tidak akan kasih kamu pergi sendiri, menemuinya!” Kata Oma dengan tegas. Keduanya terdiam, sibuk dengan cari jalan keluar dari masalah mereka sekarang. Menghadapi mantan suami Kikan yang kembali. “Aku akan menginap di hotel, bersembunyi. Bila mungkin ke luar kota yang tidak mudah ditemukan Ka Hanan. Oma ikut ya?” “Tidak, Oma akan di sini. Oma akhirnya punya kesempatan buat marahi dia!” Kikan merasa jalan terbaik untuknya bersembunyi sampai Hanan tidak bisa menemuinya dan terutama Felora bila nanti Hanan tetap bersikeras apalagi memaksa menemui Felora. Ponsel Kikan di atas meja bergetar tanpa dering, dari nomor Hanan. “Itu nomornya?” “Ya, dia terus meneleponku.” Desahnya resah. “Jika mau menemuinya, jangan sendiri. Minta temani dokter Halim—” “Tidak, Oma!” tolak Kikan, bisa-bisanya Oma berpikir ke sana, pada Halim. Kikan tidak mau orang lain terbawa masalahnya dengan mantan suami. “Habis siapa lagi? Yang Oma percaya sekarang, dekat dengan keluarga kita hanya dokter Halim. Beda cerita kalau ada Rimar dan suaminya.” Rimar adalah putri Oma. Jika ada dia dan suaminya, pasti jauh lebih baik. Kikan punya tambahan kekuatan untuk mengusir Hanan. Kikan tetap bersikeras, lebih baik ia datang sendiri di banding melibatkan Halim. Walau ia tidak siap dan ada trauma untuk bertemu Hanan mengingat perbuatannya dulu. “Kikan…” “Tidak Oma, pilihannya aku datang sendiri. Menegaskan Ka Hanan jika aku tidak takut padanya, juga ia tidak bisa datang mengacaukan hidupku apalagi Felora.” Setelah itu, jika Hanan tetap memaksa untuk bertemu Felora, barulah Kikan akan membawa putrinya pergi dari kota ini sementara. Oma akhirnya hanya diam, menyentuh lengan Kikan. “Kamu masih mencintai Hanan, Kikan?” “Tidak, Oma. Hanya ada rasa benci dan marah,” katanya dengan kepalan tangan di atas pahanya. Saking membenci Hanan, Kikan tidak pernah melupakan setiap rasa sakit yang Hanan berikan. Seperti halnya salah satu momen yang pernah terjadi. “Ka Hanan, udah! Plis!” Bisik Kikan. Hanan menarik rambutnya lebih keras lagi, Kikan yakin beberapa helai tercabut. Ia merintih, sakit. “Dasar jalang! Begitu saja sudah mengeluh sakit, makanya jangan macam-macam!” Kikan memejamkan mata, terisak. Hanan marah lagi hanya karena Kikan mempertanyakan Hanan yang tidak pulang semalam. “Masih menangis aja! Berhenti!! Cengeng!” bentak Hanan. Meraih dagunya, mencengkeram erat. “Awas kalau ekspresi kamu mencuri perhatian orang tuamu, apalagi sampai mengadu. Aku hancurkan kamu!” Kikan terdiam, Hanan bangun dari atas tubuhnya dan berjalan ke kamar mandi. Brak! Pintu di tutup keras hingga Kikan terlonjak. Lalu dia menatap tubuhnya yang begitu mengenaskan atas perlakukan kasar Hanan. Begitu perih di bagian bawah sana, karena dia memaksanya. Kikan menarik selimut, kakinya gemetar. Pakaiannya yang robek sebagai bukti dari kekejaman suaminya saat emosinya tidak terkendali. Hanan tidak lama keluar, dia menatap Kikan. Hanan menghela napas dalam, kemudian mendekat lagi, Kikan refleks mundur. “kalau tidak mau aku marah, bersikap manis, menurut sama suami. Ngerti?” Kikan mengangguk saja dengan kaku, “Jawab!” “Ya, Ka!” lirihnya. “Bagus!” tangan Hanan terulur mengusap puncak kepalanya. Lalu ia menatap beberapa tanda kebiruan di leher dan paling banyak di dadanya yang coba Kikan tutupi. Tak ada rasa bersalah, Hanan justru mengusap pipi Kikan, merasakan gemetar takutnya malah membuat Hanan tersenyum puas. Dia mencengkeram pipi Kikan dan memberi ciuman kasar lagi. Sesuatu yang Kikan benci, tahu salah tetapi ia tidak punya keberanian untuk melawan. Ketika mengingat saja selalu membuatnya gemetar hebat, dia kini berdiri di bawah shower. Membasuh tubuhnya dan memeluk diri sendiri, menyadari betapa bodohnya ia mencintai pria yang bahkan tidak menghargai cintanya, menyakiti hati dan fisiknya. “Aku akan menemui Ka Hanan, dia harus tahu jika aku bukan wanita yang sama bodohnya seperti dulu…” gumamnya. Kikan segera mematikan shower dan memakai handuk. Tidak ada lagi harinya yang tenang setelah tahu Hanan kembali. Kikan akhirnya malam-malam bukannya tidur justru mulai mengemas beberapa pakaiannya dan Felora. Ia juga mencari tempat tinggal yang nyaman dan aman, hotel atau apartemen. Ia akan bujuk Oma untuk ikut sementara waktu. Setelah menyelesaikannya, Kikan naik ke tempat tidur. Menatap wajah manis dan polos putrinya, dia menunduk, mencium pelipis Felora. “Sorry honey, Bunda bukannya tidak mau mempertemukan kamu dengan ayahmu. Tapi, Bunda terlalu takut dia juga melakukan sesuatu yang sampai menyakitimu.” Bisik Kikan. Ia berbalik memeluk Felora. Kikan coba untuk memejamkan mata, memaksakan diri karena ia butuh tenaga esok. Untuk menghadapi kenyataan yang tak selaras dengan harapan Kikan. Entah apa rencana Tuhan hingga menghadirkan lagi masa lalunya yang sudah susah payah Kikan tinggalkan. Namun, Kikan akan melawan. Tidak akan tinggal diam atas apa pun tujuan Hanan datang padanya dan Felora. *** Halim sore ini mendapati pasien dengan kasus yang berat, dia menjadi salah satu tim dokter senior di sana, Halim sangat semangat karena akan ada banyak ilmu dari pengalamannya itu. Dia melepas masker dan penutup kepalanya. Lalu membuang semua itu ke tempat khusus. Halim mencuci tangannya, lalu menuju loker untuk mengganti bajunya. Dia mengisi data juga, jamnya sudah selesai. Halim mampir ke sebuah resto, makan lebih dulu agar begitu sampai rumah, ia bisa mandi dan langsung istirahat. Menaiki sepeda menuju apartemennya setelah turun dari bus. Halim meletakan tasnya dan langsung melepas kemeja. Berjalan menuju kamar mandi. Ponsel yang ia letakan di atas meja terus berdering, sayangnya Halim tidak mendengar karena bersamaan shower yang hidup. Beberapa saat kemudian dia keluar masih dengan handuk melilit di pinggang, masuk ke kamar dan berpakaian santai, berupa celana panjang yang nyaman. Memakai T-shirt putih. Halim duduk sambil memeriksa ponsel, “Oma?” dia mendapati ada tiga kali panggilan tak terjawab dari Oma Chaesa—Oma Kikan dan Felora. Pertemuan sebelumnya Oma memang menyimpan nomornya, begitu pun sebaliknya. Tidak menunggu lebih lama, Halim segera menelepon balik. Jam enam sore lewat, langit juga mulai gelap memasuki musim dingin ini, siang jadi terasa lebih singkat. “Oma, Hallo…” “Syukurlah, kamu telepon balik.” Ada nada begitu lega dari suara Oma, “dokter Halim di mana? Di rumah sakit? Oma ganggu?” “Oh tidak Oma, saya baru sampai rumah. Ada apa? Felora baik-baik saja, kan?” yang langsung terlintas dalam pikiran Halim ada gadis kecil itu, Felora dengan kondisinya bisa kapan saja drop. Apalagi jika imun dalam dirinya sedang tidak baik-baik saja. “Felora sama Oma, di rumah. Dia baik-baik saja.” Halim sejak tadi duduk tegak, “ya, Oma.” “Begini, Oma sebenarnya tidak enak sekali harus merepotkan kamu.” Oma kembali bicara. Halim menunggu yang akan segera Oma sampaikan, firasatnya mengatakan ada sesuatu yang terjadi. “Kikan pasti marah, karena Oma minta tolong kamu. Tapi, Oma tidak punya pilihan lain. Tidak tenang juga jika membiarkan Kikan pergi sendiri.” Oma terus bicara. “Oma, memang Kikan pergi ke mana?” “Menemui Hanan.” “Hanan?” Halim tentu saja asing sekali dengan nama tersebut. “Mantan suami Kikan, ayah Felora.” Halim langsung berpikir, seingatnya Kikan bilang mantan suaminya tidak pernah berkomunikasi apalagi peduli pada Felora. “Maksud Oma?” Oma kemudian menceritakan dengan singkat, yang terjadi. Juga sedikit informasi mengenai kekhawatirannya sebab tahu Hanan itu temperamental. Ia takut Hanan akan menyakiti Kikan lagi. “Kikan beritahu Oma, tempat janjinya? Saya akan menyusul Kikan!” Putus Halim. Tahu jika itu bukan ranahnya, ia tak maksud ikut campur, namun tidak benar bila ia tetap diam, bisa saja yang Oma cemaskan sungguh terjadi. Terutama Halim melakukannya karena Felora, yang Felora miliki hanya Kikan, jika sampai terjadi sesuatu, bagaimana keadaan anak manis itu? Tanpa pikir panjang, Oma mengirimkan nama resto tempat Kikan menemui Hanan. Halim bergegas berpakaian, menggunakan mobil yang langsung melaju menuju tempat tersebut. Halim tetap tenang, kebetulan jalan malam itu pun lancar. Ia tiba di sana, memastikan nama resto dan lokasi sesuai dengan informasi dari Oma Chaesa. Tidak sampai dua puluh menit perjalanan. Halim segera turun dari mobil, menuju dan memasuki resto. Matanya mencari Kikan dengan awas, tetapi tidak menemukannya. Halim membawa langkahnya ke sana-kemari. Menatap pada setiap meja, tetapi tidak ada. Halim coba menelepon nomor Kikan, sambil kembali berjalan keluar. “Ka Hanan tidak bisa memaksaku!” suara itu jelas milik Kikan. Halim mempercepat langkahnya, ia melihat Kikan di tarik paksa oleh seorang pria, tepat di sebelah mobil asing, “masuk! Kamu harus membawaku menemui Felora. Jangan buat aku marah, Kikan!” “Aku tidak mau! Felora hanya putriku! Ka Hanan menolak Felora—” “Aku datang bukan untuk dapat penolakanmu, Kikan!” “Juga bukan untuk memaksakan keinginan Anda!” Ujar Halim dengan tegas, rahangnya mengetat. Membuat Hanan dan Kikan menatap ke arahnya. “Halim?” Hanan tersenyum kecut, “siapa? Jangan ikut campur!” Hanan tentu tahu Halim orang Indonesia juga. Halim tetap mendekat, Kikan menghempaskan tangan Hanan dan berjalan ke dekat Halim. Ketika Hanan hendak menyentuh, meraih tangan Kikan, Halim memasang badannya. Saling berhadapan. “Minggir, saya tidak ada urusan dengan Anda—” “Ada, jika Anda coba bertindak kasar pada Kikan!” “Oh,” Hanan tersenyum, menatap Kikan yang bahkan memegang lengan Halim. “Siapa dia? Apa hubungannya dia denganmu? Kekasihmu yang baru?” “Bukan urusan kamu, Ka! Sekali pun aku sudah memulai hidup baruku!” Ekspresi Hanan jelas tidak terima. “Kita belum selesai,” “Kita sudah selesai sejak lama!” jawab Kikan. Ia kian merapat hingga Halim bisa merasakan tangan Kikan gemetar saat memegangi lengannya. Oleh sebab itu Halim melerai tangan Kikan dari lengannya, buat Kikan mendongak lalu tidak sangka ketika Halim menyatukan jemari mereka, menggenggam erat. “Kikan, aku datang baik-baik.” “Jika memang Anda datang baik-baik, Anda tidak akan bicara dengan kasar dan nada tinggi!” “Jangan ikut campur!” sentak Hanan pada pria yang menurutnya tidak ada hak, tiba-tiba datang antara ia dan Kikan yang sedang membahas urusan pribadi mereka. “Pergi, atau saya bisa memanggil polisi!” Halim tidak gentar, turut mengancam balik. Dia ingat kata Oma, tentang sikap Hanan yang kasar. “Sialan!” Hanan tidak terima, “minta pria asing ini untuk pergi, Kikan!” Kikan mengeratkan pegangan, “kami akan menikah. Halim calon suamiku, dia bisa dan sangat berhak ikut campur bila kamu coba mengusikku dan Felora!” Ujar Kikan tiba-tiba. Buat Hanan maupun Halim menatap Kikan. “Menikah?” tanya Hanan tidak percaya. Kikan memejamkan mata sekilas, sebelum mematap lelat Hanan dengan berani, “ya!” Halim tidak mengerti mengapa Kikan tiba-tiba mengakuinya begitu? Ia menyelami tatapan mata Kikan, Halim merasa jika ada permohonan agar Halim menyetujui pengakuan palsu untuk melindunginya terutama Felora. Sedangkan Kikan juga mengutuk lisan yang impulsive, terlalu buntu untuk menemukan cara mengusir Hanan terutama setelah ia tahu tujuan mantan suaminya datang. ‘Ya Tuhan, apa yang aku katakan ini? Semoga dokter Halim paham jika aku terpaksa melakukan ini depan Ka Hanan!’ Batin Kikan sembari tangannya kian mengeratkan pada tangan Halim.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN