“Fel, suka pergi sama Uncle dokter. Besok-besok lagi ya?”
Baik Kikan maupun Halim terkejut mendapati Felo mengatakan itu pada Halim sambil menatapnya lekat. Menunggu respons Halim.
Mata yang berbinar indah, begitu murni dan polos, mengantarkan sebuah rasa tenteram dalam hatinya hingga kedua sudut bibir Halim tertarik, membentuk senyum, “Boleh, Uncle juga suka bertemu Felo yang manis.”
Felo turun dari kursinya kemudian memeluk Halim, membuat pria itu terdiam cukup lama, meresapi rasa hangat yang menyusup ke hatinya. Begitu juga Kikan yang tersenyum menyaksikannya, hanya beberapa detik kemudian sesak mulai merambati hati ketika di pandangannya seolah ia bisa membayangkan Felo sedekat ini dengan ayahnya—andai saja Ayah Felo adalah pria yang bertanggung jawab dan tidak menyakitinya.
Kikan yakin mereka masih bersama, berjuang demi jantung hati mereka.
“Ka, aku berharap meski kita berpisah, kamu tetap bisa bertemu dengan Felo. Aku tidak mau dia kekurangan kasih sayang orang tuanya.”
Hari itu Kikan menurunkan rasa ego dan marahnya pada sosok yang berulang kali menyakitinya tersebut. Dengan menyembunyikan tangan gemetarnya yang tertutup meja, mereka baru saja menjalani mediasi terakhir tanpa solusi lain selain perceraian.
Hanan menatap Kikan dengan tajam, juga kebencian, “kamu yakin Felo akan panjang umur, Kikan?”
“Ka! Felo kita akan panjang umur, kenapa kamu bilang begitu?!”
Hanan hanya mengepalkan tangan, “aku berharap seorang anak laki-laki yang sehat, dan kamu memberiku anak perempuan yang lemah—”
Kikan marah, dia berdiri menatap Hanan, “putriku tidak lemah! Berani kamu mengatakan itu terhadap darah dagingmu sendiri, Ka?! Ayah macam apa kamu?!”
Hanan juga berdiri, sebelum mengatakan apa pun, Kikan tersenyum di tengah derai air mata yang jatuh membasahi pipinya.
“Demi Tuhan, aku masih saja bodoh berharap kamu punya saja hati Nurani sedikit saja. Bila tidak untukku, paling tidak untuk Felora.” Kikan menjeda kalimatnya, menarik napas dalam-dalam lalu menuntaskan bersamaan pikirannya yang akan ia sampaikan pada pria yang dicintainya sekaligus benci, “Fine, Ka… Sebaiknya memang kamu tidak perlu ada dalam hidupku maupun Felora lagi. Aku akan berjuang sendiri, sekuat tenagaku, membesarkan Felo sendiri. Bahkan, aku tidak akan menuntut nafkah sedikit pun dari kamu untuk Felo.”
“Kikan?” Halim tercengang saat tiba-tiba Ibu dari gadis kecil yang ada di pangkuannya itu tampak terdiam dengan air mata yang jatuh kemudian buru-buru di usap.
Kikan memalingkan wajah, “hm, aku titip Felora dulu ya dokter Halim. Sebentar.”
Halim memang tidak mengerti, tetapi tahu mungkin Kikan butuh waktu.
“Ya,”
Kikan mengusap kepala Felora sebelum menjauh dengan cepat. Untuk melegakan sesak dihatinya setiap kali mengingat awal langkahnya pergi ke Jerman. Menemui saudara yang masih ia miliki sekaligus menyembuhkan lukanya.
Mantan suaminya itu tidak perlu lama mencari pengantinya, ia sudah dengar Hanan menikah lagi dengan seorang wanita yang merupakan kekasih simpanannya dulu. Tidak pernah sekali pun Hanan menghubunginya untuk sekedar menanyakan putrinya masih hidup atau tidak.
Kikan benar-benar berjuang sendiri, dan ia bangga dengan itu. Terutama Felora masih bersamanya.
Kikan hendak menghapus air matanya ketika seseorang mengulurkan sebuah kain biru yang tampak kembut, terdapat ukiran nama ‘H.B.L’ dengan benang silver. Inisial nama lengkap dokter Halim. Tidak sulit untuk mengingatnya.
“Kamu mungkin butuh,” katanya dingin.
Kikan meraihnya, lalu mengusap air matanya termasuk ingusnya membuat Halim menghela napas. “Sorry,”
“Tidak apa, hm itu tidak usah dikembalikan.” Katanya.
Kikan menoleh sambil mendongak, mengulas senyum. Felora sedang duduk, tidak jauh darinya. Entah apa yang Halim katakan hingga putrinya tersebut menurut untuk duduk menunggu.
“Saya juga tidak akan kembalikan sekarang, setelah dicuci nanti.” Kata Kikan.
Halim mengangguk.
“Hm, kamu tidak penasaran kenapa saya tiba-tiba menangis?”
Kikan memandangi wajah dokter muda tersebut, dia memang kembar identic dengan seseorang yang lebih dulu dikenal Kikan. Tampan sudah pasti jadi nilai plush daya tariknya. Kikan mencari perbedaannya dengan Hamish, hingga tahu letaknya ada di sikap mereka. Hamish lebih ramah dan banyak bicara. Sementara kembarannya, lebih banyak diam.
“Tidak, itu urusan kamu. Saya tidak suka mencampuri masalah orang lain.”
“Kita masih orang lain?”
Satu alis Halim naik, terasa ambigu dengan kalimat gadis di depannya.
Sadar salah dimengerti, Kikan tersenyum kecil, “maksudnya teman. Apa kamu juga keberatan kalau kita berteman?”
Halim tidak menjawab, “Felora menunggu.” Dia, berbalik hendak berjalan namun urung dan kembali menghadap Ibu muda tersebut.
“Seseorang yang tiba-tiba menangis di keramaian, pasti sedang mengingat sebuah luka yang masih tersimpan. Dan tidak semua orang suka dipertanyakan, terkadang cukup dimengerti jika ia butuh waktu untuk dirinya sendiri. Itu yang Bunda saya katakan.”
Kikan terdiam mendengarnya, bersamaan dengan angin yang cukup dingin menyelimutinya.
“Salah,” Kikan mengelak, “saya begini karena melihat Felora.”
“Saya lihat justru kamu selalu ingin terlihat kuat di depan Felora.” Katanya.
Kikan hanya mengulas senyum, sambil memandang ke arah Felora yang membagi rotinya dengan sebuah kucing liar yang mendekatinya. Halim jadi ikut memandangi. “Setiap Ibu pasti ingin terlihat jadi yang paling kuat, tegar untuk anak-anaknya.”
Kikan menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskan perlahan… “Ketika dokter menyatakan kondisi jantungnya, saya pikir tidak punya banyak waktu untuk melihatnya tumbuh setiap harinya. Saya akan lakukan apa pun selama Felora bisa tetap hidup. Meski pun berjuang sendiri,” lirihnya.
Tanpa Kikan katakan, Halim bisa melihatnya jika Kikan berjuang sendirian.
Halim sebenarnya penasaran mempertanyakan tentang Ayah Felora, tetapi sepertinya tadi, jika tidak benar-benar dekat seperti dengan saudara atau sepupunya, Halim tidak suka mencari tahu kehidupan orang lain. Ya, baginya Kikan hanya kebetulan dikenalnya.
“Uncle dokter!” Teriakan Felora yang menatapnya. Membuat Halim tersenyum. Begitu juga Kikan, anaknya menyukai pria yang baru bertemu beberapa kali dengan mereka.
Halim tidak mengatakan apa pun selain berbalik dan pergi menghampiri Felora yang menyambutnya dengan tatapan dan senyum lebar.
Kikan menyusulnya, tersenyum mendengar celoteh riang putrinya yang ditanggapi oleh Halim.
“Felo mau ke taman sebelah sana. Ada banyak merpati!” Felora menarik tangan Halim.
Kikan mengikutinya. Menatap tangan putrinya yang digenggam tangan besar Halim.
“Dokter Halim,” panggil Kikan yang mendekat, mengambil tangan putrinya. “Mungkin kamu ada kegiatan lain, tidak apa bila mau pergi lebih dulu.”
“Yah, dokter mau pergi?” Felora menatap Halim dengan bibir mencebik dan berkaca-kaca.
“Felora sayang,” Kikan menegur putrinya dengan lembut.
Halim melihat jam yang melingkar di tangannya, “Uncle masih punya waktu setengah jam, tidak apa?”
Felora melompat-lompat, “yeay! Ayo uncle!”
“Pak dokter, tidak usah memaksakan diri.” Cegah Kikan.
Halim menatap Kikan, Felo menatap tidak mengerti ibunya yang tiba-tiba mencegah lagi.
“Saya tidak memaksakan diri, datang ke sini memang untuk mencari udara segar. Kebetulan ada Felora, jadi menganggap ada temannya.”
“Tapi—”
“Kamu kalau lelah, duduk saja. Saya akan temani Felora.” Sambil melanjutkan langkah, menggandeng putri Kikan tersebut.
Kikan tercengang, “lah aku kan ibunya? Kenapa dia yang minta aku duduk sih?!” gerutunya dan tetap mengikuti keduanya. Kikan duduk di bangku taman sementara Felora tampak senang bersama Halim memberi makan burung-burung merpati di sana.
Tepat ponsel Kikan bergetar, sebuah pesan dari nomor baru. Melihat sederet angka tersebut, Kikan tahu asal nomor tersebut dari negaranya.
+628xxx: [Kikan, ini aku Hanan. Bagaimana kabarmu dan putri kita? Aku sudah lama tahu kamu tinggal di Jerman bersama Oma, aku berencana datang untuk menemui Felora]
Seketika Kikan tegang, duduk sampai tegak dan dadanya berdebar. Tangan mengerat pada ponsel. Berulang kali matanya bergerak ke deretan pesan di sana. Masih sama, mantan suaminya setelah sekian lama akhirnya menghubungi ia dan ingat pada putri mereka.
Kikan harus senang atau justru cemas? Lalu, bagaimana mantan suaminya bisa mendapatkan nomor Kikan?