Langkah Awal

1509 Kata
SMA Gajah Mada terkenal mempunyai fasilitas terlengkap di sekolahnya. Dari laboratorium biologi, fisika, kimia, sampai beberapa ruang khusus untuk pelajaran sejarah dan geografi pun ada. Juga prasarana dari beberapa olahraga seperti sepak bola, basket, voli, sampai renang tersedia di sekolah swasta ini. Tapi nggak usah takut, meskipun termasuk sekolah swasta yang tergolong mewah, biaya untuk sekolah disini nggak semahal fasilitas yang tersedia. Biaya nya setara dengan sekolah negeri pada umumnya. Sejak kepemilikan beralih pada Ali, dia merubah semua aturan yang ada. Tujuan sekolah didirikan adalah untuk menuntut ilmu dengan fasilitas yang memadai, tanpa membuat murid memikirkan biayanya. Itu pun juga bertujuan supaya yang bersekolah di Gajah Mada bukan murid dari keluarga kaya saja. Oke, dari semua fasilitas di sekolah, ada satu tempat yang sangat disukai Ali. Lampu sorot di kedua sisi menyala terang, menerangi Ali yang tengah sibuk mendribel bola menghindari Eza yang terus menghalanginya menuju ring basket. Napas Eza sudah ngos-ngosan. Tangannya meleset saat menemukan cela untuk merampas bola dari Ali. Ali bergerak ke samping gesit lalu melakukan slamp dunk, bola masuk. "Udah, udah, capek gue!" sergah Eza duduk begitu saja di tengah lapangan menepis bola basket yang sengaja Ali lempar ke arahnya. "Faktor usia ya lo? Mana Eza preman sekolah yang selalu menang tanding basket hah?" ledek Ali meneguk botol air mineral yang ada di pinggir lapangan. "Cemen lo, Za!" timpal Wahyu yang sedari tadi hanya mengawasi mereka berdua dari bangku penonton. Wahyu terlalu lelah hari ini, dia sedang nggak mood untuk ikut bermain. Wahyu baru saja datang dari Denpasar. Ada pertemuan penting. Begitu dapat misi dari Ali, dia langsung terbang ke Bandung membatalkan niatnya untuk liburan sebentar di Denpasar. "Heh kunyuk, ngaca dong, lo cuman duduk doang. Lo musuh gue waktu itu!" damprat Eza nggak terima. Tapi meski begitu dia cuma ngomel dengan tetap duduk nggak berniat mengajak Wahyu ribut adu jotos seperti dulu. Iya, mereka memang sudah cukup dibilang tua untuk bertingkah seperti bocah. "Udah lah ya, malah ribut. Ini nunggu apa lagi sih? Apa nggak bisa kita berangkat?" sela Ali mengingatkan keduanya tentang alasan kenapa mereka bertemu disini. Tempat paling aman untuk bertemu, seenggaknya disini nggak akan ada mata-mata dari musuh yang mengikuti mereka. Awalnya Eza menawarkan pertemuan diadakan di rumahnya. Tapi Ali menentang keras. Dia nggak mau Aisyah khawatir yang nantinya malah berdampak buruk untuk kehamilannya. Mau diadakan di rumah Ali pun jelas nggak mungkin. Sudah ada mata-mata dari Yachio Dragon yang sejak seminggu lalu mengawasi rumahnya. Mau di rumah Wahyu? Sama saja, mereka tahu betul kalau Ali dan Wahyu itu berhubungan dekat. Apalagi keluarga Wahyu sangat terkenal di dunia bisnis baik yang main kotor maupun bersih. Bisa-bisa keluarga Wahyu jadi sasaran empuk Yachio Dragon kalau mereka sampai salah langkah. "Iya, nunggu apa lagi sih? Gue ikut aja kan bisa? Bertiga cukup kan? Ditambah anak buah gue." PLAKKK "Aduhh, kepala gue! Apa-apaan sih lo Al!" Ali seketika melempar kepala Eza dengan bola basket, geram. "Lo macem-macem gue hajar ya. Tugas lo jaga Aisyah. Gue nggak mau Aisyah kehilangan lo b**o. Lo udah bukan waktunya terjun ke lapangan!" cerca Ali. Lagi-lagi dia terus mengingatkan Eza. Ali memang sangat protektif sejak Aisyah menikah dengan brandal satu itu. Meskipun Eza sahabatnya dan nggak diragukan lagi keahliannya dalam adu jotos. Tapi kejadian beberapa tahun lalu saat Eza dan Aisyah terjebak di gudang yang terbakar, Ali menjadi lebih cemas karenanya. Dia nggak akan membiarkan sedikit saja Aisyah dalam bahaya. "Tenang, gue nambah pasukan kok, tuh mereka udah datang." Wahyu turun dari bangku penonton bergabung dengan mereka berdua saat beberapa cowok yang dia maksud datang. Wahyu tersenyum puas. "Sorry, bang telat!" Aji nyengir menggaruk tekuk lehernya. "Kalian?" seru Eza dan Ali bersamaan. "Gue ada kuliah tadi sore jadi nggak bisa langsung kesini." Timpal Angga melepas tudung hodienya, berdiri di samping Eza. "Gue harus antar Raiya dulu pulang dan harus bikin dia percaya kalo gue lagi main pes di apartement kunyuk ini." Kali ini Miko menambahi melepas rangkulannya dari sahabatnya yang lain, Marcel. Marcel menatap sinis Miko lantaran kesal menjadikan dirinya tameng untuk membohongi Raiya. Gara-gara Miko, Marcel yang tadinya sudah mau berangkat ke tournament balap harus batal. "Kalian mau bantuin gue?" tanya Ali menatap keempat laki-laki yang tengah duduk di perguruan tinggi itu takjub. Sepertinya sudah lama dia nggak bertemu dengan mereka setelah kelulusan SMA. "Ya iyalah Bang!" jawabnya mereka kompak membuat Wahyu terkekeh. "Wow wow, hebat banget. Tapi kalian yakin? Yang bakal kita hadapi sekarang bukan anak SMA Erlangga, tapi lebih besar lagi." Eza bertepuk tangan bangga tapi juga sekaligus khawatir. Pasalnya dia sangat tahu seperti apa Yachio Dragon itu. Keluarga Black Shadow yang bahkan keluarga Erlangga saja sulit untuk menaklukannya. Selalu terjadi pertumpahan darah setiap keluarga Erlangga mencoba merebut lahan bisnis mereka. Tahun lalu Elang cucu dari kakek Erlangga masuk rumah sakit setelah terkena sepuluh tembakan di tubuhnya, untung saja Tuhan masih membiarkan brandal itu hidup. "Tenang aja, Bang. Kita udah tahu semuanya dari Bang Wahyu." Jawab Miko melirik sekilas kakaknya itu. "Oke kalo gitu. Lebih cepat lebih baik." Pungkas Ali mengambil alih pembicaraan. Satu persatu Ali tatap lawan bicaranya itu sebelum dia menjelaskan apa misi mereka malam ini. Ali menarik napas dalam-dalam. "Malam ini, kita akan melakukan misi penyelamatan Tiara. Malam ini Tiara akan dibawa ke China dengan kapal untuk dijual. Dan yang akan kita hadapi bukan main-main. Mereka mafia yang terkenal sangat kejam. Bahkan pemerintah pun enggan berurusan dengan mereka. Tapi kita punya keuntungan. Karena di mata mereka kita bukan apa-apa, mereka nggak akan tahu kalau kita akan menyerang mereka. Mereka hanya akan mengawasi keluarga Eza dan Wahyu, tapi bukan kita, paham?" Seperti dihipnotis mereka semua yang ada disana mengangguk, nggak ada satu pun yang ingin menyela, protes atau bahkan kabur karena takut. "Kita harus bisa membawa Tiara pulang dengan selamat. Hanya itu satu-satunya cara untuk membebaskan Saka dari tuduhan." "Oh iya Al, Lintang gimana? Dengan mereka menjual Tiara, berarti mereka tahu kalau Lintang lah orangnya." Timpal Eza mengingatkan. "Ah itu, tenang aja. Untuk malam ini gue udah suruh orang-orang buat jagain Lintang." "Jadi kita berangkat sekarang? Kita bagi tim jadi dua ya, Ali, Miko, Angga satu tim. Sisanya ikut gue." Sekarang giliran Wahyu yang memberi komando. Nggak lama setelah tiga puluh menit membahas strategi penyergapan, mereka masuk ke dua caravan hitam yang sudah Eza siapkan beserta dengan sopirnya. *** Kalau mereka seumuran mungkin Lintang akan berpikiran mereka berjodoh. Iya nggak bisa dipungkiri, Saka memang ganteng. Pantas saja dia dijuluki preman nomor wahidnya Gajah Mada. Lintang menatap datar ketiga penampakan yang tengah nyengir berdiri di depan rumahnya. "Mau apa hah?" tanya Lintang tanpa basa-basi. Seharusnya setelah pulang kerja Lintang bisa istirahat. Karena dia benar-benar lelah hari ini. Dia ingin tidur melupakan semua hal yang terjadi di sekolah. Bahkan dia sampai membanting ponselnya saat nomor Elang terus-terusan muncul menghubunginya. "Gini kak, " Saka maju satu langkah memasang muka polosnya berusaha menjelaskan, "Disana tuh," Saka menunjuk utara jalan, "Disana di perempatan sana, ada rame-rame. Lo nggak denger kak?" Lintang mengikuti arah telunjuk Saka, "Ada apaan emang?" "Ada tawuran, Kak!" seru Riko dari belakang Saka. "Nah itu. Banyak banget lagi, preman jalanan gitu!" Saka bergidik ngeri seolah dia ini cuma murid SMA biasa yang sangat ketakutan dengan aksi kekerasan. Lintang menaikkan alisnya sebelah. Lintang nggak tahu menahu soal itu. Dia mengontrak di perumahan, jadi Lintang pikir aman-aman saja. Lagi pula mana Lintang tahu kalau sudah lama dia nggak tinggal di Bandung. Memang masih ada preman-preman gila yang tawuran? "Nah tadi sepulang sekolah kita bertiga kebetulan lewat sini, pas mau kesono," Saka kembali menunjuk luar, "Eh udah pada lempar-lemparan aja. Ada api juga kak, gila nggak?" "Kita masih sayang nyawa, kak." Kali ini Iqbal ikut menimpali, maju satu langkah berdiri di samping Saka. "Terus? Ngapain kesini?" tanya Lintang sarkastik. "Kita nggak berani pulang, Kak." Saka yang menjawab. "Iya terus?" "Kita nginep disini ya, Kak. Boleh ya?" "What?" Lintang tertawa nggak percaya, geleng-geleng. Kegilaan macam apa lagi ini. Dia yang b**o atau gimana? "Maksud kalian nginep disini? Rumah gue? Di dalem?" Lintang menunjuk dalam rumahnya, dan sangat takjub begitu ketiga penampakan yang ada di depannya ini mengangguk serentak. "Kalian tahu gue cewek?" Lagi-lagi mereka cuma mengangguk kompak. "Gue disini sendiri? Dan kalian cowok bertiga mau nginep?" "Kita nggak akan ngapa-ngapain Kak. Kita cuma numpang tidur, besok pagi kita langsung balik. Suer. Gue ini keponakannya Bang Eza kak, dan gue deket sama Bang Al. So, masa lo nggak percaya sama kita?" koar Saka masih berusaha meyakinkan Lintang. Lintang diam sebentar, berpikir sambil sesekali melongok ke arah jalan. Masih ragu kalau disana memang sedang ada tawuran. Semisal itu memang ada kenapa kompleknya adem ayem? Bukannya jarak komplek ke tempat itu dekat? Bahkan dia nggak lihat sedikit pun kobaran api atau bahkan cuma asap? "Apa perlu gue telpon Bang Al, minta Bang Al buat ijin ke elo, Kak?" "Bang Al? Ngapain? Ya udah masuk, tapi kalian cuma boleh di ruang tamu. Nggak lebih!" Lintang menghela napasnya balik badan masuk ke dalam, membiarkan ketiga penampakan yang kegirangan karena diperbolehkan menginap itu mengikutinya masuk. Tapi baru beberapa langkah Lintang berhenti, kembali menatap ketiganya menyelidik, "Orang tua kalian gimana?" "Kita udah bilang nginep di rumah bang Al." Saka mengacungkan ponsel menunjukkan chat antara dia dengan mamanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN