Nice Day

1328 Kata
Pagi ini terlampau cerah. Jalanan kota Bandung macet seperti biasa. Kendaraan lalu lalang. Para karyawan terlihat sangat sibuk, tergesa-gesa menuju kantor. Para pelajar bahkan berlarian menuju angkutan umum takut ketinggalan. Penjual jajanan terlihat sibuk menawarkan dagangannya ke pelancong yang sudah memenuhi kawasan alun-alun kota. Beberapa pelancong tengah menghabiskan waktu mereka di Jalan Braga. Mobil Ali berhenti di perempatan lampu merah Braga. Wajahnya tetap tanpa ekspresi seperti biasa, tapi mood nya jauh lebih baik dari beberapa hari yang lalu. Melirik ke kursi sebelah, tersenyum tipis. Dan hanya sekilas, segera ia samarkan. "Bang Al." Panggil Lintang ragu, tatapannya masih lurus ke depan, memegang erat sabuk pengamannya, seolah takut Ali akan ngebut. "Hem," "Saya nggak apa Bang, aman kok di kontrakan." "Gue nggak mungkin nyuruh Saka tiap hari buat nginep di rumah lo. Lo dalam bahaya. Ngerti?" balas Ali tegas, meski dalam hati dia pengen banget tertawa. Sejak Ali memaksa Lintang masuk mobil dan tinggal di rumahnya, muka Lintang terus-terusan panik. Apa dia takut kalau Ali ini menculiknya? Astaga Ali pandai sekali berakting pasang muka datar. Ali bukannya orang yang benar-benar dingin tanpa ekspresi. Ali bisa tertawa keras seperti yang lain. Tapi kali ini sepertinya dia nggak tega menertawai kepolosan Lintang. Jadi Ali memilih menahannya. Merasa ada yang janggal dengan pernyataan Ali barusan, Lintang langsung menoleh, menatap Ali penuh selidik. Jadi waktu itu Saka memang sengaja datang ke kontrakannya. Dan Saka datang karena perintah Ali. "Kenapa? Gue ganteng?" "Iya, eh. Nggak." "Nggak?" "Iya, eh maksudnya saya liat Bang Al bukan karena ganteng." Terang Lintang semakin salah tingkah. Semakin parah saja tindakan bodohnya itu. "Jadi gue nggak ganteng?" tanya Ali lagi, masih tetap mempertahankan ekspresinya. "Ganteng Bang. Tapi ...," "Tapi apa?" potong Ali, lampu sudah hijau. Mobil kembali melaju. Sungguh Ali ingin segera sampai rumah dan melepas tawanya. "Tapi saya mau tanya. Jadi Saka ada di kontrakan saya waktu itu karena Bang Al suruh?" "Iya." Jawab Ali singkat tanpa merasa perlu memberi alasan. "Kenapa?" "Lo dalam bahaya." "Kenapa?" "Karena lo Lintang." Lintang menghela napasnya jengkel, menghentakkan kakinya kesal. Genggamannya di sabuk pengaman semakin kencang saja. Sejak kapan Ali ini jadi sangat menyebalkan. Bahkan dia bertingkah tanpa merubah eskpresinya. Kalau ini Saka pasti langsung Lintang jewer. Tapi ini Ali, mana berani Lintang. "Elang nggak akan berani ngapa-ngapain saya, Bang." "Nggak ada jaminan." "Selama ini meski saya pemilik Gedung Tua, nggak ada masalah." "Yachio baru tahu sekarang." "Siapa Yachio?" Ali nggak menjawab. Dia membelokkan mobilnya ke kawasan real estate termewah di kota Bandung. Berhenti di salah satu rumah besar minimalis, berpagar besi warna hitam setinggi dua meter. Dari luar, rumah itu nggak terlihat sepenuhnya. Seolah pagar besi itu sengaja dijadikan benteng. Gagah sekali rumahnya, Lintang terpesona melihat pagar itu terbuka sendiri saat Ali menekan sesuatu dari ponselnya, sampai dia lupa dengan pertanyaannya tadi pada Ali. Ketakjuban Lintang nggak berhenti sampai disitu. Sebelum ini dia juga pernah takjub dengan Gedung Tua, bangunan kuno tapi dijalankan dengan teknologi canggih. Tapi kali ini dia terpesona dengan desain rumah milik Ali. Lintang curiga, jangan-jangan Ali ini merangkap jadi arsitek selain jadi pengacara. Rumahnya memiliki konsep minimalis industrial. Material didominasi oleh beton, besi dan kayu yang terekspos, menambah kesan alami. Dan taman dengan sepuluh pohon pinus yang saling berhadapan itu, membuat Ali harus mengatupkan mulut Lintang yang terus menganga. Benar-benar seperti sedang berada di hutan pinus. Lintang dijamin betah kalau diusuruh tinggal disini. "Bang Al." Panggil Lintang mengikuti Ali masuk ke dalam. "Hem?" "Bang Al ini sebenernya apa sih?" tanya Lintang berhasil menghentikan langkah Ali. Ali menaikkan sebelah alisnya, nggak paham dengan pertanyaan Lintang. "Maksud lo?" "Dulu Bang Al pemilik rumah produksi, sekarang pemilik sekolah sekaligus pengacara. Dan ini bangunan rumahnya unik banget, penuh konsep. Saya aja kerja di perusahaan kontraktor nggak pernah punya ide sebagus ini." Terang Lintang dengan mimik polosnya. Ali tersenyum, lalu matanya mengarah ke lukisan perempuan yang ada di ruang utama. Tatapannya penuh arti. "Dia Bunga." Deggg Dua kata yang berhasil menyentak Lintang. Lintang diam seketika. Ingatannya di masa lalu kembali muncul. Perasaan bersalah itu datang lagi. Tapi Ali segera menoleh ke Lintang, menariknya untuk berdiri di sampingnya. "Nggak usah merasa bersalah gitu. Lo mau tahu kan?" ucap Ali seolah bisa baca isi pikiran Lintang. Dan itu benar, kali ini Lintang bahkan menambahkan asumsi kalau Ali mungkin juga punya bakat jadi cenayang. "Bunga dulu pernah punya cita-cita jadi Arsitek. Ini rumah impiannya. Ini rumah hasil desain seorang murid SMA beberapa tahun lalu, Bunga. Dan lo orang pertama yang takjub sampai nggak bisa nutup mulut." Jelas Ali menoleh, menggelengkan kepala nggak habis pikir. Semua sahabat bahkan adiknya yang super heboh nggak pernah menunjukkan ekspresi macam itu, tapi Lintang? Dia memang beda. Bibirnya sudah manyun kesal karena merasa seperti orang katrok, padahal dia lulusan arsitek. Ali mempermalukannya, lagi. "Sampai kapan saya tinggal disini, Bang?" Lintang buru-buru mengganti topik pembicaraan. "Ikut gue." Ali tak acuh menarik tangan Lintang menuju lantai atas ke ruangan yang berada paling ujung. Sebuah kamar dengan perpaduan warna putih hitam, cukup luas, dengan jendela kaca besar, menampilkan pemandangan bukit yang berada beberapa kilometer dari rumah. Kamar yang sangat tepat untuk menikmati sang surya di kala senja. Ali menyuruh Lintang untuk duduk di ranjang ukuran king yang didominasi warha hitam itu. "Ini jadi kamar lo buat sementara." "Hah? Ini? Disini?" Ali mengangguk mengiyakan, lantas membuat Lintang melihat sekeliling memastikan kalau dia nggak salah lihat. Bukan karena luar biasa kerennya desain interior yang dipilih Ali. Tapi jelas ada barang-barang milik Ali di kamar ini. Ada foto Ali dengan Aisyah yang ditaruh di meja kerja dan juga beberapa penghargaan. Lintang akan menempati kamar Ali? "Ini kamar Bang Al kan?" Ali mengangguk lagi. "Kalau saya tidur disini, Bang Al tidur dimana?" Ali nampak berpikir, keningnya berkerut. Lalu menatap ranjangnya serius. Entah kenapa hari ini dia ingin sekali menjaili Lintang. Atau mungkin Ali ingin menghabiskan waktunya dengan Lintang? Ali mengerjap memulihkan kesadarannya yang sempat hilang beberapa detik itu. Ini bukan saatnya dia memikirkan hal semacam itu kan? "Ya di kamar gue lah, dimana lagi?" jawab Ali santai, dia yang tadinya berdiri di depan jendela, sekarang beralih mendekat berdiri di hadapan Lintang yang tengah duduk di tepi ranjang. Menatap lekat mata Lintang yang membulat karena syok mendengar jawaban Ali barusan. Ali nggak sedang bercanda kan? Pikiran Lintang sudah kemana-mana. Sepertinya dia ketularan pikiran kotor Iqbal beberapa hari lalu. Apa dia akan tidur satu ranjang dengan Ali? Apa Ali gila? Apa Ali yang selama ini dia kagumi sudah berubah nggak waras seperti Saka? Mendadak degup jantung Lintang jadi lebih cepat dari biasanya. Bahkan dia hanya diam nggak berkutik saat perlahan Ali mendekatkan wajahnya. "Lo mikirin apa hem?" tanya Ali lirih mengawasi setiap inchi muka Lintang yang ketakutan, bahkan keringatnya menetes dari kening. Astaga padahal tadi Ali sudah menyalakan AC. Lintang menggeleng, mengerjapkan matanya berkali-kali. Dia sampai menelan ludah saat tercium aroma parfum Ali. Meskipun Lintang nggak pernah membelinya, dia tahu betul ini parfum Clive Christian buatan Inggris. Merk parfum yang dulu juga pernah dipakai Elang. "Lo tanya gue tidur dimana kan?" Lintang mengangguk. Ali mengulurkan tangan kanannya ke belakang Lintang. Yang otomatis membuat tubuh Ali lebih dekat padanya. Lintang buru-buru memejamkan matanya. Astaga seharusnya Lintang mendorong Ali dan segera lari. Bukankah di film-film kalau perempuan diculik dia akan lari begitu ada kesempatan. Tapi kenapa Lintang hanya memejamkan matanya, padahal pintu kamar terbuka lebar. Lintang bukannya menikmati suasana super canggung ini kan? Lintang merutuki kebodohannya. "Gue tidur di kamar gue." Bisik Ali kali ini di telinga Lintang, "Semua kamar disini punya gue. Lo nggak lupa kan?" Lintang jatuh terlentang ke ranjang saat Ali menarik blazer hitam miliknya. Lintang nggak sengaja mendudukinya tadi. Dan berani bersumpah wajah Lintang sudah bersemu merah seperti kepiting rebus. Dia benar-benar malu, nggak berani membuka matanya sampai Ali keluar kamar menutup pintunya dari luar. Rasanya Lintang ingin mati saja. Ali sukses mengerjai Lintang hari ini. Tawanya langsung lepas begitu masuk ke ruang kerja yang berada di sebelah kamar Lintang. Tapi seketika terhenti saat ponselnya berderit. Pesan masuk dari Eza. Sepertinya dia harus kembali lembur lagi malam ini. Message from Eza : Brankas itu ada di gedung tua. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN