Kali Kedua

2558 Kata
Demi apa Lintang mau melakukannya? Butuh waktu sampai 30 menit untuk Lintang akhirnya berdiri dari kursi kantin. Setelah menghabiskan sarapan, dia menghubungi Saka, nggak ada jawaban. Begitu juga dengan Iqbal dan Riko. Tapi baru saja berdiri Lintang kembali duduk, mengamati lagi kotak yang tadi Karin berikan. Apa sebenarnya isi kotak itu? Kenapa harus Lintang yang memberikannya ke Saka? Atau jangan-jangan ini jebakan? Kening Lintang berkerut. Pikirannya jadi liar karena sedikit terkontaminasi dengan sinetron-sinetron yang sedang tranding saat ini. Tapi seketika berdiri lagi saat Saka membalas pesan yang baru saja dia kirim. Akhirnya Lintang memutuskan untuk menyusul Saka ke SMA Wijaya, tanpa memberitahunya. Biar saja, Lintang akan memberinya kotak itu dan juga akan memberi bocah ingusan itu pelajaran. Kenapa bocah ingusan itu selalu mencari gara-gara sih? Ini masih pagi lho? Untung saja, pekerjaan hari ini hanya pemasangan begesting untuk pengecoran kolom gedung. Jadi nggak masalah Lintang tinggal sebentar, nanti sore Lintang akan ke sekolah lagi untuk pengecekan. Lagi pula dimana sekarang Elang? Bukankah seharusnya dia juga ikut memantau? Sejak sikap Elang berubah 180 derajat, dia jadi jarang terlihat di sekolah. Bahkan Elang hanya datang ke kantor menyerahkan laporan saja, tanpa menemui Lintang. Lintang menghentakkan kakinya kesal, geram karena hari ini pikirannya dibikin kacau banyak cowok resek. Setelah membalas pesan dari Saka, Lintang segera menuju halte bus sekolah. Lintang: Lo dimana? Saka: Kenapa? Lintang: Gue tanya lo dimana? Nggak masuk? Saka: Ada tanding basket Kak. Besok aja ya ketemunya. Gue tau lo kangen, ditahan dulu nggak apa kan? Kalo nggak kuat ntar malem gue ke rumah Bang Al deh. I’m promise! Lintang: Saka, lo gila ya! Terserah! Jangan datang! Saka: Love u too, darling. Doain gue menang ya. See u soon. *** Nggak butuh waktu lama, bus yang ditumpangi Lintang sudah sampai di SMA Wijaya. Benar saja, ramai sekali disana. Spanduk besar bertuliskan tentang turnament pertandingan basket antar sekolah terpampang jelas di pintu gerbang sekolah. Puluhan murid keluar masuk. Sepertinya hari ini mereka dibebaskan dari jam pelajaran. Mungkin karena ini final pertandingan basket yang melibatkan dua sekolah bergengsi. Apalagi lawannya SMA Gajah Mada yang terkenal dengan surganya cowok-cowok ganteng sekaligus nerakanya para preman sekolah. Lintang melangkah masuk, mengikuti arah panah yang terpasang di deretan pohon menuju gedung olahraga milik SMA Wijaya. Puluhan supporter saling berteriak memberi semangat. Ah, Lintang geleng-geleng kepala nggak habis pikir. Baru saja dia masuk nama yang diteriakkan jelas sekali terdengar SAKA! Lintang menyebik, mencari bangku penonton yang kosong di deretan paling atas. Karena deretan bawah sudah dipenuhi para penggemar Saka. Apa mereka hanya meneriaki Saka? Bukankah ini SMA Wijaya? “Saka ganteng banget sih? Kenapa dia nggak sekolah disini aja ya?” ucap salah satu murid yang kebetulan duduk di sebelah Lintang. “Yeee, abangnya kan alumni Gajah Mada, ngapain dia sekolah disini?” timpal temannya yang lain. “Duhhh sisain dong satu aja malaikat ganteng seperti Saka disini. Udah pindahan dari Jerman, sekalinya ke Bandung sekolah di Gajah Mada jadi kapten basket, eh jadi preman juga, pinter lagi. Udah punya pacar belum sih tuh cowok?” Lintang menyelipkan rambutnya ke telinga, ingin mendengarkan lebih banyak pergibahan dua murid itu sambil sesekali ikut menonton pertandingan. Saka memang terlihat tampan, bahkan dilihat dari jauh sekali pun. Kalau saja dia bukan murid SMA, pasti Lintang juga akan langsung jatuh cinta. PLAKKK, Lintang menoyor kepalanya sendiri. Ada apa dengannya? Kenapa bisa pikirannya jadi segila itu? Kenapa gampang banget dia jatuh cinta? Astaga, Lintang komat kamit berusaha untuk nggak tertular virus-virus pesona Saka. Dia harus sadar diri kalau bukan ABG lagi. Lo udah tua Lintang! Inget umur! Batinnya berteriak. “Dia kan playboy, pacarnya gonta ganti mulu.” “Terus pacarnya sekarang siapa?” “Nggak tahu gue, gue denger sih pacarnya tante-tante, gila ya tuh cowok. Cakep cakep masak pacaran ama tante sih! Gue gitu lebih cakep!” “Serius? Siapa? Orang mana?” “Katanya sih alumni Gajah Mada juga, Lin ... Lin, Lintang? Kalo nggak salah namanya Lintang.” DUARRR Seperti tersambar petir, muka Lintang memerah padam. Dia merasa seperti tersindir. Siapa ini yang dimaksud tante? Dirinya kah? Kenapa ada gosip semacam itu yang muncul? Apa ada lagi cewek yang sedang dekat dengan Saka selain dirinya? Lintang langsung merogoh tas mencari kaca, bercermin memastikan bagaimana bentuk wajahnya saat ini. Beberapa minggu yang lalu dia dikira masih kelas satu SMA, kenapa sekarang digosipkan jadi tante-tante? Fix, Lintang bertekad akan lebih rajin lagi memakai masker setiap malam. Baru Lintang mau mendengar lagi percakapan dua murid itu, terdengar peluit ditiup tanda pertandingan berakhir dan dimenangkan oleh SMA Gajah Mada. Sesuai prediksi, teriakan semakin kencang, memekakkan telinga. Lintang buru-buru keluar gedung begitu melihat Saka, Iqbal dan Riko bergegas keluar. Tapi kenapa? Bukankah yang lain masih ada di dalam? Kenapa mereka pergi mendahului yang lain? Lintang ingin menghampiri mereka di parkiran. Tapi sayang, Saka cs sepertinya sedang terburu-buru, menyalakan mesin motornya dan melesat begitu saja setelah Iqbal menyeret paksa Riko yang tengah dikerubungi murid-murid kaum hawa untuk foto bersama. Terpaksa Lintang mengikutinya, mungkin mereka akan kembali ke sekolah? Kalau memang begitu nanti Lintang akan mengembalikan kotak itu ke Karin, biar Karin saja yang memberikannya ke Saka. Lintang mengikuti mereka dengan naik ojek. Kening Lintang berkerut merasa ada yang janggal. Jalan yang Saka tempuh berlawanan arah dengan SMA Gajah Mada. Kemana mereka sebenarnya akan pergi? Hampir tiga puluh menit Lintang mengikuti. Sampai pada akhirnya Saka cs membelokkan motornya ke perempatan menuju jalan yang lebih kecil dan sepi, berhenti di depan gedung sekolah tua lalu masuk ke dalamnya. “Udah pak, sampek sini aja.” Ucap Lintang menghentikan ojeknya, lantas diam-diam dia mengikuti masuk ke dalam dengan penuh curiga. Apa yang dilakukan tiga bocah ingusan di gedung kosong ini? Atau jangan-jangan mereka sedang transaksi n*****a? Atau sedang membully murid dari SMA lain? Lintang bersumpah, kalau sampai dugaannya itu benar, dia akan langsung melaporkannya ke Ali. Dia akan membuktikan kalau Saka memang nggak bisa diandalkan untuk menjaganya. Terdengar derap langkah memburu di lantai atas. Lintang bertekad akan menangkap basah kelakuan Saka itu. Jadi dia memutuskan juga akan naik secara diam-diam dulu, memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Tapi langkahnya terhenti saat mendengar suara teriakan Saka menggema ke seluruh penjuru ruangan. “Itu untuk kelancangan lo menjebak gue dalam penculikan Tiara!” Apa definisi bahaya menurut kalian? Di hidup Lintang selama ini, dia sudah mengalami beberapa kali situasi berbahaya. Bahkan mungkin mengancam nyawanya sendiri. Atau mungkin dia juga termasuk orang yang menciptakan situasi bahaya itu untuk orang lain. Berada di samping orang lain, berlagak polos padahal membahayakan nyawanya. Lintang pernah membantu Wahyu untuk balas dendam pada Ali. Dia pernah menipu Ali. Tapi Lintang belum pernah ditipu. Belum pernah tahu bagaimana rasanya berada nyaman dekat dengan orang yang ternyata sangat berbahaya? Bahkan mungkin Elang nggak akan pernah membahayakan dirinya meski Elang mencampakkannya tiga tahun lalu. Lintang tahu betul sebenarnya, kenapa Elang melakukan itu, karena dia ingin melindungi Lintang juga Gedung Tua. Tapi kali ini? Apa yang tengah terjadi? Tangan Lintang gemetar, kakinya melangkah naik satu anak tangga tanpa suara. “Itu untuk kelancangan lo mencuri brankas, berusaha merebut Gedung Tua dari gue!” Tinggal tiga anak tangga lagi, Lintang sampai di atas. Apa yang terjadi kalau Saka melihatnya. Lintang mendengar jelas sekali suara debuman orang terjatuh, dipukuli, merintih kesakitan. Apa saat ini Lintang sedang salah tempat? Apakah seharusnya Lintang nggak berada disini? Kenapa Saka menyebutkan Gedung Tua? Dan brankas? Apa maksudnya? Apa sebaiknya Lintang mengurungkan niatnya? Lebih baik turun lalu menghubungi Ali menceritakan semuanya? Lintang mengangguk, sesaat menyetujui idenya itu. Lintang balik badan, menuruni satu anak tangga dan berhenti. Degup jantungnya terasa berpacu lebih kencang saat tiba-tiba namanya terdengar disebut dari atas. “Yang terakhir, itu untuk kelancangan lo karena berusaha menculik Lintang. Lo nggak akan pernah bisa merebut punya gue!” Detik itu juga akhirnya Lintang menyadari satu hal. Nggak akan pernah ada bocah ingusan di SMA Gajah Mada. Siapapun yang dicap sebagai preman sekolah disana, bahkan menjadi preman nomor wahidnya SMA Gajah Mada, berarti dia bukan murid biasa. Detik itu juga, Lintang baru menyadari kalau penilaiannya selama ini salah tentang Saka. Lintang nggak pernah benar-benar mengenal Saka. Bukan Elang yang menjadi ancamannya selama ini. Tiga tahun lalu Elang memaksanya untuk menyerahkan kepemilikan Gedung Tua bukan semata-mata karena dia ingin menguasai Gedung Tua sepenuhnya, tapi karena siapa saja bisa mengincar Lintang. Elang mengusir Lintang dari Gedung Tua, karena Yachio Dragon menyerang Gedung Tua. Bumi menyeret Lintang lewat pintu belakang dan menyuruhnya untuk segera pergi darisana. Saat itu tengah malam, Lintang yang sedang kacau pikirannya karena patah hati terus saja menangis, nggak peduli kalau dia bahkan nggak sengaja menabrak seseorang malam itu. Orang itu hanya melihat Lintang sekilas, bergegas pergi. Bagaimana bisa tiga tahun lalu dia yang usianya bahkan belum genap 17 tahun berada di sekitar Gedung Tua? Saat itu Lintang samasekali nggak curiga karena perawakannya yang menyerupai orang dewasa. Tapi sekarang? Pertanyaan itu mendadak terlintas di benaknya, bahkan saat ini pun usianya belum genap 20 tahun. Jadi bagaimana bisa dia bertindak seolah dialah yang menguasai segalanya? PLAKKK Bogeman keras mendarat ke wajah orang itu. Saka meninjunya, mencengkram dagu orang itu kasar, “Dan sebelum itu terjadi, gue yang akan bikin lo bungkam untuk selama-lamanya! Nggak akan gue biarin orang yang berusaha mengganggu Lintang hidup dengan tenang! Lo denger? Lo akan mati di tangan gue sekarang!” “Sa ... ka, apa yang lo lakuin?” Untuk kedua kalinya Lintang bertemu Saka lagi setelah tiga tahun berlalu. Iya, seseorang yang dulu berpapasan dengan Lintang adalah Saka, preman nomor wahidnya SMA Gajah Mada. Lintang mengingatnya sekarang. “Hai, ...” sapa Saka tersenyum melambaikan tangannya yang kotor penuh noda darah. “Kenapa lo bisa ada disini, Kak? Lo ngikutin gue?” Lintang memundurkan langkahnya. Meski sudah mengingat wajah itu, meski dia sudah memahami situasinya sekarang, tetap saja ini terlalu mengejutkan untuk Lintang. Beberapa jam yang lalu bahkan Lintang berpikir bisa menyukai Saka kalau dia bukan bocah ingusan. Tapi sekarang? Setelah terbukti memang Saka bukan bocah ingusan, apa niat itu masih ada? Lintang menelan ludahnya, gemetar mengeluarkan kotak milik Karin dari dalam tas lantas mengulurkannya pada Saka. “Karin minta gue nyusul lo ke SMA Wijaya dan nyerahin ini.” Saka menerima kotak itu, mengamatinya sesaat lalu melempar kotak itu ke arah Riko yang dengan sigap menangkapnya. “Jadi Kak Lintang ikutin gue sampai kesini karena kotak sialan itu? Bukan karena kangen sama gue?” entah kenapa mendadak Saka berubah jadi menakutkan untuk Lintang. Cara bicaranya pun berubah seolah merasa terganggu karena kehadiran tamu tak diundang. Lintang semakin beringsut mundur saat Saka terus saja maju mendekatinya. “Berhenti Saka, jangan berusaha sentuh gue!” Lintang memberi peringatan. Tapi Saka malah tertawa, semakin keras tawanya lalu menoleh ke belakang menatap satu persatu sahabatnya, Iqbal dan Riko. “Lo liat? Gara-gara b******n itu, Kak Lintang jadi takut sama gue. Kalian tahu apa yang harus dilakukan? Sekarang juga!” perintah Saka memberi isyarat pada Iqbal dan Riko untuk membawa orang itu pindah ke ruangan lain, dan setelahnya salah satu anak buah Saka menutup muka orang itu dengan karung lalu menodongkan pistol ke kepalanya. “Gue nggak akan apa-apain lo, Kak.” Ucap Saka sudah kembali menoleh menatap Lintang. “Sebaiknya emang begitu Saka. Dari awal lo yang ingin menguasai Gedung Tua itu?” Saka mengangguk, menyelipkan kedua tangannya di saku celana, lantas menyender ke dinding, membiarkan Lintang mengajukan pertanyaan. “Brankas apa yang lo maksud?” “Surat surat kepemilikan Gedung Tua. Bukan gue yang ambil, tapi cowok t***l itu. Kalo aja gue tahu lebih cepat, gue nggak akan biarin Erlangga serang Gajah Mada dan sakitin lo, Kak. Gue serius minta maaf.” “Pada akhirnya lo juga mengincar gue.” Saka tersenyum mengangguk, membenarkan. “Gue butuh iris mata lo, buat membuka brankas itu. Dan juga sidik jari lo buat pengalihan kekuasaan. Tapi Kak, gue serius untuk nggak lukain lo. Gue sayang sama lo, Kak.” “Gue nggak akan biarin lo memiliki Gedung Tua.” Lagi-lagi Saka mengangguk. Kali ini dia menegakkan tubuhnya menghadap Lintang. “Tapi lo akan jadi milik gue, Kak. Jadi mau nggak mau Gedung Tua juga akan jadi milik gue.” Saka menggidikkan bahunya, “Gue akan buat itu terjadi, Kak. Kalo itu yang mau lo tanya.” “Lo gila Saka!” “Semua orang selalu bilang begitu, never mind.” “Balikin brankas itu, Saka!” Lagi-lagi Saka tersenyum, lucu sekali gadis di depannya itu. Saka tahu betul kalau Lintang tengah ketakutan, tapi masih saja memberanikan diri untuk menghadapinya. “Gue kasih tahu beberapa hal. Pertama, gue janji nggak akan melukai lo, karena gue serius sayang sama lo, meski lo lebih tua dari gue. Kedua, apa yang udah ada di tangan gue nggak akan bisa diambil orang lain. Ketiga, bisa aja gue bawa paksa lo pergi sekarang, tapi belum saatnya Kak. Lo bisa pergi sekarang, masih banyak hal yang harus gue urus. Dari tadi ponsel lo bunyi Kak, Bang Al pasti cari lo.” Lintang melihat ponsel yang sedari tadi hanya dia genggam, bergetar. Baru menyadari kalau Ali sejak tadi mencoba menghubunginya. Buru-buru Lintang mengangkat panggilan dari Ali. “Iya Bang, kenapa? Apa? Bang Al disini?” sontak Lintang dan Saka menoleh ke arah jendela, terlihat dibawah Ali sedang berdiri di depan mobilnya. “Ah, nggak apa Bang, saya kesini cuma survei lokasi buat proyek selanjutnya. Nggak usah, nggak usah. Saya aja yang turun, Bang Al tunggu dibawah.” *** Apa untuk kedua kalinya, Lintang lagi-lagi akan membahayakan nyawa Ali? Kenapa semuanya begitu rumit? Saka membiarkan Lintang pergi, tanpa menahannya samasekali, bahkan nggak takut kalau Lintang akan memberitahu Ali. Tentu saja, Lintang nggak sebodoh itu. Selama ini Saka lah yang sudah bermain licik, jadi kalau sampai dia membiarkan Lintang pergi dan nggak takut dengan keberadaan Ali sekarang, pasti dia punya rencana lain. Lintang cuma bisa menghela napasnya kasar, saat pemikirannya itu terbukti benar. “Lo sendirian? Kenapa nggak bilang? Gue kan bisa antar!” Ali panik seketika memegang kedua bahu Lintang yang sudah berdiri di hadapannya. Lintang tersenyum tipis mengangguk, meyakinkan Ali kalau dia baik-baik saja. “Bang Al tahu darimana saya disini?” “Kan gue udah pasang aplikasi pelacak di ponsel lo, gue langsung kesini begitu tahu lo nggak ada di sekolah. Inget ya, lo itu dalam bahaya. Jangan pergi sendiri. Lo bisa hubungi Miko kalo emang terpaksa.” Omel Ali tanpa henti yang sesaat berhasil membuat hati Lintang berdesir hangat. Ali memang selalu bisa diandalkan. Tapi apa Lintang akan terus terusan merepotkan Ali? Nggak! Lintang nggak mau mengulangi kesalahan yang sama. “Kenapa sekarang Bang Al titipin saya ke Miko? Bukan Saka lagi?” Ali diam sejenak, seperti ada yang tengah disembunyikan, lalu dia tersenyum mengelus pucuk kepala Lintang. “Kata lo dia bocah ingusan, gue nggak boleh percaya sama bocah ingusan kan? Bentar, bentar ada telpon!” Ali mengangkat teleponnya sedikit menjauh dari Lintang. Sepertinya itu memang telepon penting, karena sekilas tadi Lintang bisa membaca nama yang tertera di layar ponsel Ali, Kantor Pusat. Dan sesuai dugaan Lintang, saat Ali tengah bicara lewat telepon, ponselnya sendiri berbunyi. Panggilan masuk dari Saka. Apa yang akan terjadi setelah ini? Gemetar Lintang menggeser layar ponselnya untuk terhubung dengan Saka. “Dan yang keempat, jangan sampai Bang Al balik badan, kalo lo nggak mau ini jadi hari terakhir lo bersama Bang Al.” Perlahan Lintang menurunkan ponselnya, lalu mengarahkannya ke belakang tepat di pintu masuk gedung. Dari layar ponsel, Lintang bisa melihat Saka tengah berdiri menyender pada salah satu tiang dengan menodongkan pistol ke arah Ali yang tengah berdiri membelakangi Lintang. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN