Ame hari ini memilih untuk keluar dari kamarnya, ia menuju ke taman belakang, ada beberapa hal yang ingin dilakukannya di sana.
Karena statusnya sebagai Putra Mahkota, sudah pasti ia menjadi sorotan di istana. Semuanya bukan membuat Ame menjadi bangga, ia malah merasa risi karena orang-orang terus melakukan banyak hal formal padanya.
“Selamat siang, Yang Mulia Putra Mahkota.”
Ame menghentikan langkah, ia kemudian menatap pada seorang wanita yang kini mengulas senyuman padanya. Entah apa yang wanita itu mau, tetapi Ame sangat yakin jika menjilat adalah tujuan utamanya.
Ame yang tidak ingin banyak berurusan dengan orang lain segera melanjutkan langkah, ia sama sekali tidak peduli dengan tanggapan orang-orang di sekitarnya.
Dihelanya napas, lalu ia mulai memikirkan beberapa hal. ‘Aku bingung harus menyebut diriku ini apa. Aku wanita, tetapi aku terjebak pada raga seorang pria. Aku juga bingung harus melakukan apa di tempat seperti ini. Tidak ada internet, tidak ada sesuatu yang menarik di dunia ini.’
Ame mempercepat langkahnya, ia sudah tak tahan dan mencari tempat yang bisa dijadikan sebagai pelarian. Ia perlu sesuatu yang menarik, tempat di mana orang-orang tidak mengenalnya sebagai Putra Mahkota Dragon Empire.
Ketika Ame ingin menuruni anak tangga, ia segera berhenti, dan bertemu tatap dengan seorang wanita. ‘Ini akan semakin merepotkan!’
“Yue-er, apa yang kau lakukan di sini? Bukankah kau seharusnya sedang mempelajari beberapa hal bersama gurumu?”
Ame menghela napas.
“Ada apa? Kau terlihat tidak senang bertemu dengan Ibunda.”
Ame memaksakan senyuman. “Tidak, bukan seperti itu. Aku hanya kaget Ibunda sudah kembali.”
Ya … orang yang sekarang bicara dengan Ame adalah Ratu Qin, dan Ame sama sekali tidak mengerti mengapa ia bisa merasa takut kepada sang ratu.
“Ibunda datang beberapa hari lalu, dan mungkin kau terlalu sibuk sampai tak menyadarinya.”
Ame mengangguk, bukan karena ia terlalu sibuk, tetapi karena dirinya sangat stres karena bangun dengan keadaan batang yang menggantikan lubang.
Sang ratu memerhatikan anaknya. “Apa kau punya masalah?”
Ame segera menatap sang ratu, tidak lupa ia juga menggeleng.
“Benarkah? Ibunda dengar kau punya beberapa masalah dengan Ayahandamu. Bisa kau ceritakan pada Ibunda?”
Ame merasa bingung, ia juga secara tidak sadar sudah membuat sang raja takut padanya, dan ia juga merasa kurang nyaman dengan kehadiran para pelayan di dekat dirinya dan sang ratu.
“Ingin bicara di luar istana?”
Ame kaget. “Tapi … semua orang akan mengenal Ibunda.”
“Kita bisa menyamar, bukan?”
“Ha? Apa itu masuk akal?”
Sang ratu melirik para pelayan yang ada bersamanya. “Kalian bisa pergi, aku dan Putra Mahkota punya beberapa hal pribadi yang harus dibicarakan.”
“Baik, Yang Mulia.”
Para pelayan itu kemudian meninggalkan Ame dan sang ratu, mereka juga tidak terlihat menguntit, atau melakukan hal yang mencurigakan.
“Jadi, apa kau sudah merasa tenang untuk bicara kepada Ibunda?”
Ame mengangguk, hanya saja ia tiba-tiba merasakan kehadiran seseorang, dan dengan cepat ia melirik.
“Yue-er, ada apa?” tanya sang ratu.
“Sepertinya tembok istana juga sudah mulai memiliki telinga,” balas Ame.
Sang ratu yang mendengar penuturan itu menahan tawa, ia sungguh tidak menyangka jika putranya kini mulai bisa merasakan keberadaan orang asing dengan sangat cepat.
“Bagaimana jika kita bicara di luar istana?”
“Apa Ibunda yakin?”
Sang ratu segera meraih tangan anaknya, ia membawanya menuruni anak tangga. “Kau pikir Moniyan begitu kecil? Ada satu tempat yang baik untuk bicara, dan tempat itu juga adalah tempat kesukaan Ibunda jika sedang merenungkan beberapa hal.”
Ame hanya bisa menurut, ia sama sekali tidak melawan kehendak wanita itu. Sebaliknya Ame malah merasa aneh. ‘Kenapa aku merasa sangat nyaman kala bersamanya? Apa ini karena tubuh sang pangeran memang sangat biasa dengan kehadiran sang ratu? Oh … aku tak bisa terus begini, aku harus menemukan cara untuk bertukar jiwa dengan siapa saja yang punya tubuh wanita muda, lalu mengakhiri nasib sialku ini.’
Setelah cukup lama, akhirnya Ame dan sang ratu sudah tiba di bagian belakang istana. Tempatnya cukup jauh dari bangunan istana, dan terasa sangat tenang kala berada di tempat itu.
“Kita akan menaiki tembok tinggi itu,” ujar sang ratu.
“Ha?”
Sang ratu langsung mengulas senyuman, ia melompat, dan tubuhnya terlihat begitu ringan dan melayang hingga mendarat dengan mulus di bagian luar tembok.
Ame mengucek matanya, ia terlihat begitu bodoh sekarang ini. Bagaimana bisa ratu melakukan hal ajaib seperti itu? Apa dirinya juga bisa?
“Yue-er, cepatlah!”
Ame tersadar, ia mencoba untuk melompat, tetapi ia tidak bisa melakukan hal yang sama dengan sang ratu. ‘Ah … sial! Bagaimana aku bisa melakukan hal yang sama? Aku tidak mengerti konsepnya, dan tubuh ini juga sepertinya tidak bereaksi dengan keinginanku. Sebentar … apa yang bisa diingat olehku. Apa yang pernah dilakukan sang pangeran dengan kekuatannya?’
Ame memejamkan mata, ia mencoba untuk memilah satu per satu ingatan yang ada di kepalanya.
“Yue-er … kenapa kau masih di sana?”
Ame membuka mata, ia sangat jengkel kala tak bisa mengingat apa pun. ‘Sepertinya aku tak punya pilihan lain.’
Ame kemudian menghampiri pohon yang ada di dekat tembok istana, ia memantapkan hati, lalu mencoba menggunakan keahlian manualnya di dunia yang dulu.
Ya … Ame memanjat pohon itu, ia tidak peduli jika harus menggunakan tubuh sang pangeran dengan cara yang tidak berkelas. Yang pasti sekarang ia harus bisa menyusul ratu, ia tak ingin di cap sebagai anak durhaka, dan jujur saja ia juga tidak mengerti mengapa sangat takut kepada sang ratu.
Setelah berjuang untuk sampai pada ranting tertinggi, Ame akhirnya berhasil. Ia menghela napas, lalu dengan cepat berpindah pada bagian atas tembok. ‘Sesudah memanjat, aku harus kembali turun. Ya ampun … ini sungguh merepotkan!’
Ame menggaruk kepalanya, ia menatap sang ratu yang sedang duduk sambil menggeliat menunggunya. ‘Ahhh … kenapa aku harus bertemu dengannya dan mengalami hal seperti ini? Sepertinya aku harus menjauh, tidak punya banyak urusan, dan selalu menghindari hal gila seperti ini dengan siapa saja.’
“Yue-er, apa kau akan terus ada di atas sana? Apa kau masih belum bisa menguasai dirimu dan menggunakan beberapa kekuatanmu dengan begitu baik?”
Ame yang lagi dan lagi mendapatkan pertanyaan dari sang ratu hanya bisa mengangguk, ia memang tak tahu caranya mengendalikan kekuatan yang ada pada dirinya, ia bahkan tak sadar jika pernah menggunakan kekuatan itu untuk menakuti sang raja.
Ame menghentikan pikirannya, ia kemudian menatap kiri dan kanan, lalu merasa teramat sangat bahagia kala melihat pohon lain.
Segera saja Ame melangkah ke arah pohon di sebelah kiri, ia kembali naik pada ranting pohon, lalu dengan cepat turun ke bawah. ‘Beruntung saja aku ingat cara memanjat pohon. Hah … setidaknya aku tidak terlihat sangat konyol karena datang ke tempat kuno dan tidak memiliki nilai bagi manusia modern sepertiku.’
Setelah waktu berlalu, akhirnya Ame sampai di bawah. Ia segera menggeliat, dan merasa sangat lega.
“Ibunda tak menyangka jika kau bisa memanjat pohon dengan sangat baik. Kapan kau mempelajarinya? Bukankah Ayahandamu tidak memberikan izin agar kau melakukan hal-hal seperti itu?”
Ame yang kembali mendapat pertanyaan gila seperti itu bingung harus mengatakan apa.
“Yue-er … kenapa kau hanya diam saja? Apa kau mempelajarinya secara diam-diam?”
“Apa gunanya jika seorang pangeran tidak bisa memanjat pohon? Bukankah memerintah negeri ini lebih sulit daripada memanjat?” Ame tak tahu kenapa bibirnya bisa sangat licin dan dengan sangat mudah merangkai kata demi kata yang menjijikkan seperti barusan.
Ia melirik sang ratu, lalu merasa sangat bingung karena ratu itu malah bertepuk tangan.
“Ibunda?” Ame juga tak tahu kenapa ia bisa dengan sangat lancar mengucapkan hal itu. Apa ini karena tubuh yang digunakannya dulu memiliki hubungan yang sangat baik dengan sang ratu?
Entahlah …
Ame tak ingin tahu akan hal itu. Bukan urusannya, dan bukan juga hal yang penting baginya.
“Ibunda sangat bahagia karena kau bisa mengatakan hal sebijak itu. Baiklah, sekarang apa yang ingin kau bicarakan dengan Ibunda?”
“Apa ini tempat yang Ibunda maksud?”
Sang ratu menggeleng, ia kemudian menunjuk ke arah timur. “Di sini juga bukan masalah. Ibunda yakin kau tak akan bisa sampai di atas tebing dengan mudah.”
Ingin sekali Ame mencaci-maki, ia kini melihat tebing tinggi di seberang sungai. Ia baru sadar jika dirinya dan sang ratu juga berada di tepi sungai besar.
“Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?”
Ame yang sudah membulatkan tekad segera menatap sang ratu, tanpa di duga ia langsung bersujud, dan menundukkan kepala. “Ibunda Ratu. Hamba ingin meminta izin untuk bergabung dengan Guild Dragonia, dan menjadi seorang petualang.”
Sang ratu yang mendengar ucapan anaknya jelas saja kaget. “Apa alasanmu ingin meninggalkan istana? Menjadi seorang petualang bukan hal yang mudah. Ingat statusmu sebagai Putra Mahkota. Kau calon raja masa depan, dan kau juga tidak punya waktu untuk bermain dengan kelompok petualang seperti itu.”
Ame langsung mencium kaki sang ratu. “Hamba mohon, Yang Mulia.”
“Yue-er … apa yang kau lakukan? Kenapa kau sampai melakukan hal rendah seperti ini?”
Ame yang mendengar pertanyaan itu tak bisa menjawab. Alasannya yang jelas karena ingin jauh dari keluarga kerajaan dan mendapatkan kebebasan secara penuh. Singkatnya … tujuan Ame yang sesungguhnya untuk bersenang-senang.
“Jawab Ibunda, Putra Mahkota!”