Setelah kejadian hari itu, Ame menjadi orang yang lebih aneh lagi. Selain mengurung diri di kamar, ia juga memutuskan untuk mengamati wajah tampan nan menawannya di depan cermin, dan sangat suka mengubah-ubah ekspresi wajahnya sendiri.
Jatuh cinta kepada diri sendiri, narsis kelas berat yang begitu aneh, dan pemujaan terhadap dirinya yang sangat berlebihan.
Ame tidak peduli dengan siapa pun saat ini, yang jelas ... ia senang melakukan keinginannya, serta merasa teramat sangat bahagia berada dalam tubuh sang pangeran.
Ame menerima pelayan masuk hanya untuk mengantarkan makanan, pakaian, perhiasan, atau juga beberapa barang lain yang penting. Ia mengabaikan semua pelajaran yang mendasar bagi seorang calon raja, dan kemarin dengan seenaknya ia memecat guru privat yang Raja Qin sediakan untuknya.
Yah ... jika tidak punya pekerjaan, jelas manusia pengganggu itu tidak akan mengacaukan dirinya, dan hal itu juga akan membuat hidupnya jauh lebih tenang.
Baiklah ... pada saat ini, tengah hari yang cukup panas di Moniyan. Ketika orang-orang sedang sibuk beristirahat, Ame malah dengan sangat terpaksa harus duduk sambil beradu tatap dengan sang raja.
Keduanya sedang beradu tatap, dan tak terlihat baik-baik saja. Mereka diam, menunggu salah satu mengalah untuk bicara. Tetapi malang, watak mereka yang sama keras malah tidak membuat jalan keluar itu ada.
Di luar kamar sang pangeran, para pengawal dan juga dayang istana sedang berkumpul. Terlihat sangat cemas karena sudah satu jam, tetapi tak ada tanda-tanda keduanya akan bicara.
“Apa kalian yakin mereka akan terus diam?” tanya salah satu dayang. Sejujurnya ia sudah sangat bosan menunggu, tapi ... ia tak bisa melawan tanggung jawabnya.
“Diam, dan lakukan tugas dengan baik.”
Dayang yang mendengar peringatan dari dayang lainnya segera tutup mulut, ia kemudian menatap ke berbagai tempat, dan berharap ada beberapa hal menarik yang bisa membuatnya betah.
Kembali lagi ke dalam kamar sang pangeran, Raja Qin yang sudah tak bisa menahan diri segera melemah. Ia kemudian memberikan beberapa amplop kepada putranya, lalu menunggu reaksi seperti apa yang akan ditunjukkan.
“Apa ini?” tanya Ame yang merasa bingung. Pasalnya, saat ia membuka amplop-amplop tersebut, hanya ada foto gadis-gadis cantik.
“Pilih salah satu yang akan menjadi selirmu, atau jika kau ingin, mereka semua bisa menjadi selirmu.” Raja Qin bersedekap, ia cukup aneh dengan reaksi putranya yang terlihat jijik dengan gadis-gadis itu.
“Yue, kau seharusnya memang sudah menikah, umurmu sudah terlalu dewasa, dan itu tidak baik.”
Ame yang mendengar ucapan sang raja menatap tak percaya. Menikah? Apa itu?
“Kau adalah kelak akan menjadi pemimpin menggantikan aku, dan kau juga harus mempunyai keturunan untuk melanjutkan takhta. Yue, pikirkan hal itu, hanya kau yang bisa Ayahanda percaya.”
Ame yang mendengar semuanya hanya bisa menatap tak nyaman, ia benar-benar tak akan mau menikah. Dia wanita, tidak mungkin baginya bisa menikah dengan wanita juga. Itu ... ya ... permintaan ayah dari sang pangeran begitu berat, bahkan ia sangat yakin jika sang pangeran tidak akan setuju dengan hal tersebut.
“Kau tidak mungkin menolak pilihanku, bukan? Kau sendiri yang meminta untuk memilihkan calon, dan mendapat dukungan politik dari para bangsawan dan juga para petinggi kerajaan. Ini semua adalah milikmu, kau bisa memilih, lalu mengeliminasi mereka dengan sesukamu.”
“Aku sangat ingat. Jadi jangan mengarang cerita, Ayahanda.”
Raja Qin ingin sekali memukul kepala anaknya. “Saat kau berumur lima tahun, kau mengatakan sendiri keinginanmu kepadaku. Dan kenapa sekarang kau bisa lupa? Yue ... kau juga sudah sangat lama menantikan saat ini tiba.”
Mendengar hal itu, membuat Ame harus memutar otak dan mengingat sejarah hidup sang pangeran yang ada dalam dirinya. Ia langsung kaget kala apa yang Raja Qin katakan itu sebuah kebenaran.
Ame bertambah jengkel, ternyata memang sang pangeran yang menginginkan hal tersebut. Rasa kesal dan menyesal mulai menggerogoti hatinya, rasa tak rela dan ingin mati saja mulai menghantui.
Kenapa ... kenapa ia harus masuk ke dalam tubuh pangeran gila yang ingin menjadikan para wanita sebagai kekuatan untuk mendapatkan takhta?
“Yue ... Ayahanda berharap kau tidak berubah pikiran.”
Sejenak Ame memejamkan mata, ia memaki dewa sialan yang sudah mengirim dirinya ke dalam tubuh sang pangeran. Baru hari ini ia merasa kesal karena nasib, dan itu semua hanya karena perihal pernikahan.
‘Jika kau menghancurkan kehidupan sang pangeran, maka kau juga akan menghancurkan kerajaan itu, Ame Yuriga. Bayangkan jika kau hanya menjadi seorang pecundang, itu akan membuat hidupmu semakin menyedihkan.’
Ame segera membuka mata, ia menatap sekitar, dan mencari sumber suara yang terdengar.
“Yue, ada apa?” tanya Raja Qin.
Ame kembali fokus pada sang raja. “Apa Ayahanda tidak mendengar suara seseorang?”
Raja Qin menggelengkan kepalanya, tetapi ia juga mengamati keadaan sekitar. “Tidak ada siapa-siapa. Ada apa denganmu?”
“Tidak, bukan apa-apa,” sahut Ame. Ia mulai memikirkan beberapa hal, dan memang benar ... jangan sampai kehadirannya malah membawa petaka bagi orang lain.
Selir ... sejenak Ame memikirkan kata-kata itu. Bukankah ia bisa menikah, tapi tidak untuk melakukan hal-hal bodoh seperti hubungan suami-istri?
“Yue, bagaimana?”
Ame menghela napas. “Asal mereka tidak menggangguku, maka aku setuju.”
Raja Qin begitu senang dengan jawaban anaknya, ia rasa cukup sampai di sini pembicaraan mereka, dan sebaiknya sekarang ia langsung pergi sebelum sang Putra Mahkota mengubah keputusan.
“Tapi,” ujar Ame pelan. Ia melirik Raja Qin dan menyeringai. “Selain itu, aku juga ingin melakukan beberapa hal sesuka hatiku. Bukankah di Moniyan ada Guild Petualang? Aku ingin mendaftarkan diri, dan mencari pengalaman di luar istana. Jika Ayahanda setuju, maka aku juga tidak akan menarik kata-kataku lagi.”
“Yue ... apa kau yakin tentang hal ini? Kau seorang Putra Mahkota, kau juga orang yang akan menjadi raja di masa depan. Bagaimana jika terjadi sesuatu padamu?”
Ame kesal, padahal ia ingin keluar dari istana dan melakukan banyak hal karena ingin menghindari pertemuannya dengan para selir. Selain itu, jika ia tetap berada di tempat itu terus-menerus, maka hidupnya sama saja seperti burung di dalam sangkar. Selain menikah, Ame yakin sang raja akan memintanya untuk mempunyai anak, dan karena hal itulah Ame ingin lari sebisa mungkin, dan hidup bebas tanpa beban.
“Di luar sana, ada banyak sekali orang yang bisa membahayakan dirimu. Kau hanya boleh tampil di depan umum ketika sudah dilantik sebagai raja, selebihnya tidak akan boleh ada orang luar yang melihat wajah dan tahu siapa namamu!”
‘'Kalau begitu, aku tidak akan menikah dengan siapa pun seumur hidupku.”
Raja Qin menahan diri agar tidak berteriak, ia berusaha menjaga wibawanya.
“Bagaimana, Yang Mulia Raja ... apa Anda setuju?”