Bagian 9

1009 Kata
"Kamu masih enam belas tahun waktu kita pacaran. Abang sayang banget sama kamu, tapi kamu masih underage, Nes. Orang tua abang juga nggak setuju—bukan karena nggak suka sama kamu, tapi karena kamu masih enam belas tahun. Abang nggak mau bilang putus, makanya abang ngelakuin itu; dekat sama Seruni biar kamu benci sama Abang." Dahi Vanessa mengerut. Berusaha mencerna informasi yang baru dia dapat. Bagian Dirga sengaja membuatnya benci kepada laki-laki itu sangan tidak masuk akal. Ya, memang dirinya membenci Dirga. Namun, dia juga tersakiti. Memerlukan waktu cukup lama, agar dirinya bisa melupakan kejadian itu. Lepas dari bayang-bayang menyakitkan yang cukup untuk membuatnya merasa tidak percaya diri. Setelah melihat Dirga dan Seruni di taman waktu itu, Vanessa berkubang pada pikiran bahwa dirinya tidak menarik. Tidak layak untuk disukai, sampai-sampai kekasihnya waktu itu berpaling. Setiap hari, Vanessa selalu merasa ada yang kurang dalam dirinya. Semakin dirinya memikirkan hal tersebut, semakin kuat pula insecure itu menghantam kepalanya. Dia beruntung, karena memiliki dua saudara yang mendukungnya sepenuh hati. Membantunya keluar dari pemikiran-pemikiran tak berdasar hasil peristiwa menyakitkan itu. Mada dan Mario berhasil menanamkan kepercayaan dirinya kembali. "Bukan kamu yang salah, Ca. Enggak ada yang salah dalam diri kamu. Bukan salah kamu kalau pasangan kamu selingkuh. Perselingkuhan itu sepenuhnya salah pelaku, Ca. Kamu harus tahu itu." Adalah ungkapan Mada yang masih tertanam di kepalanya sampai saat ini. Vanessa menatap Dirga dengan datar. "Seriusan, Bang? Cara itu yang kepikiran sama abang? Katanya, orang dewasa mampu berpikir dengan baik dan bijak, kan? Harus dengan cara nyakitin aku, gitu, Bang? Nggak kepikiran cara lain? *** Vanessa menatap Dirga dalam-dalam. Di benaknya, perempuan itu sibuk mencerna informasi yang baru saja didapat. Tentang perselingkuhan Dirga dengan Seruni, calon istri Mario, kakaknya. Dia akui, niat laki-laki itu baik. Hanya saja, kenapa harus melalui cara menyakitkan seperti itu? Dirinya di masa lalu memang sangat menyukai Dirga. Bahkan sampai pada titik tidak peduli terhadap pandangan orang lain. Atau pada gap usia mereka yang memang tidak terlalu jauh, tetapi dengan usianya yang belum dewasa, membuat gap itu seharusnya jauh lebih terasa. "Waktu itu ...." Dirga kembali membuka suara. "Abang nggak tega untuk bilang putus langsung, Nes." Vanessa diam. Alasan itu terdengar seperti omong kosong. Bagaimana mungkin seseorang tidak tega memutuskan hubungan dan lebih memilih jalan paling menyakitkan? "Abang minta maaf, Nes." Tatapan Dirga pada Vanessa begitu lekat. "Abang tahu, nggak? Kalau waktu itu aku diputusin langsung, nggak pakai selingkuh segala, aku mungkin nggak akan sebenci ini sama abang." Jantung Dirga serasa diperas kuat-kuat. Mengetahui secara langsung bahwa Vanessa membencinya, membuat dadanya sesak dan terasa sangat menyakitkan. Sampai saat ini, Vanessa membencinya hanya sebuah asumsi yang diciptakan benaknya. Konklusi atas ketidaksetiaan yang dia lakukan di masa lalu. Kini terlihat jelas dan didengar olehnya secara langsung. "Maaf." Tidak ada yang bisa dia lakukan selain meminta maaf. Masa lalu mereka tidak bisa diubah. Meski begitu, Dirga tetap berharap bahwa Vanessa dapat membuka hati untuk dirinya kembali. Perasaan yang dulu pernah ada, masih kuat tertuju pada perempuan itu. Hingga saat ini, setelah hampir satu dekade. Respons Vanessa terhadap permohonan maafnya tidak begitu baik. Dirga sudah menduga hal itu. Akan tetapi, rasanya tetap tidak begitu mengenakkan bagi hatinya. Respons yang ditunjukkan perempuan itu seolah memberi tahu bahwa dirinya mendapatkan penolakan. "Nggak ada gunanya minta maaf sekarang, Bang." Vanessa menyeruput minuman miliknnya yang sudah didiamkan beberapa saat, selama mereka mengobrol. "Kalau nanti punya seseorang yang berdiri di samping Abang, dan dia sangat menyukai Bang Dirga, pikirkan matang-matang setiap keputusan yang akan diambil. Libatkan dia, Bang. Cari jalan keluarnya bareng-bareng. Supaya ketika berpisah pun, kalian nggak saling membenci." Dirga memilih untuk diam. Dia paham bahwa Vanessa sedang mengutarakan pendapatnya terhadap peristiwa di masa lalu. Sekaligus menekankan rasa kecewa yang dia tancapkan atas keputusan sepihak yang diambil. "Hubungan romantis itu terjadi di antara dua orang, Bang. Bukan cuma salah satu yang berhak memutuskan. Aku tahu, Abang berpikir bahwa waktu tiu, aku mungkin akan sulit untuk diajak bicara. Tapi setidaknya, Abang sudah menghargai aku sebagai pasangan dengan membuat aku terlibat." Vanessa tidak akan mengatakan dirinya di masa lalu akan mudah diberi pengertian. Egonya masih terlalu tinggi. Dia juga mengerti bahwa keputusan Dirga untuk membuatnya tersakiti, didasari oleh ego yang bersemayam pada diri seorang Tri Vanessa Asmawarman. Namun, satu hal yang dia yakini, perselingkuhan tetap tidak bisa dibenarkan. Apa pun alasannya. "Ya udah, Bang. Anggap aja, udah nggak ada dendam lagi di antara kita. Terutama di diri aku. Tapi, aku nggak bisa untuk bersikap ramah sama Abang." Jantung Dirga terasa seperti dihantam benda tajam. Penuturan terakhir Vanessa sebelum perempuan itu berpamitan, menimbulkan nyeri yang tak terperi pada sekujur tubuhnya. Hatinya seperti diremas dengan kuat. Dadanya terasa sangat sesak, tidak memiliki ruang untuk mengambil udara. Vanessa tidak memberinya kesempatan. Menutup rapat-rapat pintu untuk dirinya kembali memasuki kehidupan perempuan itu. Dirga menyesal telah memutuskan hal bodoh itu. Sampai saat ini, penyesalan itu masih menggunung. *** Park Richard memperhatikannya secara saksama. Dengan mulut menyedot ice americano, laki-laki itu tidak melewatkan satu pun ekspresi yang ditunjukkan perempuan itu. Raut muka yang berubah-ubah membuatnya penasaran. Dia ingin sekali mengetahui pembicaraan yang dilaluinya dengan lawan bicaranya. Sejak pertama kali melihat perempuan itu di acara peresmian kantor cabang baru sebuah hotel, Park Richard tidak bisa mengalihkan perhatiannya. Momen yang telah membuatnya percaya akan cinta pada pandangan pertama. Keyakinan yang telah menuntunnya menuju kerja sama dengan Hotel Asmawarman. Background checking yang dia lakukan semata-mata didasari oleh rasa tertarik yang teramat kuat. Namun, keputusan untuk mengambil langkah bekerja sama dengan hotel yang dipimpin perempuan itu, tidak hanya berdasar pada perasaan pribadi. Hotel itu memiliki sejarah yang sangat menarik. Sesuai dengan visi dan misi perusahaan yang sedang berada di bawah kendalinya saat ini. Setelah beberapa kali pertemuan sebagai klien, dia sama sekali tidak mendapatkan respons positif. Perempuan itu, Vanessa, sudah memiliki pasangan. Park Richard tertawa miris. Bahkan setelah tidak lagi menjalin hubungan dengan siapa pun, perempuan itu tetap menjaga jarak. Melihat Vanessa meninggalkan lawan bicaranya, laki-laki itu bergegas bangkit, menyusul perempuan itu tanpa melepaskan ice americano dari mulutnya.Bersama langkah yang dibuat sepelan mungkin, cowok itu berharap bahwa perasaannya akan diberi jalan mudah untuk dapat mengenal sosok sang perempuan secara lebih dekat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN