Bagian 18

1141 Kata
Ghina Armadia sudah lama mencintai seorang Park Richard. Ketika menghadiri salah satu acara pertemuan para pengusaha, dia terpesona oleh laki-laki itu saat membacakan pidato di atas podium. Pembawaan yang tenang dan tampak sangat berwibawa membuat Park Richard mempunyai aura tersendiri di hadapan para wanita. Sejak saat itu, Ghina selalu mencari informasi tentang seorang Park Richard. Berusaha mencari kesempatan untuk bertemu secara pribadi. Akan tetapi, laki-laki itu sangat sulit dihubungi jika bukan untuk urusan pekerjaan. Berbulan-bulan dirinya mencari cara, Tuhan seolah memberi takdir baik kepada dirinya. Melalui Jerry, dia tahu bahwa orang tua Park Richard sedang gencar mencarikan jodoh untuk anak laki-laki itu. Usianya yang sebentar lagi mencapak kepala tiga membuat pasangan paruh baya itu ketar-ketir, karena sang anak belum juga menunjukkan kedekatan dengan perempuan mana pun. “Lo mau, nggak, gue jodohin sama temen gue? Orang tuanya ngebet banget nyuruh gue cari cewek,” kata Jerry saat itu. Jerry dan dirinya berteman sejak kuliah, bertemu sebagai perwakilan BEM masing-masing universitas. Keduanya memiliki beberapa kecocokan, sehingga pertemanan mereka berjalan sampai saat ini. “Lo pikir, gue mengenaskan banget, gitu, sampai mau lo jodohin segala?” Jerry tertawa. “Lo nggak sadar? Kisah percintaan lo emang mengenaskan, Ghina. Makanya, gue langsung kepikiran lo pas om sama tante nanyain, kali aja ada temen gue yang joms gitu.” “Lo aja sana yang nikah ama temen lo!” “Yakin, lo, nggak mau? Park Richard sih banyak yang mau deketin lewat gue, tapi susah banget dia bilang iya.” Mendengar Park Richard disebut, Ghina Armadia tidak lagi berpikir panjang untuk menyetujui rencana perjodohan itu. Dia tidak peduli jika laki-laki itu adalah tipe orang yang dingin atau sulit didekati. Di kepalanya sudah ada banyak cara yang akan dilakukan untuk meluluhkan dinding yang dipasang laki-laki itu. “Lo kenal Park Richard?!” respons Jerry waktu itu. Dia terkejut karena seorang Ghina Armadia yang peraulannya sangat sempit, bisa mengenal seorang Park Richard yang juga tidak mempunya circle yang luas. Ghina mengangguk dengan raut muka yang kentara sekali sangat sneang mengetahui dirinya akan dijodohkan dengan seorang Park Richard. “Kok, bisa?” Ghina mengedikkan bahu. “Lihat pas dia pidato beberapa bulan lalu.” Mulut Jerry membentuk huruf O atas respons terhadap informasi yang baru saja dia dapat dari sang teman. Rupanya, Ghina sedang berada dalam fase menyukai seseorang tanpa mengenal orang itu secara pribadi. Jerry mengenal Ghina sudah cukup lama. Tahu banyak tentang seluk beluk perempuan itu. Begitu pula dengan Park Richard. Dirinya tahu bagaimana Park Richard memperlakukan seorang perempuan. Jika dipertemukan, dia yakin, kedua orang itu dapat menemukan kecocokan masing-masing. Maka, laki-laki itu memberi tahu kedua orang tua Park Richard tentang Ghina. Atas permintaan sang teman, Jerri mempertemukan mereka tanpa sepengetahuan Park Richard. Bagi Ghina, mendekati keluarganya lebih dulu adalah salah satu trik paling strategis. Sampai hari ini, Park Richard tidak tahu jika rencana perjodohan dirinya dengan Ghina adalah berkat uluran tangan seorang Jerry. Saat ini, Ghina mengagumi feature wajah seorang Park Richard. Mata bulat dengan double eyelid, hidung mancung, kulit putih tampak sangat terawat, dan bibir merah merona tanpa bantuan lip tint atau sejenisnya. Tidak lupa pula rambut hitamnya disisir rapi dengan belah di bagian samping kanan. Park Richard di mata seorang Ghina Armadia adalah definisi sebenarnya dari kata sempurna. Amat sangat sempurna, sehingga membuat dirinya terkadang merasa insecure. Takut jika kehadiran dirinya di samping laki-laki itu, dianggap tidak pantas atau tidak sebanding. Akan tetapi, perasaan-perasaan itu dia kesampingkan. Demi memperjuangkan perasaannya yang entah kenapa, baginya terasa berbeda dari yang pernah dia rasakan. Dulu, dirinya pernah menyukai seseorang. Bahkan sudah pada tahap mencintai. Akan tetapi, perasaannya tidak berbalas sampai saat ini. Laki-laki itu sudah mempunyai perempuan yang mendampingi. Perempuan yang dilimpahinya kasih sayang. Laki-laki itu … ...Jerry. Laki-laki yang sampai saat ini menganggapnya berteman tanpa rasa apa pun. Laki-laki yang tidak pernah menyadari perasaan cinta yang dia tunjukkan melalui berbagai tindakan. Namun, perasaan itu cepat lenyap. Secepat datangnya. Kini, seorang Park Richard membuatnya merasakan sesuatu yang sangat berbeda. *** "Waktu ketemu pertama kali, saya panggil Anda dengan sebutan Mas. Tidak kebaratan, kan?" "Oh?" Park Richard terkejut mendengar ucapan Ghina. Dia sama sekali tidak menyangka perempuan itu akan membahas hal tersebut. "Tidak apa-apa." Padahal, Park Richard tidak nyaman sama sekali. Akan tetapi, kenapa rasanya tidak tega, ya, kalau mau bicara sejara jujur? Laki-laki itu bergumam dalam hati. "Benar, tidak ada apa-apa?" Park Richard mengangguk. Sebenarnya, dia malas menanggapi. Akan tetapi, rasanya tidak enak juga, karena dilihat dan diperhatikan oleh Jerry. Bisa saja, sih, dirinya masa bodoh. Ya … entah. Laki-laki itu merasa tidak tega saja. "Terima kasih." Senyum Ghina sangat lebar dan tampak tulus. Perempuan itu senang, mengetahui laki-laki yang menjadi incarannya terlihat memberikan sinyal baik. Rasanya … tinggal melakukan beberapa langkah lagi untuk meluluhkan hati laki-laki itu. Dia yakin, Park Richard akan jatuh ke dalam pelukannya. Cepat atau lambat. "Bro," panggil Jerry. Dia sengaja memecah keheningan yang tercipta setelah kedua sejoli yang sedang dirinya jodohkan itu tidak lagi mengobrol. Dua-duanya sama-sama payah soal cinta, dirinya berpikir, pasti tidak bisa berjalan jika tanpa campur tangannya. Park Richard menoleh. Matanya tidak bisa untuk mengabaikan penampilan sang sahabat yang selalu tampak fashionable. Jas dan celana bermotif batik khas salah satu daerah di Indonesia, berwarna biru muda, membalut kemeja biru tua yang dipadu-padankan dengan dasi biru muda. Style tersebut bukan seleranya, tetapi melihat Jerry, tampak pantas dan keren. "Gue sama Ghina mau dinner di tempat biasa kita makan. Ikut, nggak?" Ghina menoleh dengan cepat. Dahinya mengerut, me-recall apakah dirinya dan Jerry memang mempunyai rencana itu. Sepanjang ingatannya, malam ini dia akan makan sendirian di rumah. Sudah berencana untuk membuat spaghetti favoritnya. Bahkan daging giling yang sudah lama dia beli, tadi pagi direbus supaya ketika pulang nanti, bisa langsung memasak. Seolah mengerti akan kebingungan Ghina, Jerry memberi gesture khusus: jari telunjuk dan jempol dia bentuk bulat. Tanda oke, menyampaikan informasi bahwa ini rencana spontan darinya. Ghina tinggal mengikuti saja. Ghina Armadia tersenyum dikulum. Merasa senang sekaligus bangga, karena mendapat dukungan penuh dari sang sahabat. Jika begini, energinya bisa mencapai lebel paling tinggi. Mendapat dukungan adalah sumber energi tersendiri baginya. Park Richard tidak bodoh apalagi buta. Dirinya melihat dengan jelas kedua sahabat di hadapannya tampak menalin kerja sama. Tidak mau terperangkap, laki-laki itu menolak ajakan Jerry. Ghina adalah perempuan cantik. Anggun. Tampak berkelas dengan pembawaan dirinya yang penuh karisma. Akan tetapi, dirinya sudah telanjur menambatkan hati pada seorang Tri Vanessa Asmawarman. Meski tahu jalannya tidak akan mulus, Park Richard akan tetap berusaha. Gagal setelah berusaha, penyesalannya tidak akan semenyakitkan penyesalan tanpa usaha sama sekali. "Sorry, saya sudah ada acara." "Yah, elah, Bro. Banyak acara mulu hidup lo." Keluhan Jerry menimbulkan tawa kecil pada Park Richard. Laki-laki itu kemudian mengedikkan bahu. "Mau bagaimana lagi?" Ghina sebenarnya kecewa. Dirinya sudah membayangkan dapat bercengkerama dengan Park Richard lebih lama. Kalau beruntung, bisa mendapat lebih banyak informasi tentang laki-laki itu melalui obrolan-obrolan santai. Namun, perempuan itu menenangkan diri. Masih ada lain waktu, gumamnya dalam hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN