Park Richard mengusap tengkuk dengan wajah yang memerah. Ketahuan sedang menjalankan pengaturan perjodohan di depan perempuan yang sedang ingin dia tarik perhatiannya? Dia tidak bisa mengungkapkan rasa malunya dengan kata-kata. Faktanya, dia memang benar-benar malu saat ini.
Laki-laki itu tersenyum canggung, lalu menatap perempuan yang menurut Vanessa sangat cantik dan anggun itu. “Ghina Armadia, ya?”
Perempuan itu tersenyum, lalu mengangguk. Senyumnya memudar begitu menyadari bahwa Park Richard tidak sendirian. Ada wanita lain duduk berhadapan dengan laki-laki itu. Sekali pandang, Ghina Armadia tahu bahwa perempuan itu bukan perempuan sembarangan.
“Bisa pindah ke meja yang sudah dipesan untuk kita?” Ghina memberi penekanan pada kata ‘kita’ dengan maksud membuat perempuan di hadapan Park Richard tahu bahwa hubungan mereka bisa berlanjut ke arah lebih jauh setelah ini, mengingat pertemuan mereka diatur oleh orang tua Park Richard sendiri.
Park Richard mengangguk, kemudian mengalihkan pandangan kepada Vanessa yang sibuk kembali dengan minumannya. Sebenarnya, dia ingin meminta perempuan bernama Ghina Armadia ini untuk pergi saja, karena dia tidak tertarik. Maunya, di sini saja bersama seorang Tri Vanessa Asmawarman, sang klien yang sudah mencuri hatinya sejak pertama kali mereka bertemu.
Akan tetapi, Park Richard tidak bisa merealisasikan keinginannya. Dia tidak mau melihat sang ibu marah besar. Beberapa waktu ke belakang, ibunya hanya marah biasa dengan mengomel dan menceramahinya perihal jodoh dan pernikahan. Jika kali ini sampai benar-benar marah, ibunya pasti akan melakukan silent treatment.
Park Richard tidak suka jika sang ibu sudah mendiamkan dirinya. Rasanya, apa pun yang dia lakukan pasti salah. Pada akhirnya, Park Richard pamitan kepada Vanessa.
“Silakan.”
Park Richard dapat melihat senyum jenaka di wajah perempuan itu. Entah merasa lucu melihatnya menghadiri pertemuan yang telah diatur orang tuanya. Atau Vanessa ingin mengejeknya melalui senyuman tersebut.
Laki-laki itu mengembuskan napas perlahan begitu sampai di meja yang telah dipesan. Matanya tidak lepas dari Vanessa yang menghilang beberapa saat setelah dirinya pamit. Dia ingin menyusul Vanessa keluar dari tempat ini. Sayang sekali. Hal itu hanya angan-angan belaka, karena perempuan di hadapannya sekarang melemparkan berbagai pertanyaan tentang dirinya, yang hanya dia jawab dengan malas-malasan.
“Tante tahu saja, ya, tempat romantis seperti ini.”
Park Richard mengedarkan pandangan ke sekeliling. Jika yang dimaksud Ghina dengan romantis adalah desain interior yang mewah, maka Park Richard akan membenarkan saja. Setiap orang memiliki pandangan berbeda terhadap sesuatu, dan dia tidak mau berdebat dengan perempuan yang baru pertama kali ditemuinya. Apalagi, hanya perkara romantis atau tidaknya tempat ini.
Laki-laki itu tersenyum saja. Sangat tipis. Kemudian, membiarkan Ghina berceloteh apa pun, tentang sesuatu yang sebenarnya sangat membosankan untuk didengarkan oleh telinganya.
“Boleh minta kontaknya, Mas?”
Park Richard tidak ingat kapan dirinya memberi izin perempuan ini memanggilnya dengan sebutan mas. Dia tidak keberatan, tetapi panggilan itu terasa intim bagi dirinya yang tumbuh dan besar di Surabaya selama belasan tahun.
Park Richard mengambil kartu nama di saku dalam jasnya. Lalu, mengeluarkan selembar kartu nama dan menyodorkannya ke hadapan Ghina.
"Hubungi saya di nomor itu saja."
"Terima kasih," respons Ghina sambil tersenyum. Dimasukkannya kartu nama tersebut ke dalam tas kecil yang dibawanya.
"Ngomong-ngomong, kalau saya ajak ketemuan lagi, Mas bersedia?" Ghina mencoba peruntungan. Dia sesungguhnya takut ditolak, mengingat orang tua laki-laki itu mengatakan bahwa Park Richard tidak mudah didekati.
Park Richard ingin mendengkus dan menolak Ghina. Mengatakan dengan jelas bahwa dia tidak tertarik untuk berhubungan lebih lanjut. Akan tetapi, dia tidak bisa berlaku kejam seperti itu jika mereka berhadapan. Akan lebih mudah jika dirinya tidak datang ke pertemuan ini.
"Kalau saya tidak sibuk."
Ghina Armadia mengangguk. "Nanti saya tanya dulu berarti, ya, kalau mau ngajak keluar?"
Park Richard mengangguk dengan senyum tipis. Senyum yang tidak dipaksakan, karena tertular oleh senyum lebar perempuan di hadapannya. Dia tidak mengerti bagian membahagiakan dari jawabannya itu. Akan tetapi, Park Richard tetap tertular oleh senyum lebar seorang Ghina Armadia.
Pertemuan hari itu pun diakhiri oleh panggilan mendadak dari asisten pribadinya. Bersamaan dengan rasa syukur karena bisa pergi dari tempat itu, Park Richard juga mengumpat kepada sang asisten. Hari ini, seharusnya dia libur. Akan tetapi, panggilan darurat itu membuatnya bekerja.
***
Dirgantara merenung. Beberapa hari ini, Vanessa sama sekali tidak bisa ditemui. Mada dan Mario bahkan tidak tahu menahu tentang alasan adik mereka menghindari dirinya. Dia ingin bercerita kepada Mada bahwa adik perempuannya itu semakin marah setelah dirinya menjelaskan tentang masa lalu. Akan tetapi, waktunya selalu tidak pas. Apalagi, Mada sangat sibuk mengurus Asmawarman di kantor pusat. Penutupan akhir tahun.
Vanessa juga pasti sibuk dengan urusan hotelnya. Penutupan akhir tahun dan persiapan pindah ke pabtik pakaian di Sukabumi atas perintah Mada. Perempuan itu pasti sibuk sekali dan sulit mempunyai waktu untuk diri sendiri. Dia ingin membantu, tetapi tidak tahu harus melakukan apa. Sekalipun ada yang bisa dia bantu, Vanessa pasti menolak.
Laki-laki itu mengembuskan napas dengan kasar, lalu mengambil kunci mobil di atas meja di samping tempat tidur. Berkecamuk dengan berbagai pemikiran tentang Vanessa tidak akan membuat angannya tercapai. Dia pun memutuskan untuk mencoba peruntungan dengan datang ke kantor Vanessa. Mengajak perempuan itu untuk makan siang bersama. Menariknya sejenak dari kesibukan.
"Mau ke mana?" Papanya bertanya begitu dia sampai di ruang keluarga. Untuk menuju garasi, dia memang harus melewati ruang keluarga terlebih dahulu, sehingga kemungkinan bertemua anggota keluarga sangat besar.
"Keluar sebentar, Pa," jawabnya. "Papa, kok, di rumah? Nggak kerja?"
Alih-alih menjawab secara langsung pertanyaan Dirga, sang papa justru mengomel. "Lho, kamu tidak tahu ini hari apa? Main keluar-keluar saja. Pakai tanya kenapa papa di rumah segala, lagi."
"Hari apa, emang?" tanyanga dengan santai. Dia tidak terganggu sama sekali oleh omelan sang papa, karena laki-laki paruh baya itu memang hobi mengomel, terutama kepada dirinya.
"Bocah gendheng! Ulang tahun mamamu sendiri bisa lupa!"
Dirga terkejut. Kaget bahwa hari ini ulang tahun sang mama, dan bisa-bisanya dia melupakan hari penting ini. Hatinya berdenyut seketika, merasa bersalah.
"Pa, Dirga beneran lupa. Biasanya, Dirga juga inget. Jangan bilang Mama, ya?"
Dirga meminta papanya untuk tutup mulut bukan karena takut dimarahi. Mamanya tidak akan marah. Namun, perempuan tercintanya itu biasanya menangis secara diam-diam. Dia tidak ingin membuat sang mama memendam kesedihan, karena anaknya melupakan hari spesial seperti ini.
"Kamu ini!" Papanya kembali mengomel. "Jangan keluar kalau tidak mau Mama kamu sedih. Ibunya ulang tahun, anaknya malah keluyuran."
Dirga tidak punya pilihan selain mengiyakan. Lagi pula, sudah lama juga dirinya tidak merayakan hari ulang tahun sang mama secara langsung. Biasanya, selama di luar negeri, perayaan apa pun dilakukan melalui video call. Esensi yang didapatkan, tidak sama dengan perayaan yang dia hadiri secara langsung. Bisa mengucapkan selamat ulang tahun sambil memeluk dan mencium sang mama memberikan kebahagiaan tersendiri padanya.
"Iya, Pa. Dirga di rumah."
"Bagus! Memang harus di rumah."
Laki-laki itu kemudian mengambil posisi duduk di samping papanya. Sambil memikirkan kembali rencana yang akan dia lakukan untuk menarik sejenak seorang Tri Vanessa Asmawarman dari kesibukan akhir tahun. Bagaimana pun caranya, dia harus berhasil meski pun dilakukan esok hari.