Dari sekian banyak alasan, Mada rela mengirim Vanessa ke Sukabumi, sebenarnya, agar gadis itu tidak melulu terkungkung masa lalu yang menyakitkan. Mada paham, kebersamaan yang terjalin selama enam tahun tidak mudah untuk dilupakan. Tapi bagi Mada, selama sembilan belas tahun Vanessa hidup tanpa Raditya, gadis itu baik-baik saja. Jadi, ia yakin kalau Vanessa akan kembali pulih dari patah hati. Mengirimnya ke kota lain hanya salah satu cara membantu Vanessa melanjutkan hidup.
Sejujurnya, Mada telah melakukan hal lain untuk membalas pengkhianatan yang dilakukan oleh Raditya dan Alyssa pada adik kesayangannya. Ia hanya menyembunyikannya dari Vanessa. Sampai kapan pun, Mada tidak akan membiarkan orang lain menyakiti keluarganya, sekali pun itu Mario yang seorang laki-laki tangguh. Bagi Mada, keluarga adalah segalanya. Bermain dengan salah satu pemilik nama Asmawarman sama dengan menunggu kehancuran. Meskipun laki-laki itu harus mengakui bahwa dirinya tidak setega itu mengacak-acak hidup orang yang sudah berjasa bagi perusahaan. Terutama Hotel Asmawarman.
Mada menghembuskan napas dengan kasar. Mengantar Vanessa kuliah di luar kota saja sangat berat. Mada tidak ingin menghadapi kondisi itu lagi. Dengan berat hati, dia memutuskan hanya Mario yang akan mengantar Vanessa ke Sukabumi.
"Sudah lama?"
Suara berat milik seorang laki-laki membuyarkan lamunan Mada.
Laki-laki yang baru datang itu menjatuhkan pantatnya di atas kursi di hadapan Mada. "Jakarta dan macet kayaknya udah jadi soulmate banget," celoteh laki-laki itu sambil meneguk air putih yang sudah Mada sediakan sejak tadi.
Mada terkekeh. Laki-laki ini tidak pernah berubah. Sejak kuliah dulu selalu mengomel perihal macet. Padahal, mereka tahu bahwa macet memang tidak bisa dihindari masyarakat yang tinggal di perkotaan, apalagi kota metropolitan seperti Jakarta.
"Kayak orang baru datang ke Jakarta aja. Saint-Petersburg bukannya macet juga?" Mada tertawa.
"Di jam-jam tertentu, sih," balas laki-laki itu membuat tawa Mada semakin lebar.
"Jakarta juga jam-jam tertentu macetnya."
"Ampun, Mada. Nggak usah diperpanjang, lah, persoalan macet ini." Laki-laki itu tergelak. "Nanti malah pokok bahasan kita dilupain."
"Bener juga lu. Mau pesan apa, by the way?"
"Kopi item aja gue. Pengin makan steak, tapi tadi udah makan siang dengan Giar."
Mada mendecih kesal. "Gue kira, lu udah makan siang sama calon istri, tahunya makan siang dengan si tukang poligami itu."
"Bacot lu, Mada. Gitu-gitu, dia bakal jadi partner bisnis gue yang paling potensial kalau udah pegang perusahaan bokap."
"Lu jadi megang Antakusuma?"
Laki-laki itu mengangguk sebagai jawaban.
"Serius? Seorang Dirga?"
Dirgantara, laki-laki itu, tidak menginginkan estafet kepemimpinan perusahaan tekstil dan garment milik keluarganya. Menjadi dosen sudah berada dalam angannya sejak kecil. Akan tetapi, statusnya sebagai anak tunggal tidak mengizinkan.
Dirga tergelak melihat respons sang sahabat. Dia memaklumi, karena memang sulit dipercaya pada akhirnya jabatam itu harus dia ambil. Mada tahu benar sepak terjangnya dalam menghindari tuntutan sang ayah tersebut. "Berkat Saint-Petersburg. Gue janji sama bokap bakal gantiin dia kalau diizinin S3 di sana."
"Ah," Mada mengangguk-angguk. "Pantesan om Bima ngizinin lu kuliah filsafat. Kalau tanpa perjanjian itu, mana boleh lu keluar dari jalur bisnis atau manajemen."
"Ya, gitulah."
"Kagak sekalian aja lu dulu kuliah jurusan Produksi Garmen di Bandung."
"Bokap maunya gue pake almamter kuning. Banyak mau, emang, itu orang tua satu."
Mada tertawa. Bagi mereka, bisa memilih adalah sebuah kemewahan. Hampir seluruhnya keputusan dalam hidup, diatur orang tua yang hanya menginginkan anak-anaknya menjadi penerus. Satu-satunya kemewahan dalam hidup Mada adalah menikahi Karin tanpa penolakan apa pun. Dia sangat bersyukur atas itu.
"Kapan mulai?" tanya Mada.
"Dua bulan lagi kayaknya. Kenapa?"
Biasanya, Mada tidak banyak bertanya tentang kehidupan pekerjaannya. Bahkan ketika memutuskan untuk mengambil S3 di Saint-Petersburg, Rusia, pun hanya hanya memberi semangat dan dukungan moral.
"Gue ngirim Vanessa ke Sukabumi buat ngurus perusahaan garmen yang baru Asmawarman akuisisi. Tapi sebelum jadi direktur, Mario berpikir bakal lebih baik kalau Vanessa mulai dari bawah. Dia juga nggak ada basic bisnis garmen. Makanya, gue juga sekalian mau minta tolong lu untuk ngisi posisinya Vanessa sebelum dia diresmiin."
Penjelasan Mada panjang lebar membuat Dirga terkejut bukan main.
"Lu gila? Gue bakal megang bisnis ini, lho? Nggak takut, gue bakal nikung lu? Biar gimanapun, ini lahan gue, Mada."
Mada mengangkat alis sebelah kanan, memberi sang sahabat tatapan skeptis. "Bisa, nikung gue?"
Dirga mengedikkan bahu. "Dalam bisnis, apa pun bisa kejadian."
"Setahu gue, lu paling nggak suka Machiavelli. Jadi, aman, lah, kayaknya."
Lagi-lagi keduanya tergelak. Mereka sudah mengenal sejak sama-sama menjadi murid di sekolah menengah atas. Watak masing-masing bukan misteri lagi. Tidak ada rahasia di antara mereka, termasuk hubungan Dirga dengan Vanessa.
"Memangnya nggak apa-apa? Lu tahu sendiri sejarah gue sama Nenes."
Mada menghela napas berat. Sebenarnya, bisa saja dia meminta orang-orang di perusahaannya untuk membantu Vanessa. Akan tetapi, orang yang bisa mengontrol Vanessa ketika marah atau keras kepala hanya Mada dan Dirga.
"Gue cuma percaya sama lu, Ga. Bantu gue, ya?"
"Gue, sih, mau aja. Dapet gaji juga. Lumayan. Tapi gue takut nyakitin Nenes. Apalagi, gue denger ceritanya dari Mario."
Mada mengangkat tangan kanannya, melihat jam yang melingkar di sana lalu menyeruput kopinya hingga tandas. Tanpa berniat menjawab sedikit pun. "Gue tunggu keputusan lu, ya? Gue percaya lu nggak akan ngelakuin apa-apa lagi untuk menyakiti Vanessa. Vanessa juga udah dewasa. Gue yakin, dia bisa profesional."
"Lu pikir, gue nggak tahu kenapa Vanessa ampe dikirim ke sana? Mario masih jadi informan terpercaya gue kalau lu mau tahu."
"Beda, Dirga. Lu dan Raditya berbeda."
"Apanya yang beda, sih? Lu tahu sendiri apa yang gue lakuin waktu itu!"
Perkataan Mada menyentuh relung hatinya. Perkataan sederhana yang cukup berarti. Namun, tidak cukup untuk mengembalikan kepercayaannya terhadap diri sendiri setelah menyakiti Vanessa di masa lalu. Menyakiti remaja yang begitu mencintainya, memercayai dirinya dengan sepenuh hati.
"Kita sama-sama tahu alasan di balik itu semua, Dirga. Kalau pun ada yang bertanggung jawab, itu harusnya gue. Bukan lu, bukan juga Mario!" Setelah mengatakan itu, Mada bergegas pergi dari hadapan dirga yang tampak sedang mencerna perkataannya.
Sepeninggal Mada, Dirga merenung, memikirkan permintaan Mada untuk menjaga Vanessa. Sesungguhnya, menjaga Vanessa adalah keinginan terbesar Dirga. Apalagi setelah kejadian delapan tahun lalu. Menghela napas pelan-pelan lalu mengembuskannya, Dirga beranjak dari tempat duduknya.
Laki-laki itu butuh waktu untuk memikirkan permintaan tolong Pratamada. Memang, dia sangat merindukan Vanessa. Akan tetapi, ada banyak hal yang harus dia pertimbangkan untuk bisa menentukan langkah selanjutnya.
***