Menjadi seseorang yang tidak diterima sepenuhnya oleh salah satu anggota keluarga dari orang yang dicintai, sangat sulit. Jika bukan karena dirinya sangat mencintai Mario, rasanya tak sanggup untuk melanjutkan hubungan ini. Seruni menyadari bahwa yang dia dapatkan saat ini adalah karma dari masa lalunya. Dia sungguh-sungguh telah menyesal. Ratusan kata maaf mungkin sudah dia ucapkan. Akan tetapi, dirinya pun tidak bisa memaksa supaya Vanessa mau menerima dirinya sebagai calon istri dari seorang Mario.
Seruni menatap laki-laki yang saat ini duduk di sofa di hadapannya, bersama ayah dan ibunya. Sang kekasih tampak sangat tampan dengan balutan kemeja biru muda dilapisi jas berwarna hitam. Senyum yang Mario tunjukkan seolah memiliki daya magis tersendiri. Segala kekhawatiran dan kesedihannya akan lenyap hanya dengan melihat senyum itu.
Sama seperti hari ini. Hatinya yang gundah, karena memikirkan Vanessa yang belum juga mau memaafkan dirinya, berubah menjadi tenang. Seolah-olah permasalahan yang ada di kepalanya, disingkirkan oleh senyum simpul Mario yang sangat menawan.
Orang tua dari kedua pihak masih membicarakan hal basa-basi tentang bisnis. Masih jauh dari pembicaraan inti. Oleh karena itu, Seruni mengajak Mario ke gazebo hasil desainnya sendiri di taman belakang rumah. Mendengarkan basa-basi para orang tua sangat membosankan.
“Vanessa nggak mau datang, ya?” Tanya Seruni dalam dekapan Mario.
“Hm.”
Seruni mengembuskan napas dengan kasar. Bagaimana pun, dia tetap berharap bahwa adik dari laki-laki yang dicintainya, akan hadir di hari penting mereka.
“Bang Mada?”
“Nyusul, katanya. Kak Karin ada urusan dulu.”
Seruni mengangguk. Pratamada orang baik. Sejak pertama mengetahui bahwa dirinya pernah ada di masa lalu menyakitkan Vanessa, laki-laki itu tidak pernah menunjukkan penghakiman sama sekali. Dia bersyukur atas hal itu.
“Maaf, ya, Yo. Masa lalu aku nggak baik. Aku nggak bisa jadi kebanggaan kamu di hadapan Vanessa.”
Mario melonggarkan pelukan, meraih wajah Seruni, lalu mengecup dahinya dengan penuh rasa tulus.
“Jangan ngomong gitu, ya? Aku cinta kamu. Cukup menjadi Seruni yang aku kenal sekarang, yang aku cinta dan mencintaiku. Masa lalu kamu, itu milik kamu. Kamu dan Vanessa sama-sama penting buat hidup aku. Dan kamu harus ingat, kamu bukan sesuatu yang bisa aku jadikan alat untuk menujukkan sebuah kebanggaan. Kamu pasangan aku. Ya?”
Seruni tersenyum, lalu mengangguk. Setelah itu, dia mencium lembut bibir Mario. Keduanya terhanyut dalam ciuman penuh cinta.
***
Vanessa bergelung di atas tempat tidur Mada dan Karin. Perempuan itu sengaja menunggu mereka berdua. Dia memutuskan untuk menemani Mario dalam membahas tanggal pernikahan laki-laki itu. Memang, dirinya enggan untuk melihat wajah perempuan yang sudah melukai masa lalunya. Akan tetapi, setelah dipikirkan lagi, tidak ada salahnya menunjukkan kasih sayang sebagai seorang adik dengan menghadiri acara penting ini.
Perempuan itu bisa saja datang sendirian. Toh, dia tahu rumah Seruni berkat paksaan Mario waktu itu. Namun, Vanessa merasa berat jika harus sendirian. Maka dari itu, dia memutuskan untuk menunggu Mada dan Karin yang sedang di luar.
Karena sudah cukup lama menunggu, Vanessa memutuskan untuk menelepon kakaknya itu.
“Kok, Abang nggak pulang-pulang?”
“Abang, kan, mau langsung ke rumah Seruni, Ca. Kamu nungguin?”
Vanessa berdecak, kesal. “Ini Abang lagi di mana emangnya?”
“Abang di hotel. Sebentar lagi berangkat. Kenapa, sih?”
“Pokoknya Abang tunggu Eca di depan rumah Seruni. Jangan ninggalin! Eca bakal ngambek kalau Abang ninggalin!”
Tanpa mengatakan apa-apa, Vanessa menutup telepon. Membiarkan Mada mengerutkan kening, kebingungan terhadap tingkah sang adik. Bukan tentang cara Vanessa menutup telepon. Bukan itu. Melainkan perkataan perempuan itu yang memintanya untuk menunggu di depan rumah Seruni.
Tadi siang, Mario menelepon. Memberi tahu dirinya bahwa Vanessa menolak, Pun tidak bisa dibujuk. Sang adik sudah pasrah. Sikap Vanessa terhadap Seruni memang tidak bisa dipaksakan. Mario sudah berserah. Pasrah. Apa pun yang Vanessa lakukan, dia hanya akan memastikan tidak akan menyakiti siapa pun. Baik Vanessa sendiri mau pun Seruni.
“Kenapa, Mas?” tanya Karin.
“Eca. Minta kita tunggu di depan rumah Seruni.”
Karin tersenyum simpul. “Bagus, dong. Itu berarti, si bungsu berubah pikiran. Masih menghargai Mario sebagai kakaknya. Kenapa Mas malah kayak orang kebingungan gitu?”
Mada mengembuskan napas. “Mas bingung aja, tiba-tiba dia telepon minta ditungguin. Kan, dia paling nggak suka segalanya tentang Seruni.”
“Dimaklumi aja, Mas. Cara dan waktu bagi seseorang pulih dari patah hati itu berbeda-beda. Apalagi, Vanessa mengalami hal itu dua kali. Kita dukung dan ingatkan seperlunya. Jalani peran sebagai kakak.”
Mada tersenyum simpul. Laki-laki itu memeluk sang istri dengan erat, sambil berterima kasih kepada Tuhan, karena telah mengizinkan perempuan hebat ini untuk menjadi pasangannya.
***
Mario dan Seruni mematung. Genggaman keduanya saling terlepas. Mata mereka mengedip-ngedip pelan, lalu saling berpandangan, memastikan mereka mendapatkan pemandangan yang sama dan tidak salah.
Di hadapan mereka, di antara kedua keluarga, ada Tri Vanessa Asmawarman sedang bercengkerama dengan ibu Seruni. Tawa yang ditunjukkan bahkan tampak lepas dan tulus, tidak ada keterpaksaan sama sekali.
Seruni merasa ini hanya mimpi. Dalam benak, pasti dirinya tertidur dalam pelukan Mario, lalu memimpikan Vanessa datang. Karena bagaimana pun, mendapatkan maaf dan bisa bercengkerama secara santai dengan perempuan itu adalah salah satu keinginan terbesarnya. Dengan begitu, dirinya telah diteria sepenuhnya oleh keluarga dari laki-laki yang sangat dia cintai.
“Nah, ini dia calon pengantinnya!”
Teriakan Sari, ibu Seruni, menyadarkan kedua sejoli itu. Menciptakan senyum kikuk karena tepergok melamun.
“Sini, Nak.” Ibu Mario menunjuk tempat duduk di samping kirinya, yang artinya, meminta Seruni untuk duduk di antara perempuan paruh baya itu dan juga Vanessa.
Seruni melirik Mario sebelum mengangguk untuk mengiyakan pinta sang calon mertua. Meminta kekuatan untuk memunculkan rasa percaya diri. Dan berhasil. Senyum tipis yang Mario berikan seolah menyalurkan kekuatan yang sangat besar.
Sebagai seseorang yang mempunyai masa lalu memalukan, bagi dirinya sendiri, berada di dekat perempuan yang telah disakiti cukup membuatnya gugup. Vanessa pun tipe perempuan yang kehadirannya membuat beberapa orang, terutama dirinya, merasa terintimidasi. Auranya tidak main-main.
Perempuan itu tersenyum kepada Vanessa. Tidak dibalas dengan senyuman, hanya sebuah anggukan, tetapi Seruni sudah senang. Senang, karena acara penting ini dihadiri seluruh anggota inti dari kedua pihak.
***
Vanessa menatap langit malam yang hitam dan bersih, tidak ada bintang-bintang kecil selain bulan sabit. Pikirannya melanglang buana ke masa lalu, ketika dirinya tengah dipenuhi cinta. Cinta yang menggebu terhadap seorang laki-laki yang beberapa minggu lalu telah menikah. Menikah dengan sahabatnya sendiri.
Melihat sang kakak telah menentukan tanggal pernikahan, Vanessa tentu ikut senang. Dia juga tidak lupa berdoa untuk kebahagiaan dan keutuhan rumah tangga Mario dan Seruni kelak. Meski belum bisa menerima perempuan itu sebagai kakak iparnya dengan lapang d**a, dirinya tetap mengharapkan yang terbaik, karena kebahagiaan sang kakak adalah segalanya. Sebagai seorang adik yang sangat mencintai kakaknya, Vanessa tidak mau egois dengan mengacaukan kehidupan mereka.
Masa lalunya memang menyakitkan, dan perempuan yang malam ini berbahagia, memiliki kontribusi terhadap patah hatinya di masa lalu. Akan tetapi, hal itu tidak menjadikan dirinya mempunyai alasan untuk menyakiti kembali.
Tidak. Dia tidak mau menyakiti kakaknya hanya demi memuaskan dendam akan masa lalunya.
“Lagi ngapain?”
Vanessa menoleh dan mendapati Pratamada Asmawarman tersenyum kepadanya.
“Lagi mainan truk,” kelakar Vanessa.
Pratamada tertawa. Lalu, duduk di samping sang adik.
“Abang bangga sama kamu.”
Dahi Vanessa mengerut. Tidak ada angin, tidak ada hujan, Pratamada mengatakan bangga terhadapnya. Padahal, laki-laki itu melampiaskan kemarahan dengan mengirimnya ke kota yang tidak pernah dia singgahi sama sekali.
“Abang bangga sama kamu, berani menghadapi masa lalu kamu. Meski demi Mario, abang yakin, ke depannya kamu bakal berani menghadapi demi diri sendiri.”
Vanessa menunduk. Pratamada seolah sedang menelanjangi dirinya. Menerawang ke alam pikiran yang hanya dia bagi kepada diri sendiri.
“Nggak apa-apa, Ca. Semuanya butuh waktu. Abang yakin, kok, bakal datang waktu ketika kamu melepas semuanya, dan fokus hanya pada kebahagiaan diri kamu tanpa ditakuti masa lalu."
Vanessa tersenyum.
Waktu, ya? Perempuan itu bergumam dalam hati, lalu tersenyum sinis.
Jika waktu memang bisa membuatnya berhenti terluka, kenapa sampai saat ini hatinya masih berdenyut nyeri setiap kali melihat orang-orang dari masa lalu yang menyakitkan itu?