Bagian 3

1025 Kata
Langkah gontai seorang Tri Vanessa Asmawarman menimbulkan tanya dalam benak orang-orang yang sedang berkumpul di ruang keluarga. Apa yang terjadi pada bungsu Asmawarman itu? Mereka yang di sana ketakutan. Tidak ingin Vanessa terjebak pada kondisi beberapa minggu lalu; mengurung diri di kamar tanpa makan. Perempuan itu hanya bersedia meminum s**u dan air putih yang diletakkan di depan pintu kamar. Sama sekali tidak menemui siapa-siapa. Setelah satu minggu berada di kamar (Mada dan Mario menghitungnya), Vanessa keluar dengan pakaian rapi seperti yang biasa dikenakan untuk bekerja. Berbanding terbalik dengan outfit, wajahnya tampak sangat pucat. Sama sekali tidak ada rona di wajah yang biasanya ceria itu. Ketika berhadapan dengan Karin, istri Mada, yang juga akan ke meja makan, Vanessa tumbang. Rasa senang melihat adik iparnya sudah mau keluar itu pun tergantikan oleh teriakan histeris dipenuhi kecemasan. Vanessa berakhir di rumah sakit, istirahat total selama satu minggu. Mada tidak ingin kejadian itu terulang. Keluarganya terlalu berharga untuk diacak-acak orang luar tak bertanggung jawab. Begitu mengetahui penyebab kemurungan Vanessa hingga mengurung diri selama satu minggu itu, Mada tidak tinggal diam. Dia mendatangi Raditya di kediamannya. Tanpa mengatakan apa pun, kepalan tangan seorang mantan anggota Menwa itu menghantam hidung mancungnya. Hanya satu kali, tetapi sanggup membuat hidung itu patah. "Saya akan mengawasi kamu, Raditya. Saya pastikan kamu menyesal," katanya waktu itu. Oleh karena itu, Mada buru-buru menyusul Vanessa ke kamarnya. Dia harus memastikan apa yang terjadi sampai-sampai membuat adik bungsunya itu tampak sangat sedih. "Abang boleh masuk?" tanyanya di ambang pintu. Vanessa hanya merespons dengan anggukan. Pura-pura kuat di hadapan laki-laki yang telah menghancurkan hatinya tanpa penyesalan sama sekali membuat seluruh energinya terkuras. Dia sedang tidak berada dalam kondisi untuk meladeni orang lain meskipun sekadar menyapa. Bahkan langkah Mada di belakangnya pun tidak dia sadari. "Hari ini berat, ya?" Pertanyaan sederhana dan tidak terkesan menuntut, tapi mampu membuat air mata yang sudah mati-matian ditahannya pun luruh. Setelah menangis selepas kepergian Raditya dari ruangannya, Vanessa berusaha untuk tidak lagi membuang-buang air mata demi laki-laki berengsek itu. Namun, kepedulian seorang Pratamada mematahkan tekadnya. Bahu Vanessa bergetar. Perempuan itu menangis tanpa suara. Mengeluarkan kesedihan yang selama ini hanya disimpan untuk diri sendiri. Hari ini, hanya dengan satu pertanyaan, Vanessa meluapkan semuanya di hadapan sang kakak. Mada tidak bisa menahan diri untuk meraih tubuh ringkih sang adik, lalu mendekapnya dengan lembut. Seolah menyampaikan permintaan maaf atas ketidakberdayaannya. Mada sangat ingin melakukan sesuatu, agar bisa mengurangi sakit yang sedang dialami Vanessa. Akan tetapi, Mada sadar, tidak ada yang bisa dilakukan selain membiarkan adik bungsunya itu tahu bahwa dia tidak sendirian. Mata yang berkaca-kaca menjadi bukti betapa Mada ikut merasakan kepedihan Vanessa. Betapa hatinya berteriak ingin mengambil separuh beban yang ditanggung sang adik. Betapa tersiksa dirinya merasakan getaran tubuh Vanessa akibat tangis. Karin menyeka air mata yang telah luruh sejak menyaksikan interaksi kakak-beradik Asmawarman itu. Sebagai perempuan, dia bisa menaruh empati yang sangat besar untuk adik iparnya. Menaruh kepercayaan pada laki-laki yang dicintai selama bertahun-tahun, lalu dipatahkan begitu saja. Tidak ada manusia yang kebal terhadap sakitnya patah hati. Sekalipun itu seorang Vanessa yang tampak begitu kuat dan tidak takut terhadap apa pun. Tidak ingin mengganggu momen kedua orang tersayangnya, Karin balik badan. Bermaksud untuk kembali ke ruang keluarga. Ketika berbalik, dia berhadapan dengan Mario. Karin menggeleng sambil tersenyum sendu, memberi isyarat supaya Mario membiarkan Mada dan Vanessa. Perempuan itu sangat memahami bahwa yang dibutuhkan bungsu Asmawarman saat ini hanya satu orang. Hanya Mada. Mada yang terbiasa menjadi tumpuan baik bagi Mario maupun Vanessa. Sejak kecil selalu seperti itu. *** "Nggak apa-apa, Ca. Nggak apa-apa. Abang izinin kamu nangis sampai perasaan kamu lega. Setelah ini, kamu harus buktikan bahwa orang berengsek itu sudah salah memilih lawan." Mengingat ucapan Mada waktu itu membuat Vanessa tersenyum simpul. Seperti biasa, Mada selalu bisa diandalkan. Pratamada selalu mampu membuatnya tenang dan kembali berpikir positif. Meski membutuhkan waktu yang lama untuk sembuh dari patah hati, Vanessa yakin, dia bisa melewati ini dengan bantuan keluarga yang menyayanginya. Mada, Mario, bahkan Karin selalu ada untuk menghiburnya. Vanessa kembali memfokuskan pikirannya pada pekerjaan. Laporan-laporan yang diserahkan sekretarisnya kemarin baru sempat dia telaah hari ini. Hanya dalam sekejap, Vanessa mulai tenggelam dalam pekerjaannya. Mengenyahkan sejenak rencana-rencana dalam kepalanya untuk melakukan balasan lanjutan terhadap Raditya dan Cassandra. Seperti yang Mada bilang, dia akan menunjukkan bahwa mereka berdua telah salah memilih lawan. *** "Ikut abang, nggak?" Dahi Vanessa mengerut. "Ke mana? Ngapain?" "Seruni, kan, ulang tahun. Kamu diun—" "Bisa-bisanya Abang ngajak Eca ke sana? Abang mau bikin Eca darah tinggi?" Suasana hati Vanessa yang sejak pagi dibuat semenyenangkan mungkin anjlok begitu saja. Hatinya tidak pernah terbiasa ketika nama Seruni disebut. Bahkan dua tahun setelah pertunangan mereka. "Sampai kapan, Ca?" Vanessa bersumpah, dia melihat tatapan Mario berubah sendu. Tatapan yang mampu membuatnya luluh. Meski dengan berat hati, perempuan itu menyetujui untuk datang ke pesta ulang tahun Seruni. Dengan mengenakan salah satu gaun malam terbaiknya, Vanessa melangkah anggun di samping Mario. Tangan kanan melilit pada lengan kiri sang kakak, sedangkan tangan kiri membawa bungkusan kado berukuran tidak lebih besar daripada ukuran tangannya. Meskipun terpaksa, dia tidak ingin mencoreng mukanya sendiri dengan datang tanpa membawa kado. Dari jarak beberapa meter, Vanessa melihat Seruni melambaikan tangan dengan senyum lebar terpatri di wajahnya. Senyum yang tidak pernah disukai perempuan itu. Senyum yang membuatnya merasa menjadi perempuan paling jahat di muka bumi. "Selamat ulang tahun, Mbak," ujar Vanessa begitu mereka berhadapan. Lalu, menyerahkan kado di tangannya. Seruni melirik Mario sekilas, lalu mengambil alih kado tersebut dari tangan Vanessa. "Terima kasih, Ca." Vanessa ingin mengoreksi panggilan yang disematkan Seruni, karena baginya, panggilan itu khusus keluarganya. Bahkan Karin yang sudah menjadi kakak iparnya pun tidak pernah dia izinkan untuk memanggilnya Eca. Namun, niat itu diurungkan. Tidak ingin menjadi perusak kebahagiaan orang lain di hari ulang tahunnya. "Sama-sama," jawabnya singkat. Tanpa senyuman. Mario tidak ingin membiarkan keadaan canggung itu berlarut-larut. Jadi, dia mengajak Seruni untuk menikmati alunan musik sambil berdansa. Vanessa mendengkus. Sulit sekali rasanya melihat sisi baik Seruni Gemilang. Bukannya tidak pernah mencoba untuk bersikap lebih ramah. Vanessa bersumpah, dia sudah berusaha. Namun, perasaan seseorang tidak bisa dipaksakan. Sekuat itu mencoba, sekuat itu pula hatinya menolak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN