Argh—kepalaku pusing sekali!
Rasanya seperti ada yang menghantam kepalaku dengan batu bata. Sekujur tubuhku ngilu seakan aku tidur di atas semen kasar dan bukannya di atas ranjang yang empuk. Walaupun mataku terasa berat, aku tetap mencoba untuk terbangun.
Sial.
Aku memang tidur di atas semen kasar. Semen kasar sepetak yang dikelilingi jeruji besi mengepung.
Astaga, ini penjara—atau penjara bawah tanah lebih tepatnya, karena sejauh mata memandang aku tidak bisa menemukan keberadaan jendela!
Bernafas, Kiera. Bernafas…
Kegelapan menyelimuti. Bukan kegelapan yang membutakan, tapi cukup untuk membuat aku kesulitan untuk menghirup oksigen. Sebuah lampu redup bertengger di luar koridor, memperlihatkan deretan bilik penjara kosong lainnya di depanku.
Kepalaku terlalu berdenyut untuk mengingat kenapa dan bagaimana aku bisa berakhir di tempat ini, tempat mengerikan dan bau ini—ugh, baunya menyengat dan menjijikkan, seperti bau mulut.
Aku menjilat punggung tanganku dan mengendusnya—sialan, ini bau jingongku!
Baunya seperti alkohol, tapi lebih menjijikkan lagi. Seperti bau... racun?
"Akhirnya kau bangun juga." Ucap sebuah suara berat di dekatku."Aku hampir mati kesepian karena tidak punya teman berbicara."
Tubuhku mendadak membeku. Aku menoleh ke sumber suara, pada sel penjara di sebelahku. Bulu kudukku meremang.
Suara itu milik seorang pria. Dari pencahayaan yang minim, aku bisa melihat sisi wajahnya hancur dan penuh luka segar. Kedua tangannya terikat dengan rantai, memaksa dirinya untuk berdiri. Ada banyak sayatan di sepanjang tubuhnya yang masih menetes darah.
Seketika rasa takut menggerogoti tulangku. Diperlukan seluruh akal sehat untuk tidak berteriak dan memuntahkan isi perut.
"Siapa kau?" Jangan menangis, Kiera. "Kenapa aku di sini?"
"Harusnya aku yang bertanya itu padamu, Nona." Lelaki itu terbatuk dan mengeluarkan darah segar dari mulutnya, "Dosa apa yang telah kau perbuat hingga berakhir di tempat mengerikan ini?"
Sekuat tenaga aku mencoba untuk tidak memperhatikan percikan darah di dekatnya secara berlebihan, tapi aku tidak bisa menghentikan diriku. Jantungku berdegup begitu kencang hingga bernafas pun susah sekali.
Tidak pernah dalam 28 tahun hidupku, aku melihat pemandangan semengerikan ini—setidaknya tidak secara nyata, hanya melalui film-film horor yang kutonton setiap malam jum'at.
Tunggu. Apa ini mimpi?
Ya, Ini pasti hanya mimpi. Mimpi buruk yang akan segera lenyap setelah aku membuka mata. Aku hanya perlu membuka mata dan semua hal mengerikan ini akan sirna.
Aku menampar wajahku—sialan, sakit sekali!
Lelaki itu tertawa dan terdengar begitu mengerikan, "Kau terlihat seperti sedang shock berat. Aku benci menjadi orang yang harus mengatakan ini padamu. Tapi Nona, ini bukan mimpi. Ini nyata. Kau berada di penjara bawah tanah. Saran dariku adalah sebaiknya kau mulai mengingat kejahatan apa yang telah kau perbuat sebelum Azrael Leviathan Pereira membunuhmu."
Itu dia!
Nama itu terdengar familiar: Azrael Leviathan Pereira.
Dan begitu saja, kejadian beberapa hari lalu berputar seperti adegan film horor di kepalaku. Tubuhku terasa seperti akan ambruk meskipun saat itu aku masih terkapar lemah di lantai semen kasar. Aku bisa merasakan perlahan nyawaku meninggalkan tubuhku.
"Aku mencuri." Lirihku, mengakui.
"Kau di sini karena kau mencuri? Dari Azrael?" Pria itu terdengar kebingungan, "Apa yang membuat gadis cantik sepertimu harus mencuri dari sang iblis? Apa kau sungguh senaif itu untuk berurusan dengan pria kejam sepertinya dan berharap bisa kabur dari konsekuensi mengerikan setelahnya?"
Sang iblis? Siapa yang dia bicarakan?
"Aku tidak bermaksud untuk mencuri. Tapi aku tidak punya pilihan—"
"Itu yang semua pencuri katakan jika mereka tertangkap." Cibir pria itu, penuh sindiran.
"Aku bersumpah, aku tidak bermaksud!"
Pada akhirnya, aku menemukan tenaga untuk berdiri dan mendekat padanya. Syukurnya, penglihatanku buram karena air mata yang menumpuk. Jika tidak, aku mungkin tidak dapat melihat kondisi pria malang itu tanpa memuntahkan isi perut.
"Dia meninggalkan Black Card di konter aku bekerja. Aku hendak mengembalikannya, sungguh. Tapi aku butuh uang untuk membayar tagihan rumah sakit. Jika aku tidak mendapatkan uang itu segera, adikku akan mati." Air mataku mulai berjatuhan, tapi cepat-cepat kutepis sebelum menyentuh pipiku, "Aku tahu aku tidak seharusnya mencuri darinya. Dan aku sudah ikhlas dengan semua konsekuensi yang akan kutanggung karena perbuatanku. Tapi dia seharusnya melaporkan diriku ke polisi, bukan menyekap aku di penjara bawah tanah ini!"
"Dia?" Pria itu terdengar semakin bingung, "Apa kau yakin kita membicarakan orang yang sama, Nona?"
"Azrael Leviathan Pereira. Politisi muda yang sedang naik daun itu, kan?"
"Oh, gadis yang malang." Lagi, lelaki itu tertawa dan terdengar mengerikan. "Azrael bukan politisi biasa. Dia bahkan bukan politisi sungguhan. Satu-satunya alasan kenapa iblis itu mencalonkan diri menjadi Gubernur San Myshuno adalah untuk memonopoli pemerintahan agar dia bisa bebas menjalankan bisnis ilegalnya. Iblis itu adalah—"
Ucapan pria di sel tahanan sebelahku terpotong oleh dentuman pintu besi yang menciptakan bunyi nyaring yang mencekam. Jantungku hampir melompat keluar.
Seorang pria berbadan besar muncul dari balik pintu. Pria itu mengenakan setelan jas serba hitam dari ujung kaki hingga ujung kepala. Tidak ada satu rambut pun yang tumbuh di atas kepala besarnya. Dan begitu saja, aku ingat kenapa aku bisa berakhir di sini.
Pria botak itu membekap mulutku dengan serbet yang punya bau menyengat!
"Hey, botak!" Aku menghambur ke arahnya. Mencengkram jeruji besi hingga jemariku memutih, "Lepaskan aku dari sini!"
Pria botak itu berdesis, "Sttt! Jangan berisik jika kau masih ingin hidup, cantik."
Sekarang aku sungguhan ingin muntah mendengar panggilan menjijikkan darinya. Berbagai macam sumpah serapah bergumul di ujung lidahku, bersiap menyemprot ke wajah si botak. Lalu sesuatu menghentikanku.
"Well, Well, Well. Lihat siapa yang akhirnya memutuskan untuk berbicara."
Suara itu berasal dari balik pintu, dari seorang lelaki yang bisa mencuri nafasmu hanya dengan penampilannya.
Azrael Leviathan Pereira, memasuki tempat mengerikan ini dengan penuh keagungan. Dari ujung kaki hingga ujung kepala, dia terlihat bersinar. Setelan navy dengan les putih halus membungkus tubuh kekarnya dengan tidak adil—bagiku dan bagi semua wanita yang punya mata.
Azrael terlihat seperti iblis yang akan membuatmu rela memberikan jiwa dan raga untuk mencicipi sedikit saja kulit sempurnanya. Atau bibir merahnya yang menggoda. Atau hidungnya yang seperti pahatan. Atau rahang tajamnya yang mampu mengiris hati gadis mana pun.
Iblis itu mendekati sel tahanan pria di sebelahku. Mata hitamnya mematikan, "Kukira selama ini kau belum memberikan informasi yang ingin kudengar karena kau bisu. Tapi begitu aku menempatkan seorang gadis di sebelahmu, kau jadi cerewet sekali. What a pig!”
Pria itu menaikkan dagunya dengan sombong, "Aku tidak akan mengatakan apa-apa padamu, ibli—"
Dor!
Aku berteriak. Sangat keras hingga dadaku sesak. Semuanya terjadi begitu cepat. Aku bahkan tidak melihat kapan Azrael mengeluarkan revolver dari holster di pinggangnya. Dia bergerak begitu cepat, terlalu cepat. Seperti… seperti pembunuh berdarah dingin yang sudah melakukan hal ini beratus kali.
Lalu begitu saja, semuanya jadi masuk akal.
Oh, Tuhan. Apa aku telah mencuri dari seorang pembunuh? Apa itu alasannya pria malang di sebelahku begitu kebingungan ketika tahu alasan aku berada di penjara mengerikan ini adalah karena mencuri?
"Kenapa tidak ada yang percaya padaku jika aku bilang aku pria yang menepati janji." Azrael memasukkan revolver-nya kembali pada holster di pinggangnya. Dengan begitu dingin dan santai, seolah dia tidak baru saja menghilangkan nyawa seseorang.
"Aku sudah bilang padamu aku hanya akan memberimu satu kesempatan untuk menjawab pertanyaanku dengan benar atau aku akan membawamu bertemu dengan ajalmu." Katanya, pada lelaki tidak bernyawa seolah lelaki itu akan membalas ucapannya, "Tapi sayang sekali, jawabanmu salah."
Isi perutku pada akhirnya tumpah ke lantai. Tubuhku gemetar hebat. Ketakutan akan nasib sial yang telah menimpaku, sekaligus merasa jijik karena apa yang baru saja aku saksikan.
"Sekarang giliranmu." Azrael berhenti tepat di depan selku dan mendadak aku lupa bagaimana cara bernafas, "Bukan hanya telah mencuri $150.000 dariku, tapi kau juga mengotori lantaiku. Karena ulahmu, pengawalku yang baik ini harus membersihkannya."
Dia tersenyum licik ke arahku, menyerupai iblis sungguhan. Aku ingin meludahi wajah tampannya. Sungguh, aku ingin. Jika saja tubuhku bisa berhenti gemetar.
"Kenapa kau membunuh pria itu?” Alih-alih, aku mencicit seperti tikus yang ketakutan, “Siapa kau sebenarnya?"
"Dia?" Azrael melirik pria tak bernyawa dengan senyum kebanggaan, seolah sedang mengagumi karya seninya, "Dia terlalu jelek. Aku mual melihat wajahnya." Ketika mata hitam mematikannya kembali padaku, saat itulah tubuhku berhenti gemetar, "Dan aku? Aku adalah penyesalan terbesar yang pernah terjadi di hidupmu karena berani menggunakan identitasku untuk membayar tagihan rumah sakit adikmu."
Pada akhirnya, aku memberanikan diri untuk meludahi wajah tampannya, "Lepaskan aku dari sini!”
Azrael hanya diam, tidak tersentak seperti yang kuharapkan. Tidak terkejut, tidak pula terlihat seperti akan mengamuk. Alih-alih, setelah tiga detik penuh yang terasa seperti berjam-jam mengawasiku dengan mata hitamnya yang mematikan, sudut bibirnya tertarik membentuk seringaian yang membuatku menyesali apa yang baru saja kulakukan.
Amarah menguasaiku ketika Azrael menyebutkan adikku. Itu lah alasan kenapa aku melakukan apa yang baru saja kulakukan. Sekarang, aku tidak tahu lagi. Aku berharap, jika iblis ini mengambil nyawaku, dia mengambilnya dengan cepat.
“Damn.” Hanya itu yang ia katakan selama beberapa saat. Dia lebih terdengar terpukau daripada marah.
Jemarinya bergerak ke saku celana. Aku bisa merasakan jantungku nyaris melompat keluar. Aku memejamkan mata erat-erat. Menarik nafas terakhir. Memantapkan diriku untuk merasakan pahitnya kematian.
Untuk beberapa saat tidak ada yang terjadi. Satu-satunya yang kudengar adalah tawa singkat darinya.
“Tenang. Aku tidak akan membunuhmu.”
Huh?
Ketika aku membuka mata, Azrael tersenyum licik ke arahku sembari membersihkan saliva dari wajahnya dengan serbet. Baru saat itu aku bisa kembali bernafas.
Azrael melanjutkan, “Maksudku belum. Mungkin nanti saat aku sedang mood.”
Oh, Tuhan. Apa dia sengaja melakukannya? Sengaja… mempermalukanku?
Lelaki malang itu benar. Azrael Leviathan Pereira bukan manusia. Dia iblis, iblis kejam yang mempermainkan mangsa sebelum membunuhnya.
“Kau iblis. Kau... kau sungguhan iblis. Apa yang kau inginkan dariku?”
Ucapanku menciptakan senyum penuh di wajahnya, “That's right. Aku memang iblis. Tapi kau juga akan menikahi iblis ini, little thief."
Wait... WHAT?!