11. Dinner at Pereira's (5): "Anything for the future Mrs. Pereira."

1175 Kata
"What's your name child?" Tuan besar Gabriel Pereira bertanya pertanyaan paling sederhana. Dan mendadak aku lupa apa jawabannya. Bukan karena pria itu memiliki paras yang menyeramkan. Tuan besar Gabriel Pereira justru dianugerahi genetik yang sangat sempurna hingga dirinya terlihat menawan untuk pria di usianya. Tapi ada sesuatu padanya yang membuat jantungku berdebar dengan tidak nyaman. Sesuatu yang menakutkan. "Namaku Kiera, Mr. Pereira." Pada akhirnya, aku berhasil menjawab tanpa gemetar, "Kiera Grace Harlow." "Kau boleh memanggilku Gabriel saja, nak." Sahutnya, dari kepala meja. "Bagaimana pun, kau akan menjadi bagian dari keluarga ini." Pereira's Mansion punya ruang makan yang begitu luas, hampir dua kali lebih luas dari Azrael's Mansion—yang artinya dua kali lebih mengintimidasi. Interior gaya Rustic membuat ruangan ini terasa hangat, tapi dalam waktu bersamaan terasa dingin mencekam dikarenakan banyaknya dinding kayu yang dipoles dengan warna coklat tua. Terlebih meja makan ini—kenapa ukurannya begitu lebar hingga bisa menampung setidaknya dua puluh orang? Orang kaya raya memang sangat tidak masuk akal. "Apa tidak sebaiknya kita menunggu ibu?" Celetuk Tuan muda, Michael Demian Pereira dari kursi seberangku. Putra kedua Pereira itu duduk di sebelah kiri sang ayah, sedangkan Azrael Leviathan Pereira duduk di sebelah kanannya—di sebelahku. "Ibumu terlalu sibuk dengan suami barunya yang menyedihkan itu." Gabriel tidak terdengar senang, "Kau tahu betapa aku sangat tidak suka orang yang terlambat, Michael. Jadi, tidak—kita tidak akan menunggu ibumu." Micheal mengangguk masam. Azrael di sebelahku tidak menunjukkan ekspresi apa-apa, selain kebencian yang mendarah daging di mata hitamnya sejak sang ayah tiba. Sesuatu yang bau tercium dari keluarga ini. Aku perlu menggali—mungkin berguna sebagai senjata melawan kampanye Azrael nanti. Beberapa pelayan—lebih dari delapan orang—masuk dari empat pintu di masing-masing ruangan, membawa hidangan yang asapnya masih mengepul. Mereka semua terlihat seperti robot—pakaian pelayan hitam-putih seragam, gestur tubuh yang kompak, dan senyum sumringah yang lebih terlihat menyeramkan daripada ramah. "Oh, Miss Kiera," Suara berat Gabriel hampir membuat jantungku melompat, "Aku baru ingat, aku tidak tahu bagaimana cerita kau bertemu dengan putra sulungku. Apa kau keberatan untuk menceritakannya padaku, nak?" Sial. Ya, aku keberatan. Azrael dan Michael tidak mempersiapkan aku dengan cerita bohong ini. Apa yang harus kukatakan?! Azrael berdehem dari sebelahku, "Kami bertemu di—" "Selalu menjawab saat tidak ada yang bertanya padamu." Gabriel memotong, senyum keji di bibirnya, "Apa kau akan sangat ingin menjadi pahlawan, son?" Dari bawah meja, aku bisa melihat jelas betapa kuat Azrael mengepal tinju. Wajahnya keras, tatapannya membunuh. Entah keberanian dari mana, aku meletakkan jemariku pada tinjunya. Ia terlonjak dalam genggamanku. Mata hitamnya menoleh penuh kebingungan. Aku tersenyum lembut padanya, "Tapi putramu memang pahlawan, Gabriel—well, setidaknya Azrael adalah pahlawanku." Aku menoleh pada Gabriel—yang sama sekali tidak terlihat puas, "Ayah dan ibuku meninggal saat aku masih kecil. Beliau memang meninggalkan warisan yang cukup untuk membiayai kehidupanku dan adikku seumur hidup. Tapi uang adalah bisnis yang menjebak. Jika hanya didiamkan, mereka akan habis sendiri dimakan inflasi." "Jika aku tidak bertemu dengan putramu, aku mungkin tidak akan berani memulai untuk menempatkan uangku di tempat yang tepat." Aku menambahkan, memandangi wajah iblis di sebelahku sambil mencoba untuk mempertahankan senyum, "Azrael lah yang mengajariku hal-hal yang perlu kuketahui tentang investasi dan bisnis. Dia sangat sabar menghadapi murid awam dan t***l sepertiku." Dua detik penuh Azrael menganga—sangat memuaskan melihat itu—sebelum sang iblis membawa jemariku ke bibirnya, melayangkan sebuah kecupan lembut, "Anything for the future Mrs. Pereira." Di luar prediksi, kecupan sandiwara itu punya efek yang cukup mengganggu. Merasakan bibir lembut Azrael menyentuh kulitku ketika mata hitam itu mengunci tatapanku—oh, Tuhan, panas sekali ruangan ini. Aku mencoba menarik tanganku dari genggaman Azrael, tapi iblis itu tidak membiarkannya. Berusaha mengalihkan tatapanku—kemana saja asal tidak pada sepasang mata yang membuat tubuhku panas dingin—aku tidak sengaja menangkap Michael tersenyum geli sambil mengacungkan jempol sekilas. Gabriel berdehem tajam, "Apa kau berencana untuk memulai bisnis, Miss Kiera?" "Ya, masih rencana." Kataku, sejujurnya. "Aku ingin memulai bisnis yang sesuai dengan hobiku, yaitu memanggang roti. Banyak yang bilang, menggabungkan bisnis dan hobi bisa sangat menjebak. Namun, tidak ada yang membuatku lebih bersemangat dari memikirkan bisa mengelola bakery milikku sendiri. Bukan bisnis yang berkelas seperti property atau menjual pesawat jet, tapi setidaknya aku akan menyukainya." Aku menoleh pada Azrael, menahan gejolak untuk memutar mataku saat mengatakan, "Seperti aku menyukai putra sulungmu." Iblis itu tersenyum puas, tapi di saat bersamaan menatapku teduh. Aku mungkin agak teler, tapi entah kenapa dia terlihat terpukau. Sangat mustahil, Kiera. Kau memang sedang teler! "Menurutku membuka bakery bukan rencana yang buruk, nak." Gabriel mangut-mangut. Aku hampir tersanjung dengan ucapannya, hingga dia melanjutkan, "Well, sudah selayaknya istri berada di dapur. Biarkan pria mengerjakan bisnis berat sebagai kepala keluarga." Jika Azrael tidak menggenggam tanganku, aku pasti akan menggebrak meja. "Jika calon istriku ingin membuka bisnis pesawat jet sekali pun, aku tetap akan mendukungnya." Azrael terlihat ingin tertawa saat mengatakan itu. Ekspresinya sedikit menghibur dan berhasil meredamkan amarahku. "Jadi, kau ingat menamakannya apa?" Tanya Azrael. Mata hitamnya memandangiku. "Huh?" "Nama untuk bakery yang ingin kau kelola—kau sudah memikirkannya?" Bohong jika aku bilang belum. Sejujurnya, aku memang punya ambisi untuk membuka bakery—jika dana pendidikan adikku dan hutangku sudah terpenuhi. "Well, namanya agak kanak-kanakan, tapi aku terpikir untuk menamainya Radio Bread. Terinspirasi dari band kesukaanku, Radiohead." Pipiku mulai bersemu ketika Azrael tersenyum geli. "Jangan dulu menghakimi!” Aku mempelototinya, “Aku bersumpah idenya tidak seburuk itu." Pelototanku hanya membuat Azrael tersenyum semakin lebar. Iblis itu memiringkan tubuhnya, sehingga menghadapku sepenuhnya. Satu tangannya ia gunakan untuk menopang dagu, memperhatikanku dalam-dalam. Jika dia melakukannya untuk membuatku gugup—well, dia berhasil. Aku meneguk ludah sebelum melanjutkan, "Aku berpikir tema dengan dekorasi Vintage—termasuk kotak musik kuno yang harus diisi koin untuk memutar lagu, seperti lagu lawas yang punya kesan nostalgia...." "That's a wonderful idea, love." Azrael mencondongkan wajahnya untuk mengecup pipiku pelan, lalu berbisik, "Bravo, little thief." Apa dia baru saja mengecup pipiku? Apa dia baru saja memanggilku ‘love’ dan mengecup pipiku dan membuat jantungku berdebar kencang? Aku tidak tahu berapa lama aku terdiam dengan pipi yang terasa panas. Atau kapan arwahku melayang dari tubuhku. Atau berapa lama aku memandangi Azrael yang memandangku gemas sembari menggigit bibir bawahnya. Aku tersentak dari lamunanku ketika mendengar deheman keras. Asalnya dari kursi seberangku, tepatnya berasal dari Michael yang mengulum senyum. Bangun, sialan. Ini hanya sandiwara! "Well, jika kau butuh bantuan atau saran atau apa pun, jangan segan-segan untuk datang padaku, nak. " Ucap Gabriel, dengan senyum yang dipaksakan, "Tidak seperti calon suamimu yang membuang-buang keahliannya dengan bergabung ke pemerintahan, aku adalah pria yang menekuni bisnis dengan serius." Senyum geli di wajah Azrael menghilang. Iblis itu menarik dirinya sepenuhnya dariku. Wajahnya kembali kusut—masam lebih mendekati. Di saat bersamaan, rahangnya keras dan kaku. Aku tidak suka saat dia seperti itu. "Oh, itu adalah kesempatan yang sangat kunantikan, Gabriel." Dari bawah meja, aku menggapai jemari Azrael dan menggenggamnya, "Tapi untuk sekarang, putramu cukup untukku." Ketika mata hitam itu menoleh padaku, aku melihat sesuatu yang belum pernah kulihat sebelumnya. Tidak mungkin. Aku pasti sudah gila.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN