"Saya harus katakan kalau Nona Yasmine orang yang luar biasa. Masih muda tapi sudah menghandle bisnis yang luar biasa."
Awalnya aku pikir aku tak akan cocok dengan Yasa. Aku bukan orang yang suka menilai orang dari kesan pertama saja. Tapi Yasa awalnya tak begitu menarik perhatianku. Tapi setelah berbincang dengannya, ternyata Yasa orang yang cukup menyenangkan untuk diajak berbincang. Ya setidaknya kami cocok membahas masalah bisnis.
"Apa saya boleh bertanya tentang hobi anda Nona Yasmine?"
"Panggil Yasmine saja. Tidak perlu pakai Nona. Itu sedikit tidak nyaman."
"Oh oke baiklah. Kalau begitu lebih baik panggil saya Yasa saja. Rasanya tua sekali kalau pakai Bapak."
Oke. Terserah.
"Dan sebaiknya kita bicara dengan lebih nyaman. Tidak perlu terlalu formal." Aku menambahkan. Yasa sepertinya setuju.
"Baiklah. Jadi apa saya boleh tau hobi kamu Yasmine?"
"Saya suka melukis dan traveling."
"Oh ya? Wow. Saya sangat kagum pada orang yang bisa melukis."
"Saya hanya suka, tidak terlalu bisa melukis sebenarnya."
Yasa mengangguk-anggukan kepalanya. "Apa kamu sudah lama terlibat dalam dunia fashion? Maksud saya terlibat langsung dalam kegiatan fashion show seperti ini."
"Hmm lumayan. Dari saya kuliah."
Obrolan kami terus berlanjut. Pembahasan kami tak jauh dari pekerjaan. Yasa banyak sharing tentang pengalamannya selama dia tinggal di luar negeri. Sepertinya kami akan cocok karena kami punya pola pikir dan sudut pandang yang sama. Tak hanya pintar, Yasa juga punya selera humor yang bisa aku pahami.
"Bisa dibilang saya kembali ke Indonesia ini karena dijebak."
Aku sontak tertawa. Bukan sesuatu yang mengejutkan sebenarnya. Mrs Lantawi sudah mengatakan sebelumnya kalau putra bungsunya ini memang susah sekali diminta kembali ke Indonesia.
Aku sudah hampir selesai makan. Yasa juga sepertinya sudah hampir selesai. Awalnya Yasa ingin menikmati dessert di restoran ini yang memang terkenal. Tapi karena ada urgency, kami harus segera kembali ke tempat tadi. Tapi siapa sangka aku justru bertemu dengan seseorang yang tak pernah aku sangka akan aku lihat di tempat ini. Sebenarnya di manapun aku tak pernah berpikir akan bertemu dengan pria ini.
"Mas Reon.." aku menelan ludah. Aku benar-benar terkejut. Pria tinggi dengan perawakan yang semakin dewasa itu tersenyum. Sepertinya dia sama terkejutnya seperti diriku. Tapi Mas Reon lebih tenang.
"Hai Yasmine."
Yasa memandangiku dan selama beberapa detik tatapan kami terkunci.
"Oh iya Yasa, ini.." aku terdiam sesaat, kembali menatap Mas Reon. "Mas Reon, teman lama saya."
Mas Reon mengulurkan tangannya dan disambut langsung oleh Yasa.
"Yasa.."
"Reon."
Otakku blank dan tak bisa berpikir.
"Maaf, boleh saya bicara dengan Yasmine sebentar?" suara Mas Reon menarikku dari lamunan. Yasa mengangguk kemudian pergi lebih dulu. Ia tinggalkan aku dan Mas Reon di depan pintu masuk. Kami menyingkir agar orang bisa lewat.
"Mas sejak kapan di Indonesia?" akhirnya aku bisa kumpulkan keberanian untuk bertanya.
Mas Reon tersenyum. "Hmm udah hampir dua minggu."
"Ngapain di Indonesia?"
"Ada kerjaan. Yasmine apa kabar?" Inilah Mas Reon. Dia tak pernah menggunakan kata kamu padaku. Dia selalu memanggilku dengan nama.
"Baik, Mas." Aku kembali menelan ludah. Ya Tuhan, ternyata mau disiapkan bagaimanapun nyatanya aku tak akan pernah siap jika bertemu lagi dengan Mas Reon.
"Keluarga apa kabar? Shawn baik? Oh iya, Mas dengar dari Adam dia udah nikah ya. Selamat, Mas ikut senang dengernya."
Aku mengangguk. "Keluarga baik, Mas." aku memandangi Mas Reon lama. "I-istri Mas apa kabar?"
Mas Reon tak langsung menjawab pertanyaanku. Entah apa yang membuat dia terdiam. Hanya saja Mas Reon terlihat tenang.
"Kita cari waktu lain ya Yasmine untuk ngobrol. Sekarang sepertinya kurang tepat," Mas Reon menoleh ke luar jendela, di sana ada Yasa yang sedang menungguku. Aku menghembuskan napas pelan.
"Nanti Mas hubungi Yasmine lagi. Itu temannya udah nunggu."
Aku menarik napas dalam. "Iya, Mas."
Aku meninggalkan Mas Reon dengan perasaan yang tak bisa aku jelaskan. Entahlah. Aku pikir aku hanya terkejut saja karena bertemu secara tak sengaja dengannya. Tapi ternyata aku masih memikirkan Mas Reon sampai malam.
...
Hari ini cuaca tidak terlalu bagus. Sejak pagi sudah mendung.
"Tapi belum tentu benar. Namanya juga gosip." aku tak sengaja mendengar pegawaiku berbincang.
"Tapi Mas Aldebaran kan nggak pernah kena gosip, say. Kalau sampai kali ini ada gosip kan bisa aja beneran."
Ada apa ini? Kenapa mereka menyebut-nyebut nama Al? Ada apa dengan Al?
"Gina."
"Eh iya, Buk." Gina langsung sigap saat aku memanggilnya. Dia terlihat terkejut melihatku.
"Tolong cek ini ya." aku menyerahkan sebuah berkas pada pegawaiku itu. Aku kembali ke ruanganku, kemudian melanjutkan pekerjaan. Tapi aku jadi kepikiran pada apa yang pegawaiku tadi bicarakan. Aku membuka sosial media dan mencari nama Aldebaran. Tak disangka aku menemukan apa yang aku cari karena memang nama Aldebaran sedang nangkring di berita teratas akun gosip.
"Aldebaran ketahuan keluar dari sebuah apartemen bersama seorang wanita. Apakah itu pacar Aldebaran?" aku membaca caption yang tertulis pada foto itu. Di dalam foto tampak dua orang tengah berbicara di basement. Mungkin pria itu Al. Yang membuat berita ini meyakinkan adalah karena si pria memakai pakaian yang agak tertutup seolah dia memang sedang bersembunyi. Tapi tunggu, sejak kapan Al keluar dengan pakaian seperti ini? Setahuku Al tak pernah sembunyi-sembunyi dalam melakukan apapun. Selama inipun dia kerap keluar dengan Nata secara terang-terangan. Justru aneh karena selama ini media tak pernah memberitakan mereka padahal mereka tak pacaran secara sembunyi-sembunyi.
Tapi tunggu. Aku terpaksa menyipitkan mata untuk melihat foto itu lebih jelas. Aku seperti mengenali pakaian itu. Tunggu... HAH?! Ya Tuhan, itu kan aku!
Aku memperbesar foto itu untuk memastikan kalau yang ada di sana adalah aku. Itu memang aku dan Al. Astaga. Itu memang Al. Pria dengan pakaian tertutup itu. Itu kan beberapa hari lalu saat aku menginap di tempat Al karena dia demam. Kejadian di foto itu adalah pagi saat Al mengantarku ke mobil. Wajah Al sedikit memerah hari itu karena ternyata alerginya kambuh, itulah kenapa Al memakai pakaian yang tertutup terutama di bagian wajahnya. Aku juga hari itu memakai baju Al karena tak punya pilihan lain. Aku tak bisa langsung pulang ke rumah karena harus bertemu klien pagi sekali di bandara karena ia akan kembali ke Jerman pagi itu.
Siapa yang mengambil foto ini? Lagipula sejak kapan mereka menjadi begitu kepo pada kehidupan seorang sutradara? Bukankah yang biasa dikuntit itu artis? Al bukan artis kan?
Aku membaca postingan lainnya yang hampir serupa. Ada berbagai macam komentar di sana. Aku tak terlalu membacanya karena memang tidak berminat. Aku lihat-lihat media dan netizen Indonesia sudah hampir seperti netizen Korea Selatan. Aku tahu Al punya beberapa klub penggemar. Mungkin sekarang mereka sedang kepanasan.
"Astaga. Apa lagi ini?"
Drrtt.. drttt.. getar ponsel menarik perhatianku. Aku segera menjawab telfon itu.
"Mas Reon?" aku terkejut saat mendengar suara orang di seberang. Aku memeriksa lagi ponselku, memastikan kalau yang menelfon memang Mas Reon. Dan ternyata benar. Tadi aku sedang tidak fokus jadi tak memeriksa siapa yang menelfon.
"Halo Mas.."
"Yasmine di mana? Ada waktu hari ini?"
"Hmm di kantor, Mas. Ada."
"Bisa ketemu bertemu?"
Aku terdiam sesaat. "Bisa, Mas."
...
Aku memasuki restoran dan Mas Reon sudah di sana. Dia sedang memainkan ponselnya.
"Maaf lama."
"It's ok," dia tersenyum. Aku mengambil tempat duduk di depan Mas Reon. "Yasmine mau makan apa? Sama?" Sama? Sebuah pertanyaan biasa yang punya efek tak biasa.
Aku berikan Mas Reon anggukan. Ia memanggil pelayan kemudian membuat pesanan untuk kami berdua. Aku memperhatikan Mas Reon tanpa sadar. Kemarin sekilas aku lihat Mas Reon tampak lebih dewasa. Hari ini saat aku bisa melihatnya dengan lebih jelas dan dalam kondisi hati yang lebih tenang, dia memang terlihat semakin dewasa. Kaca mata yang bertengger di atas hidung mancungnya membuat Mas Reon terlihat lebih berwibawa. Padahal seingatku dulu dia tidak seperti ini.
Sejujurnya Mas Reon sama sekali tidak cocok dengan image dewasa. Ya dulu aku berpikiran begitu. Tapi kini melihatnya dalam balutan tampilan dewasa seperti ini cukup membuat aku terpesona. Jangan salah paham.
"Berapa lama Mas di Indonesia?"
"Hmm belum bisa memastikan. Tapi sepertinya akan cukup lama. Dua sampai tiga bulan."
Aku manggut-manggut.
"Bagaimana pekerjaannya? Sudah lama kita tidak bertemu."
Aku pandangi pria di depanku itu. "Hmm, lancar alhamdulillah. Iya. Sejujurnya aku nggak nyangka bakal ketemu Mas, kayak gini."
Mas Reon tersenyum simpul. "Mas juga nggak nyangka bakal ketemu Yasmine kayak gini."
"Istri Mas apa kabar?" aku kembali ajukan pertanyaan itu. Untuk hubungan kami dulu, aku pikir aku berhak menanyakan pertanyaan ini.
Kembali, ada jeda panjang sebelum Mas Reon menjawab pertanyaanku. Sepertinya telah terjadi sesuatu.
"Kami sudah berpisah."
Aku hampir tersedak minumanku. Apa?
"Sudah satu tahun."
"Tidak apa-apa. Yasmine tidak perlu sungkan. Kami berpisah secara baik-baik," Mas Reon menjelaskan dengan tenang seolah memang begitu adanya. Aku ingat dulu Mas Reon pernah mengatakan padaku kalau pernikahan tak cocok dengannya. Tapi kemudian Mas Reon meninggalkan aku dan lalu aku mendengar kabar kalau menikah dengan wanita lain. Hubungan kami berakhir begitu saja. Tapi aku tak menyalahkan Mas Reon karena dia memang tidak salah.
"Yasmine masih bertemu dengan Adam?"
Aku mengangguk. "Kebetulan pacar Adam temannya teman aku, Mas."
"Oh ya? Mas dengar Pane juga sudah menikah."
"Iya, Mas."
Makanan kami datang. Aku bersyukur karena itu bisa mengalihkan perhatianku sesaat. Entah kenapa aku merasa sedikit kepanasan padahal cuaca di luar sedang mendung.
"Sudah lama Mas tidak bertemu dengan teman-teman Yasmine." Mas Reon menjeda. Aku otomatis mengangkat wajah, memandanginya. "Apa Shawn masih membenci Mas?"
Untung aku belum menyuap makananku. Aku tak menyangka Mas Reon akan segamblang ini membahas soal Shawn. Itu sama saja dengan dia mengungkit tentang hubungan kami.
"Mas merasa harus bertemu dengan Shawn dan juga keluarga Yasmine, untuk minta maaf."
Aku meneguk minumanku. Aku hembuskan napas pelan. "Aku rasa nggak perlu Mas. Mas nggak salah apa-apa, ngapain minta maaf sama mereka?"
Mas Reon memperbaiki posisi duduknya. "Mas salah, Yasmine. Harusnya saat itu Mas nggak pergi gitu aja tanpa penjelasan."
Aku meneguk salivaku. Sungguh, ini bukan masalah aku sudah atau belum move on. Jangan pikir aku belum move on dari Mas Reon. Aku sudah tak punya perasaan padanya. Aku yakin soal itu. Tapi membicarakan masalah ini lagi adalah satu hal yang berbeda.
"Tapi Mas nggak yakin apa mereka mau bertemu dengan Mas."
"Mas kita makan dulu ya." Aku mengalihkan obrolan. Harusnya aku sudah siap jika kami membahas masalah ini karena sudah pasti hal ini akan dibahas jika kami bertemu. Kami tak mungkin bertemu hanya untuk say halo dan haha hihi.
Aku dan Mas Reon makan dalam diam. Aku tak tahu apa rasanya makananku. Enak memang tapi aku tak bisa menikmatinya. Harusnya aku tak ke sini tadi. Tapi sebenarnya sudah tak ada masalah apapun di antara kami. Saat itu juga aku masih terlalu muda kurasa. Jadi sudah pasti Mas Reon tak bisa menikahiku. Hanya saja cara dia meninggalkan aku dan menyudahi hubungan kami terasa tak benar.
"Kalau Mas boleh tahu apa Yasmine punya pacar?"
"Punya." itu bukan aku yang menjawab. Aku dan Mas Reon sontak menoleh ke sumber suara. Aku terperanjat karena terlalu kaget. Aku hampir menjatuhkan sendokku. Apa yang Al lakukan di sini? Kenapa dia bisa ada di sini? Aldebaran duduk di sampingku.
Kenapa dia rapi sekali?
"Al.."
Mas Reon dan Al saling pandang. Aku merasakan ketegangan di sini. Tapi beberapa saat kemudian aku lihat Mas Reon tersenyum simpul.
"Aldebaran.." sapa Mas Reon.
Mas Reon memandangi aku dan Al bergantian.
"Ngobrolnya udah selesai kan? Aku punya urusan sama pacar tercintaku ini." Al berikan senyum tipis pada Mas Reon. Ia kemudian menggenggam tanganku dan membawaku pergi begitu saja. Aku bahkan tak sempat pamit secara baik pada Mas Reon.
"Al!" aku menarik tanganku. Al akhirnya melepaskan tanganku begitu kami sampai di parkiran. "Lo kenapa sih?!"
Rahang Al mengeras. Aku tidak tahu kenapa tapi Al terlihat sangat marah.
"Ini nggak lucu!"
"Iya Yas ini nggak lucu sama sekali!"
Aku mengerutkan dahi.
"Bisa-bisanya lo ketemu sama dia!"
Aku hanya bisa bengong melihat Al marah. Al benar-benar marah. Al jarang sekali meninggikan suaranya seperti ini padaku. Pernah tapi tak seperti ini. Kali ini dia benar-benar terlihat marah besar. Apa aku sudah melakukan sebuah kesalahan besar?
"Apa salahnya gue ketemu sama Mas Reon? Gue--"
"Udah!" potong Al. "Masuk ke mobil sekarang. Gue nggak mau marah lebih dari ini sama lo." Al sepertinya berusaha keras menurunkan intonasinya meski itu justru terlihat lebih menakutkan. Wajahnya memerah dan aku lihat tangan Al mengepal dengan kuat.
"Yas, masuk."
Meski kesal pada Al, aku akhirnya menurut. Aku masuk ke dalam mobil. Aku perhatikan Al yang masih di luar. Al terlihat rapi sekali. Pakaiannya formal. Apa dia ada acara penting hari ini? Tapi kenapa bisa sampai di sini?
Al meremas rambutnya kemudian masuk ke dalam mobil.
"Jemput mobil saya di restoran X." Al menyalakan mobilku kemudian menekan pedal gas, meninggalkan restoran.
***