SH - 07

2240 Kata
Jalanan cukup macet hari ini. Aku pulang di jam yang tidak tepat sepertinya. Hari ini aku memang pulang lebih lama dari hari biasanya. Aku tidak tahu kenapa hari ini sangat macet sekali. Mungkin karena hujan.  Ponselku kembali berdering. Ini sudah dering ketiga dan aku tak perlu memeriksa siapa yang mencoba untuk bicara denganku sejak tadi. Meski ini sudah panggilan ketiga aku tetap memilih mengabaikan panggilan itu. Aku tak berniat menjawabnya. Deringnya berhenti dan tak ada dering lagi setelahnya. Ya, aku tahu itu. Tapi sudahlah.  Perjalanan yang panjang ini akhirnya selesai. Kami sudah memasuki pekarangan lingkungan tempat aku tinggal. Melewati rumah-rumah besar, akhirnya aku bisa melihat pagar tinggi rumahku. Aku sudah membayangkan akan tidur di kasurku yang empuk. Mobil memasuki pekarangan dan pandanganku langsung menangkap sesuatu yang aneh. Ada mobil yang sangat aku kenali terparkir di halaman rumah.  Apa Aldebaran sedang di rumahku?  Aku turun dari mobil dan memperhatikan mobil itu sebentar. Tak ada Al di dalam mobil itu artinya Al di dalam rumah. Kenapa dia di sini? Dia tidak datang ke rumah karena aku mengabaikan telfonnya kan? Ini tidak lucu sama sekali.  "Mbak Yasmine sudah pulang."  "Ada Al ya?"  "Nggak, Mbak."  "Itu ada mobilnya di depan."  "Oh tadi pergi sama Tuan Javier."  Jelas saja aku mengerutkan kening mendengarkan jawaban Mbok. "Pergi sama Papa? Ke mana?" Tumben sekali Al pergi dengan Papa. Ada urusan apa mereka di hari hujan begini?  Aku memilih untuk melanjutkan langkahku ke kamar, tak bertanya lagi tentang Al. Terserah lah dia mau ke mana dan ada urusan apa. Itu bukan urusanku. Sampai di kamar aku langsung mandi. Badanku terasa lengket dan tubuhku terasa sangat lelah sekali. Jadi setelah mandi istirahat adalah pilihan terbaik. Mungkin aku bisa tidur sebentar sebelum makan malam.  Musik mengalun. Awalnya tak ada niat untuk berendam di bath up. Tapi setelah berpikir aku akhirnya putuskan untuk berendam. Aroma strawberry menguar di dalam kamar mandi. Aroma kesukaanku. Tiba-tiba aku teringat pada kejadian kemarin malam.  "Astaga Yasmine. Kenapa harus ingat itu?" aku dengan cepat menghapus ingatan memalukan itu. Kenapa aku harus mengingatnya? Astaga Yasmine. Lupakan. Jangan diingat lagi. Aku berusaha keras melupakan kejadian saat Aldebaran menciumku. Tapi ingatan itu sepertinya nakal karena ia terlihat enggan untuk pergi.  "Al kampret. Kenapa sih pakai acara cium segala?" aku hanya bisa mengumpat saat mengingatnya. Aku akhirnya tak menyelesaikan ritual berendamku karena aku langsung bangkit dan mandi. Sepertinya aku butuh udara segar.  Hujan masih turun dengan deras. Tidur sepertinya akan sangat enak. Aku mengambil ponsel, ingin mencharge karena baterainya tinggal 10%. Tapi benda itu tiba-tiba berdering. Aku pikir Al yang kembali menelfon. Tapi ternyata sebuah nomor baru yang tidak aku kenali. Tapi aku ini tipe orang yang tidak akan menjawab panggilan dari nomor baru yang tidak aku kenali. Alhasil aku mengabaikan panggilan itu dan memilih meninggalkan kamar setelah mencharge ponsel.  Saat menuruni tangga aku mendengar suara keributan yang berasal dari ruang tamu. Aku melangkah mendekat karena penasaran. Di tengah jalan aku bertemu dengan Namira.  "Kenapa itu Na ribut-ribut di depan?"  "Oh itu Kak Al jatuh dari kuda."  "Hah?"  Aku mengikuti Namira. Di ruang tamu ada Bunda, Papa, Shawn dan Al. Nana datang membawakan handuk kecil. Bunda tengah membersihkan luka di kaki Al sepertinya.  "Kenapa Bun?"  Semua orang menoleh padaku sebentar lalu kembali fokus pada kaki Al. Tapi Al menatapku lebih lama. Aku tak tahu apa yang sedang Al pikirkan karena aku memang tidak ingin tahu. Terserah dia ingin memikirkan apa.  "Ini Al jatuh dari kuda."  "Emang tadi ke mana?" sebenarnya aku sudah tahu tapi tetap bertanya. Jadi Al dan Papa memang suka sekali berkuda. Bisa dibilang dua orang ini punya jadwal berkuda mereka sendiri. Jika Al tak sibuk, ia pasti akan berkuda dengan Papa.  "Biasa," jawab Papa. "Al lagi senggang jadi Papa ajakin berkuda. Eh taunya malah jatuh."  "Lagian berkuda pas hari hujan," aku menimpali.  "Tadi belum hujan," Papa membela diri.  Terserahlah. "Bawa ke dokter ajalah, kalau parah gimana?" aku memberi usulan.  Al kembali menoleh padaku. Kali ini tatapannya menjadi lebih tajam dari biasanya. Sepertinya Al tak suka dengan usulanku. Tapi terserah karena aku tidak peduli. Terserah dia mau marah atau tersinggung.  "Mau ke mana?" tanya Nana.  "Nyari minuman dingin. Agak panas soalnya," aku menjawab pertanyaan iparku itu.  "Hah? Cuaca dingin gini panas?" kudengar Nana menanggapi ucapanku. Cuaca yang dingin Na, tapi hatiku tidak. Aku berlalu ke belakang, mengambil minuman dingin dari dalam kulkas. Aku meneguk air dingin itu kemudian kembali ke kamar. Aku tak memeriksa lagi kondisi Al. Dia sudah besar dan ada banyak orang di sana mengurusinya. Aku yakin dia baik-baik saja. Mataku mengantuk dan aku lelah sekali. Aku ingin tidur.  ...  Rasanya baru beberapa menit aku menutup mata. Aku bahkan belum sempat terbang ke pulau kapuk. Tapi sesuatu terasa sangat mengganggu sekali. Aku perlahan membuka mata. Aku tersentak kaget saat melihat Al duduk di pinggir kasur.  "Al!" aku langsung bangun, menjauh dari Al. "Lo ngapain di sini?"  Al menunjuk ponselnya yang dicharge di atas meja nakas.  "Ngapain ngecas hape di kamar gue? Di luar kan bisa!"  "Suka-suka gue lah. Sejak kapan ada aturan gue nggak bisa ngecas di sini?"  Sialan! Dasar manusia menyebalkan. Al ini memang orang yang dingin tapi dia bisa menjadi sangat menyebalkan. Jika Al dalam mode ini--itu pertanda kalau mode ego-nya sedang berkuasa. Jika dia sudah begini maka dia akan melakukan apapun yang dia mau.  "Keluar sana! Gue mau tidur."  "Lo ngapain nggak angkat telfon gue? Apa mengabaikan telfon gue jadi hobi lo sekarang Yasmine?"  Aku menatapnya dengan malas.  "Suka-suka gue lah mau angkat telfon lo atau enggak. Emang hidup gue isinya lo doang? Gue juga punya kehidupan lain." aku menjawab Al dengan ketus.  Raut wajah Al berubah seketika. Sepertinya Al terkejut dengan perkataanku. "Ih Yas, kok lo gitu sih ngomongnya?"  Aku memilih mengabaikan perubahan wajah Al.  "Lo marah sama gue ya? Karena gue nggak nyapa lo di kafe tadi?"  Aghh! Bukan itu bodoh.  "Gue nggak marah. Ngapain gue marah? Biasa juga gitu." Bukan hal baru Al tak menyapaku kalau kami kebetulan bertemu di luar tanpa diduga. Meski jarang tapi Al pernah melakukannya dan aku sama sekali tak marah karena hal itu. Dia tak harus selalu menyapaku.  "Gue ada salah ya? Gue tau lo marah sama gue. Cara lo ngomong ke gue beda. Yas, ada apa?"  Aku mengabaikan Al dengan menepis tangannya dari tanganku. Al menatapku dengan mata jernihnya.  "Yas.."  "Keluar, Al. Gue mau tidur. Lo ganggu istirahat gue. Gue capek banget seharian ini."  "Kapan sih lo nggak capek? Emang sehari ini aja lo sibuk dan kerjaan lo banyak? Lo sibuk tiap hari Yas. Tapi lo nggak pernah pake alasan ini buat ngusir gue."  Memang.  Dasar Al bodoh. Apa dia tidak ingat kejadian malam itu?  "Lo ngomong apaan sih Al. Lebay banget. Gue beneran cuma capek aja. Mau tidur. Lo di sini gue nggak bisa tidur."  "Yas.." Al menarik tanganku. Tapi aku refleks menepis keras tangan Al membuat pria itu hilang keseimbangan dan berakhir terjungkal dari atas tempat tidur. Aku ikut terkejut karena suara yang dihasilkan cukup keras. Al sepertinya benar-benar terjatuh. Aku bergegas memeriksa takut kalau anak Mama Nadin ini kenapa-kenapa. Bisa habis aku digorok Mama Nadin nanti.  Al meringis. Suara ringisannya memang tidak kencang, tapi melihat ekspresi di wajah Al sudah cukup menjadi bukti kalau pria itu kesakitan. Aku turun dari kasur.  "Lo nggak apa-apa?"  Al tak menjawab, hanya meringis memegangi kakinya yang baru aku tahu telah dibalut perban. Celana Al dilipat sampai ke lutut dan sepanjang tulang betisnya dibalut perban.  "Cidera lo parah ya?" aku membantu Al bangkit. Cukup susah karena badannya yang besar. Aku membantu Al duduk di pinggir kasur. Aku berdiri di depan Al, memperhatikan kakinya. Jari-jari kaki kanan Al terlihat agak pucat jika dibandingkan dengan kaki kirinya.  "Kenapa nggak ke rumah sakit sih? Ada Quin di sana."  "Gue nggak mau ke rumah sakit dan lo tau itu. Jangan suruh gue ke rumah sakit lagi."  "Lagian siapa suruh lo banyak ulah hah?!" aku meluapkan kekesalanku. "Berapa kali gue kasih tau untuk nggak minum? Tapi lo nggak denger. Lo malah minum banyak banget. Makan sama tidur juga berapa kali gue nasehatin? Lo nggak gubris sama sekali."  Al menghela napas. "Lo tau dari mana gue minum?"  Aku tak menjawab.  "Yas, tau dari mana gue minum?" desak Al. "Lo yang jemput gue malam kemaren ya?"  "Nggak penting gue tau dari mana."  "Jawab gue, Yas. Lo yang jemput gue?"  "Nggak penting Al gue yang jemput atau siapapun. Yang jelas lo minum banyak sampai nggak sadar. Lo tau nggak sih itu bahaya buat kesehatan lo. Lo mau usus lo hancur?"  Al mendesah. "Gue nggak sengaja minum--"  "Nggak sengaja tapi lo party di club malam. Emang apa yang lo harapkan dengan party di sana sama kru lo? Minum jus alpukat?"  Al memijit keningnya. "Jadi lo marah karena ini?"  Tidak dan ya! Aku malas membahas ini. Bayangan kejadian malam itu kembali terbayang di dalam kepalaku.  "Udah lo pulang sana. Minta anter Mamang aja, kaki lo sakit kan."  "Lo ngusir gue?"  Aku tak menjawab.  "Lo ngusir gue, Yas?"  "Nggak usah lebay deh Al."  Al langsung bangkit dan dengan tertatih dia langkahkan kakinya meninggalkan kamarku. Aku menatap pintu yang tertutup dengan perasaan yang tak bisa aku jelaskan. Kenapa aku jadi merasa bersalah begini?  ...  "Buk.." panggilan itu membuyarkan lamunanku.  "Hmm." aku membubuhkan tanda tanganku di atas kertas itu. "Ini."  "Ibuk mau saya bikinin minum?"  Aku menggeleng. Aku tidak butuh minum. Aku butuh udara segar. Dila meninggalkan ruanganku. Apa aku harus ke salon untuk spa agar pikiranku bersih dan kembali segar? Ya, sepertinya itu ide bagus. Aku menghubungi Alinka, mengajak sahabatku itu untuk ke spa. Alin menyetujuinya dan kami mengatur jadwal pertemuan kami. Hari ini aku tak punya jadwal yang urgent, jadi aku tak perlu habiskan waktu sampai malam di kantor.  Aku pergi saat jam menunjuk di angka 4.  "Al sakit ya?" tanya Alinka saat kami sudah berbaring di ruang spa.  "Tau dari mana lo?"  "Kala yang bilang."  "Jatuh dari kuda. Kakinya cidera kayaknya."  "Kok kayaknya sih? Lo lagi berantem sama Al ya?"  "Nggak."  "Terus kok jawabannya gitu? Biasanya kan lo yang paling tau soal Al."  Aku menghela napas. "Gue bukan emaknya, Lin."  "Bener nih pasti kalian lagi berantem. Karena apa? Karena cewek yang waktu itu ya? Siapa namanya? Nata, ah iya si Nata. Lo cemburu sama Nata?"  Aku menghela napas lagi. Bagaimana caraku memberitahu Alin kalau aku tidak cemburu dan kami tidak bertengkar karena Nata.  "Gue sama Al nggak berantem dan gue nggak cemburu sama Nata. Ngapain cemburu sama dia?"  "Masa nggak cemburu sih, Yas? Gue aja yang cuma temennya Al nggak suka liat Al deket-deket sama Nata."  Aku memutar bola mata. "Nggak usah bahas dia deh, ya. Suka-suka mereka lah. Nggak ada ngaruh juga ke hidup gue. Mending sekarang kita rileks, oke." aku menutup mata.  "Habis ini kita jenguk Al ya."  Ya Tuhan Alinka.  ...  Perkataan Alinka mau tak mau cukup menggangguku. Tadi Alinka memang berniat membawaku menjenguk Al. Tapi Askala menelfon dan memberitahu Alinka kalau mereka harus pergi ke suatu tempat. Tapi tadi Askala sempat memberitahuku kalau dia baru pulang dari apartemen Al dan katanya kondisi Al cukup serius.  Kalau serius harusnya Al di rumah sakit, kan?  Aku dilanda keraguan. Di satu sisi ingin mengabaikan tapi di sisi lain merasa khawatir. Bagaimana jika kondisi Al memang serius? Dia kan memang susah diajak ke rumah sakit. Mungkin Al memang tidak mau dibawa ke rumah sakit. Tapi kalau kondisinya memang serius bagaimana?  Aghhh kenapa aku jadi dilema begini?  Setelah berdebat dengan diri sendiri, aku akhirnya kalah pada hati nuraniku. Aku meraih tas, melaju mobil menuju apartemen Al.  Aku menekan password, langsung masuk tanpa berpikir. Yang ada di dalam pikiranku hanya Al. Di sepanjang perjalanan tadi rasa khawatirku meningkat begitu saja. Perasaanku jadi tak enak. Aku bergegas masuk dan tak sempat memperhatikan sekeliling.  "Al.." aku masuk ke dalam kamar yang sedikit terbuka dan kembali--untuk kedua kalinya aku disambut pemandangan yang mengejutkan.  Lagi... Nata tengah bersama Al. Nata tengah membantu Al mengganti bajunya. Bukan membantu seperti benar-benar membantu. Tapi Nata ada di sana sedang mengulurkan baju baru pada Al dengan Al yang tengah membuka bajunya. Keduanya langsung menoleh padaku.  "Yasmine," Nata menyapa. Dia tampaknya tidak terlalu terkejut. Atau dia terkejut tapi bisa menyembunyikannya dengan baik? Entahlah.  Al? Dia menatapku dengan tatapan cukup tajam. Al tak menghentikan kegiatannya atau menyapaku. Al melanjutkan kegiatannya, membuka baju lalu memakai baju baru. Nata membawa pakaian kotor itu ke laundry bag. Al meluruskan posisinya.  "Aku nggak apa-apa. Kamu pergi aja, udah jam segini. Ntar telat ke acaranya," ujar Al. Itu jelas ia sedang bicara dengan Nata. Gadis itu mengangguk kemudian pamit.  "Aku duluan ya, Yasmine." Nata berlalu dan sempat melempar senyum padaku. Aku balas tersenyum sekilas.  Sialan!  Untuk apa aku melaju mobil dengan kencang ke sini kalau akhirnya disuguhkan pemandangan seperti ini lagi? Aku khawatir tanpa alasan.  "Syukurlah kalau lo baik-baik aja." Aku membalik badan dan bersiap pergi.  "Yas.."  "Astaga jadi nggak enak gue sama Nata tiba-tiba nongol di sini." Aku melanjutkan langkah. Tapi aku tak tahu bagaimana ceritanya sampai tanganku tiba-tiba ditarik. Al sudah berada di belakangku. Al hampir jatuh karena hilang keseimbangan. Untung aku sigap menahan tubuhnya, memeluk Al.  "Lo mau ninggalin gue padahal kondisi gue kayak gini?" tanya Al terdengar dalam. Aku bisa rasakan tangan Al memelukku dengan erat.  "Lo mau ninggalin gue beneran, Yas?" tanya Al lagi. Aku terdiam. Tapi kali ini aku diam bukan karena aku tak ingin menjawab pertanyaan Al melainkan karena aku tak bisa menjawab pertanyaannya.  "Kalau lo mau pergi gue lepas." Perlahan aku rasakan pelukan Al sedikit melemah.  Aku..  Tanpa aku sadari tanganku memeluk Al semakin erat. Refleks.  Pelukan Al yang sempat melemah kembali erat. Dan aku tak tahu berapa lama kami berpelukan di depan pintu.  *** 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN