Bab 8

1094 Kata
Mataku memindai satu persatu-satu sambil memegang b****g yang habis ditampar. “Gue yang tabok b****g lo,” sahut Nabila. Aku menghela napas lega, ternyata bukan Zayyan yang menampar. Coba kalau dia? Sudah aku sunat lagi, berani-beraninya m***m. Ya, walaupun halal sih. Aku kembali duduk menyimak obrolan Bunda Nurma dengan Nabila yang cukup serius. Selain itu, aku jadi tim gas elpiji untuk membakar emosi agar Nabila cepat-cepat dikawini. Jadinya aku ada teman—sama-sama punya akta nikah. “Bunda, please! Aku nggak mau nikah. Kita masih kuliah, makan apa coba?” Nabila mulai mengeluarkan jurus ampuhnya, merengek dengan memasang wajah paling terdzolimi se dunia ini. Tapi tidak bagiku yang sudah pernah ditipu. “Bara anak orang kaya, Bun. Papa dia chef.” Langsung aku membakar emosi dengan memberi sedikit bocoran identitas pacarnya Nabila. “Oy, Om Juna itu pengusaha properti bukan chef. Sok tau aja lo,” sahut Nabila dengan cepat. Dia mulai marah dan aku tersenyum kecil karena sudah terpancing. Berasa setan akunya, tapi harus gimana lagi? Kalau dia bisa bikin aku nikah, kenapa aku tidak bisa bikin dia menikah? Bukankah aku baik dan menghentikan Nabila dari dosa konon katanya pacaran haram? “Ya mana gue tau. Yang gue tau Juna itu chef. Chef Juna.” selaku dengan cepat, mengedik kedua bahu dan memberi penekanan pada kata ‘chef Juna’. Segera menoleh pada Bunda Nurma untuk kembali mengompori. “Bun, pacaran itu dosa kan?” Bunda Nurma mengangguk pelan. “Nah, daripada Nabila kelamaan pacaran yang ada dosa, mending suruh halalin aja. Jadi kalau macam-macam udah halal.” Aku memberi solusi dengan sengiran, lantas Nabila menatapku setajam silet. “Bunda, Sabila itu setan, Bun. Dia lagi ngompori Bunda. Jangan dengarin dia!” keluh Nabila mulai menyeret namaku. “Setan udah mualaf ni. Nyuruh nikah bukan pacaran. D-O-S-A.” Aku kembali memperingati dengan mengeja kata dosa agar Nabila semakin ketar-ketir. “Rasain lo. Mampus sana lo nikah sama Bara,” batinku tersenyum puas. Ah, ingin rasanya aku jingkrak-jingkrak di depan Nabila. Sedikit lagi, misiku berhasil. “Bunda, kami ini masih muda, nggak mungkin nikah. Tapi kalau lulus kuliah baru deh, setidaknya Bara bisa ambil alih perusahaan papanya, terus aku bisa jadi ibu rumah tangga, nggak mikir kuliah lagi.” Nabila kembali membujuk dengan alasan yang konyol bagiku. Tapi aku tidak tinggal diam, sebagai tim pembela kebenaran aku kembali mengompori. “Kalian pacaran nggak bisa selamanya menjamin nggak lakuin apa-apa. Kalau terjadi apa-apa gimana coba? Bunda juga yang tanggung malu.” Nabila menggeleng dan hendak membantah, segera aku palingkan wajah pada Zayyan. Mungkin ustadz muda ini bisa membantuku meluruskan semua masalah. “Iyan, menurut lo gimana? Lebih baik nikah muda apa pacaran kayak kreditan mobil? Lunas nggak lunas?” Zayyan tersenyum tipis sangat manis. ‘Tolong dilebarkan sedikit lagi senyumnya!’ permintaan hatiku yang tak bisa keluar dari mulut. Gengsi! “Jadi begini, tidak ada istilahnya pacaran syariah atau pun pertemanan antara laki-laki dan perempuan, karena yang ketiga setan, kemudian cinta. Pacaran syariah itu hanya cara setan untuk menyesatkan para anak muda zaman sekarang untuk menghalalkan pacaran, padahal dalam Islam sendiri pacaran yang halal itu setelah menikah.” Aku tersenyum menatap Nabila dengan mengangguk-anggukan kepala. Hatiku puas mendengar siraman rohani dari Zayyan. “Seperti saya dan Sabila,” imbuhnya lagi tersenyum menatapku. “Uhuk …” Tenggorokanku mendadak keselek dengan air liur sendiri. Bisa-bisanya dia menjeda ucapannya demi sebuah kalimat yang membuatku kaget. “Kenapa jadi kita sih? Lo kan lagi siram rohaninya Nabila,” protesku dengan cepat. Menatap netranya yang meneduhkan. Mungkin perempuan lain akan jatuh cinta padanya, tapi tidak denganku karena selera beda. “Karena pernikahan kita terjalin tanpa ada ta’aruf atau pun pacaran. Jadi kita akan pacaran sekarang,” jawabnya begitu lancar dan tersenyum manis membuat napasku tercekat, mata terbuka lebar. “Si--.” “Sudah, jangan diteruskan lagi!” potong Bunda mengusap punggungku. Aku pun terdiam melirik Zayyan dengan tajam, bibir bergerak tanpa suara ‘ape lo?’ “Lanjut, Nak Zayyan!” Bunda kembali mempersilakan Zayyan untuk berbicara. Hitung-hitung memberi dakwah pada Nabila agar segera insaf dan menikahi Bara. “Menikahkan anak di usia yang masih sama-sama muda tidaklah salah, hanya saja sebagai orangtua harus membimbing mereka. Karena anak muda masih mengutamakan ego masing-masing, berbeda dengan orang yang sudah dewasa lebih mendahulukan berpikir dari pada tindakan. Sehingga banyak sekali pernikahan muda yang berakhir dengan cerai, alasannya pun klise, pertengkaran, nggak sefrekuensi, nggak ada kecocokan lagi dan lain-lain. Jadi untuk mencegah dosa kecil yang akan memuncak pada dosa besar, alangkah baiknya dinikahkan saja. Jika tidak segera menikah maka jauhkan keduanya, dan berpuasalah supaya hasrat redam,” jelas Zayyan secara detail membuatku tersenyum lebar, menatap Nabila dengan sangat anggun. “Yakin lo mau putus gitu aja sama Bara?” Nabila tertegun, menekukkan wajah. Sepertinya dia sedang menimbang-nimbang. “Kalau kamu tidak mau menikah, mulai besok Bunda masukkan kamu ke pesantren.” Senyumku semakin lebar dengan mulut terus berkata ‘hayo lo.’ Nabila sendiri membelalak menggelengkan kepala. “Ih, Bunda kok gitu sih?” “Kamu itu anak perempuan, Nabila. Meskipun auratmu sudah tertutup walaupun tak sempurna, tetap saja kamu belum bisa menjaga diri. Belum termasuk wanita muslimah dengan akhlakul Karimah. Bunda paham dengan pergaulanmu di Jakarta sana, tapi Bunda harap, senakal-nakal kamu harus ingat kepada Allah. Menikah itu untuk menjaga pandanganmu, mengontrol nafsumu. Bunda tidak tau bagaimana kamu di luar sana. Bunda hanya berharap kamu bisa menjadi perempuan yang baik. Selaku orangtuamu, ayah sama Bunda nanti akan diminta pertanggungjawaban di hadapan Allah, Nak. Bunda takut, seakan kami ini tak pandai menjagamu. Kamu justru paham, dosamu di dunia ini akan memberikan siksaan untuk ayah dalam kuburan sana. Perempuan tetap akan menjadi tanggungjawab ayahnya selama dia belum menikah,” ujar Bunda Nurma. Suara lemah lembut menatap lekat putrinya yang kini menundukkan kepala. “Beri aku waktu untuk memikirkan semua ini, Bun.” Nabila mengangkat wajah. Sorotan matanya terlihat sangat putus asa. Tapi aku senang, dia bisa menikah. Jadinya aku ada teman. Hening. Kruk! Aku terkekeh memegang perutku yang berbunyi. “Lapar, Bun.” “Makan sana! Dari pagi belum makan kan?” titah Bunda Nurma, memang paling mengerti. Meskipun hanya ibu angkat tapi sudah seperti ibu kandung. Aku mengangguk pelan. “Ngantuk, Bun. Semalam diancam Iyan, makanya nggak bisa tidur.” Aku berterus terang. “Diancam apa?” tanya Bunda Nurma kaget. “Tu, tanya aja sama anaknya.” Aku berjalan pergi. “Di ancam apa?” Bunda Nurma bertanya pada Zayyan, aku masih bisa mendengarnya. “Nggak ada, Bunda,” jawab Zayyan. “Ada, Bun. Dia mau perkosa aku,” teriakku dari dapur. “APA?” pekik Bunda tersentak kaget. Zayyan pun menundukkan kepala—malu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN