POV Duta
Kulihat Adnan hendak menuju kamar Mamanya.
"Adnan! Kemari, Sayang," pintaku.
"Iya, Pa. Ada apa?" jawab Adnan menghampiriku.
"Adnan tadi pergi ke mana sama, Mama?"
"Tadi Adnan dan Mama, pergi ke taman dekat rumah, di sana, kami bertemu Om tampan, dia tampan kayak Adnan, Papa," jawab anakku polos.
Jantungku berdesir, hatiku terasa panas. Sial, beraninya kamu Nita. Pantas saja, tidak bisa kuhubungi, rupanya sedang asyik, pantas akhir-akhir ini sifatnya berubah, ternyata ….
Brengsek kamu Nita.
Aku sudah tidak bisa lagi menahan amarahku yang sedari tadi kupendam. Kali ini Nita sudah keterlaluan, dia sampai mematikan ponselnya. Tak bisa kubiarkan. Aku menghampiri Nita di kamarnya.
Namun, aku tahu, Nita tidak akan membuka pintu jika aku yang mengetuknya. Aku melirik Adnan.
"Adnan! Ketuk pintu kamar Mama, bilang udah selesai," ucapku mengajari.
"Baik, Pa," jawabnya. Aku mengikutinya dari belakang.
"Mama! Aku udah selesai!" Adnan memanggil Mamanya, aku tepat berada dibelakangnya. Tak berapa lama, Nita membuka pintu kamar. Namun, ketika melihatku, dia mencoba menutup pintu kembali. Sayang tanganku sudah lebih sigap menghentikannya.
"Vira! bawa Adnan!" teriakku. Tak lama Vira muncul di depanku, mengajak Adnan bersamanya. Aku menutup pintu kamar Nita, dan menguncinya dari dalam. Aku yang sudah emosi, tidak tahan lagi meluapkan semua kekesalan yang terpendam.
Kudorong tubuhnya ketembok, kujambak rambutnya yang panjang.
"Apa maksudmu melakukan ini padaku, hah?" Aku memegang wajahnya, dia hanya diam.
"Jawab Nita! Jangan diam saja!" Tanganku yang satunya lagi semakin mencengkram kuat pergelangan tangannya. Namun, dia tidak merintih sedikit pun. Atau meminta untuk dilepasakan. Aku semakin emosi, kucekik lehernya, tetapi dia masih tidak bicara.
"Kau tuli? Kau bisu? Jawab aku Nita!"
Aku melepaskan cekikan dan gengaman tanganku. Dia masih tidak berbicara.
Benar-benar sangat menguji kesabaranku.
Kalau dia tetap membisu, bagaimana aku tau kesalahanku? Aku sengaja mengucap k********r untuk memakinya agar dia mau berbicara.
"Oh, pantas kamu berubah seperti ini, rupanya sudah punya selingkuhan? Dasar murahan!" Aku menghinanya, berharap itu akan menyakitkan baginya.
Kulihat pergelangan tangannya yang putih itu memerah, pipi bekas cengakaman tanganku juga sama. Namun, matanya tegar tanpa tetesan air mata.
Aku menyesal melakukannya. Percuma, apa yang kulakukan sia-sia, tetap tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya.
Untuk meluapkan emosiku, kupukul kencang tembok di sampingnya, hingga jariku membiru. Aku membanting pintu dengan kencang dan meninggalkannya. Rasanya percuma, sekalipun aku membunuhnya, dia akan tetap pada kebisuannya.
Setelah puas meluapkan emosi, aku duduk di ruang tamu, lalu menghampiri putraku yang sedang berbincang dengan Mama tirinya.
Tak berselang lama, Nita keluar dari kamar dengan riasan tipis di wajahnya. Tidak sedikit pun, terpancar aura kaesedihan wajah ayunya.
"Adnan, Sayang ... ayo Nak, kita jalan," lirih Nita sedikit serak
Namun, tanpa tetesan air mata. Dia diam seribu bahasa tanpa menoleh ke arahku. Sakit sekali rasanya diperlakukan seperti ini. Apa salahku hingga membuatnya sudi menatap bahkan untuk sekedar menyapaku?
"Iya, Ma," jawab Adnan penuh semangat dan meraih tangan Mamanya.
"Tangan Mama Kenapa?" tanya putraku. Vira terbelalak ketika melihat tangan Nita. Aku hanya diam tanpa kata. Rasa bersalah seakan mencuak dibenakku. Sepuluh tahun pernikahan, baru kali ini aku mengasarinya.
"Mama, enggak apa-apa, Sayang," ucapnya menggandeng tangan Adnan, berjalan keluar meninggalkanku.
Bayangan Om tampan yang disebut Adnan, mampu meracuni pikiranku.
Siapa dia? Ada hubungan apa dengannya.
Arrrgh ... otakku pusing. Lima bulan sudah aku kehilangan kedekatan dengan istri pertamaku. Kehilangan senyumnya, cintanya, juga jiwanya.
Aku takut kehilangan Nita. Teringat dengan senyum terakhir dan perkataan manis, ketika meminjam ponselku, itu pun untuk menghapus semua kenangan yang ada. Tidak ada satu pun wajah ayu yang dapat kulihat. Semua terhapus sudah.
Apa sebenarnya yang telah aku lakukan hingga membuatnya seperti ini? Aku hidup bersamanya, namun seperti orang yang asing. Jangan siksa aku Nita. Kembalilah seperti wanitaku yang dulu.
Lebih baik, aku ke rumah Damar untuk menghilangkan kepenatan. Dengan sigap, kuambil jaket dan kunci mobil. Siap meluncur. Waktu baru pukul 8 malam.
"Mau kemana, Mas?" tanya Vira.
"Aku mau ke tempat Damar, tidak usah menunggu, aku tidak pulang malam ini," jawabku sedikit kesal.
"Lalu aku?" ucapnya pelan, tapi masih dapat kudengar.
"Kamu kan sudah dewasa! Kamu tidur duluan aja, Mas gak pulang malam ini."
"Iya, Mas ...." jawabnya.
Aku bergagas ke mobil, memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi. Tak peduli apa yang akan terjadi, aku terus mengebut, ingin rasanya cepat sampai ke rumah Damar.
Waktu satu jam yang biasa kutempuh dari rumah ke rumah Damar, hanya memakan waktu lima belas menit. Bisa dibayangkan bagaimana aku mengendarai mobil.
Satpam di rumah Damar membuka pagar, langsung kupacu mobil di parkiran rumahnya yang luas.
Aku menekan bel, tak lama, muncul pemilik rumah. Tanpa dipersilahkan, aku langsung masuk ke dalam dan membaringkan tubuhku di sofa empuk miliknya.
"Kenapa lagi lo?" celetuknya.
"Gue pusing, Mar. Nita makin menjadi. Bayangkan, sekarang dia udah berani keluar rumah dengan lelaki lain," ujarku penuh emosi.
"Hahahaha ... mampos lo! Makanya jadi laki pandai bersyukur! Jangan kufur!" celetuknya membuatku terasa sesak.
Benar, salah tempat, bukan dapat solusi dapat makian. Punya kawan rada sableng begini, sabar Duta ... sabar.
"Kebangetan lo ya sama teman, pantes kaga laku. Rada gila," makiku kesal. Bukan marah yang kudapat, namun jawaban gila yang terlontar.
"Gue kan mau nunggu Nita jadi janda," ucapnya diikuti tawa menggelegar.
"Sialan ... lo! Gak akan pernah gue lepasin Nita!" sahutku kesal.
"Asik ... Nita jadi jandanya Duta," ucapnya dengan tawa melebar.
"Sialan lo!"
Kulempar bantal kewajahnya. Dia hanya tertawa terbahak, membayangkan menjadi suami Nita. Tidak akan pernah Damar!
Aku lelah, tak terasa mata ini semakin berat, entah apa yang dia lakukan selanjutnya karena aku sudah berada di pulau mimpi.