Bab 3

839 Kata
Aku masih bingung dengan sikapnya, yang semakin dingin dan diam. Walaupun aku tak banyak bicara, tetapi aku diam-diam memperhatikannya. Semenjak dia mulai bekerja, waktunya di rumah sangat sedikit. Bahkan bisa dibilang rumah ini seperti tempat indekos. Pulang kerja pukul 7 malam, padahal seharusnya karyawan kantor pulang pukul 4 atau 5 sore. Setelah itu dia bermain sebentar dengan Adnan, mencium pipinya, memeluknya sebentar, dan mengajak Adnan ke kamar. Lalu, menyuruhnya tidur. Selepas dari kamar Adnan, Nita pun berpamitan padaku. "Pa … aku mau istirahat, aku duluan," pamitnya, melewati aku dan Vira, dengan menyunggingkan sedikit senyum, kemudian menutup pintu kamarnya. *** Pagi ini, aku, Vira, dan Adnan sudah bersiap di meja makan seperti biasa, Bi Elli sudah menyiapkan nasi goreng dan s**u. Adnan menikmati sarapannya dengan lahap sebelum berangkat ke sekolah. Mobil jemputan akan tiba pada pukul 06.30. Hanya Nita yang tidak pernah ikut sarapan bersama. Dia selalu bilang masih kenyang. Itu saja alasannya setiap hari. Biasanya, Nita akan datang ke meja makan untuk menghampiri Adnan sebelum berangkat sekolah. Seperti biasa, menasehati putranya agar menjadi laki-laki yang baik dan menyayangi wanita. Aku yang mendengar itu pun tersenyum. Seperti aku yang penyayang pada wanita, bahkan aku sudah menambah satu wanita yang kusayang. Aku tersenyum manis menyangkanya. 'Sepertinya aku memang seperti yang diinginkan Nita.' Kalau kebanyakan cerita, madu dan istri pertama jarang akur, lain cerita dengan Nita dan Vira. Nita tidak pernah mencaci atau memusuhi madunya, hanya saja dia tidak pernah berbicara pada Vira. Seulas senyum yang tersungging dari bibirnya, akan dibalas senyum oleh Vira. Pagi ini ada sedikit yang berbeda. Aku melihat Nita dengan senyum yang mengembang, menghampiri kami yang sedang sarapan. Tak disangka dia menyapa Vira. "Hay Vir … morning," sapa Nita sambil duduk menyendok nasi goreng. Selama di sini, baru kali ini aku mendengar Nita menyapa Vira. "Morning too, Mbak Nita," jawab Vira, diiringi anggukan oleh Nita. Jelas aku tersenyum bahagia melihatnya. "Anak Mama sudah beres sarapan?" tanya Nita pada Adnan. "Sudah, Ma … Adnan tinggal berangkat ke sekolah, mobil jemputan sudah datang di depan," jawab anakku polos. "Sip! Adnan ke depan diantar Bi Elli ya? Mama sarapan dulu. Gak apa-apa 'kan, Sayang?" "Siap Mama … I love you Mama! Adnan sayanggggg … Mama," ucap anakku sambil mencium pipi Mamanya, dan berlari ke luar. "I love you, Sayang … Mama sayang … Adnan," lirihnya setelah Adnan menjauh. Terlihat dia mengusap air mata, mungkin terharu karena Adnan begitu menyayanginya. "Eh, Adnan …!" panggil Nita lagi. "Iya, Ma …!" jawab anakku kembali menghampiri mamanya. "Pamitan sama Mama Vira dan papa! Cium tangan Mama Vira dan Papa, ya!" "Oke, Ma … Maaf Adnan lupa, buru-buru," jawab putraku sedikit lemas menghampiri aku dan Vira. Setelah berpamitan pada kami, dia kembali berlari. "See you Mama …! I love you … ! " teriaknya lagi pada Nita. Kami hanya tertawa melihatnya. "Emmm Duta …." ucapan Nita membuatku hampir tersedak s**u. " Kamu bilang apa, Ma? " tanyaku memastikan. Jelas aku kaget. Seumur-umur belum pernah dia memanggilku dengan nama. "Eh maaf, Pa, maksudku Mas Duta, eh Papa Duta," lanjutnya lagi. Vira masih sibuk memakan nasi gorengnya. Kulihat, dia beberapa kali nambah. " Iya kenapa, Ma?" jawabku penuh senyum. "Pinjam ponsel kamu dong." Hah kamu? sekali lagi dia memanggilku denga sebutan kamu? 'Aneh' pikirku dalam hati. Aku menyerahkan ponselku pada Nita tanpa mendebat. Dengan cepat dia mengambilnya. Entah apa yang dia mainkan di ponselku, dia terlihat sangat sibuk. Mungkin dia mencari sesuatu, apakah aku ada niatan menikah lagi. Hehehehe. Beginilah resiko jadi orang ganteng dan banyak duit. Setelah beberapa menit, Nita menyerahkannya kembali padaku. Kemudian, bergagas mengambil kunci mobilnya hendak meninggalkan kami untuk bekerja. "Aku jalan duluan," ucapnya dengan senyum yang mengembang. Senyum apakah itu? Entahlah. Setelah kepergian Nita, aku mengikutinya untuk pergi bekerja. Tas kantor ada di ruang tamu, aku pun mengambilnya. Namun, sesampainya di ruang tamu, aku dikejutkan oleh pemandangan yang sedikit berbeda. Semua foto aku, Nita, dan Adnan, tidak ada. Hanya ada foto pernikahan aku dan Vira, foto Adnan dan juga fotoku yang sendiri. Tidak ada foto Nita sama sekali. Semua fotoku yang berdua dengan Nita, dan foto pernikahan kami juga tidak ada. Aku panik dan sedikit kesal, memanggil Bi Inah. "Bi Inah … !" panggilku. Tidak lama wanita itupun sudah berada di depanku. "Dimana semua foto-foto saya dan Bu Nita?" tanyaku sedikit kesal. "Emmmmmm … itu, Pak." Bi Inah tidak melanjutkan ucapannya. "Itu apa?" lanjutku. "Di turunkan sama, Bu Nita, Pak. Lalu dibawa keluar dan di bakar semuanya," jawab Bi Inah sedikit takut. "Apaaaaaa …?!" Aku segera teringat akan ponselku. Sungguh aku tidak menyangka, semua foto diponselku pun sudah tidak ada sampai keakar-akarnya. Foto itu telah dihapus olehnya. Semua fotonya dan fotoku. Kenangan indah di saat susah bersamanya, bersih tak tersisa. Kini … baru aku tahu, arti senyum termanisnya pagi ini. *** Vira menghampiri lalu menyerahkan jas kerjaku. Aku pun melangkah dengan lunglai. Rasanya, hari ini aku tidak semangat. Sebuah pertanyaan berputar di otak, ada apa dengan istri pertamaku? Dari pertama kami hidup susah, hingga sekarang aku punya segalanya, Nita memang selalu mengejutkan. Ya, dia hobi memberi kejutan. Biarlah … akan kucari tahu nanti.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN